Sepulang dari perjalanan seminggu keluar pulau, istriku pagi ini heran dengan tumpukan kain kotor bawaanku yang telah selesai dicuci.
“Jauh-jauh dari Ternate kok bawa keset alas kaki sih Pa?" tanya istriku.
“Itu bukan keset Ma. Itu handuk yang papa beli di Ternate,” jawabku.
“Papaaaaa…itu bukan handuk sayang. Itu namanya keset. Masak papa gak tau bedanya keset alas kaki dengan handuk sih?” ujar istriku dengan gemes.
Kain itu memang aku beli di salah satu mall di Ternate karena aku lupa membawa handuk. Saat aku memilih kain penyeka air yang dipajang di rak panjang, aku sengaja memilih kain itu karena alasan harganya yang lebih murah dan ukurannya yang kecil.
Saya tahu kain itu adalah keset, tapi apa yang salah jika kain itu aku jadikan handuk?
Menurutku, kita selama ini kerap terjebak dengan definisi dan abai terhadap fungsi. Pertanyaanku; apa sih bedanya keset kain dan handuk dari sisi bahannya? Tak ada bukan? Keduanya dibuat dari kain yang sama dan bisa jadi dibuat dari pabrik yang sama. Yang membedakannya hanya karna ukuran semata, tetapi karena itu “status” keduanya di tempatkan di sisi yang berbeda.
Kain yang difungsikan sebagai penyeka kaki itu, dinamakan keset lebih karena ukurannya cuma 40 X 80 cm, sementara kain yang ukurannya lebih lebar dan panjang, diberi nama dan fungsi lebih layak sebagai handuk penyeka badan, dengan label harga yang lebih mahal.
Lihatlah, bagaimana hanya karena perbedaan ukuran atau bentuk, kita kerap memperlakukan suatu hal dengan status dan fungsi yang begitu berjarak.
Dalam konteks yang sama, kita juga bisa saksikan bagaimana tempat makan misalnya punya “kelas” dan “status” yang berbeda hanya karena lokasi dan prestisenya. Saya tak merasa makanan yang disajikan McD misalnya, rasa dan gurihnya lebih enak dibanding dengan ayam goreng buatan warung makan di pinggir jalan. Tapi soal harga, jelas keduanya jauh berbeda.
Soal fungsi dan bentuk, saya teringat dengan kisah Gusdur tatkala kuliah di Mesir beberapa tahun silam.