Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akulah Reinkarnasi Ketampanan Yusuf

22 Januari 2014   17:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:34 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Oleh Muhammad Toha)

Dikisahkan, Nabi Yusuf adalah seorang pemuda berparas tampan. Sekelompok perempuan yang sedang mengiris bawang, sampai tak sadar jari tangan mereka teriris, tatkala Yusuf melintas di hadapan mereka; saking terpukau mereka oleh ketampanan Yusuf. Ketampanan Yusuf konon ketampanan yang tak terduplikasi; ketampanan yang tak tertandingi.

Dan karena itu, tatkala 15 tahun lalu—ketika masih muda—aku mendeklarasikan diri sebagai reinkarnasi ketampanan Nabi Yusuf, sontak semua orang langsung mengajukan penolakan. Tak satupun—termasuk sahabat terbaikku—yang bersedia mengakui. Deklarasi “nyeleh” itu justru menjadi bahan ledekan dan ejekan banyak orang. Tapi bagiku, itulah konsekuensi atas sebuah “kejujuran”.

Pangkal masalah yang sebenarnya adalah ketika defisini ketampanan telah dimonopoli hanya oleh para “pencipta citra”. Melalui konstruksi sosial yang kemudian direproduksi oleh media, mereka menkosepsikan ketampanan sebagai sosok pria berbadan tegap proporsional, berkulit putih bersih, berhidung mancung, dan berpakain rapi. Lalu untuk merepresentasikan ketampanan itu, dicarilah pria-pria dengan kriteria tersebut, dan disematkanlah gelar tampan kepadanya. Jadilah pada masa itu, sosok seperti Anjasmara atau Ari Wibowo menjadi rujukan ketampanan.

Lantas bagaimana jika saya tidak serupa dengan konsepsi ketampanan seperti kriteria itu? Baiklah, inilah aku 15 tahun lalu; tubuh tinggi ceking dengan proporsi tubuh lebih mirip tiang bendera (tinggi 170 meter & berat 51 kg), wajah tirus, rambut kucel, kulit kusam dan pakaian 3 pasang yang lebih sering kering di badan. Anda tau kan Belalang Sembah? Nah, itulah visualisasi yang kira-kira cocok untuk menggambar seperti apa rupa fisikku kala itu.

Tapi apakah karena aku mirip Belalang Sembah lalu aku lantas dikatakan jelek? Bagiku, akulah pemilik sah atas tubuhku. Aku tak sudi dikatakan jelek karena aku tak serupa dengan kriteria ketampanan ala pakem itu. Tak sudi!

Bahwa hakekatnya, Tuhan menciptakan manusia dengan ragam rupa, bagiku itu adalah kodrat. Tuhan juga telah menyatakan dalam firmannya bahwa sesungguhnya manusia dicipta dengan wujud yang terbaik. Lantas, apa hak para “pencipta citra” itu merekonstruksi dan menyematkan ketampanan hanya pada sosok yang pria berbadan tegap, atau menkonsepsikan kecantikan wanita dengan berbadan ramping, berkulit putih dan berambut lurus?

Menurutku, ketampanan dan kecantikan yang saat ini terkonsepsikan adalah ketampanan dan kecantikan yang bermotif komersial. Coba tengok, bagaimana pencitraan atas makna tampan dan cantik yang ditampilkan di media dan TV? Nyaris tak ada bagian tubuh kita yang tidak dikomersialkan bukan? Wajah kita dikomersialkan dalam produk aneka sabun, bedak dan gincu. Rambut kita diperebutkan oleh produk shampo dan minyak rambut, bahkan (maaf) payudara pun menjadi ajang jualan yang bernilai milyaran dolar.

Atas alasan ketampanan dan kecantikan, kita telah digiring untuk “dipaksa” mengkonsumsi aneka produk itu, demi menyerupakan wajah dan tubuh kita dengan ikon model ketampanan dan kecantikan yang ditampilan media dan TV, atau sekedar untuk tidak mau dikatakan jelek.

Dan saksikanlah pula bagaimana ketampanan dan kecantikan itu telah memicu banyak orang untuk rela membedah tubuh mereka di meja operasi demi hidung yang lebih mancung, bibir yang lebih sensual, atau bokong yang makin bahenol. Ujung dan pangkalnya adalah; ada uang bernilai trilyunan yang melatari ketampanan dan kecantikan ala komoditis ini.

Jika Socrates mengatakan; Aku berpikir maka aku ada, maka dalam konteks ketampanan dan kecantikan ini; aku mirip model maka aku ada! Maka belilah produk ketampanan dan kecantikan agar engkau ada!

Jika demikian, lantas bagaimana dengan (maaf) saudara kita yang berkulit hitam, berambut keriting, berhidung pesek? Apakah karena berbeda mereka layak dikatakan jelek?Apakah ini bukan diskriminatif? Sangat diskriminatif! Maka penunggalan makna kecantikan dan ketampanan seperti itu adalah bentuk diskriminasi atas keragaman wajah dan rupa manusia.

Lalu apa iya sih, hakekat ketampanan dan kecantikan semata-mata soal visual-fisikal saja? Bagiku, terlalu dangkal jika hanya menakar ketampanan dan kecantikan dengan ukuran visual fisikal belaka. Sebab, ketampanan dan kecantikan bermakna serupa dengan keindahan. Keindahan bersifat universal, karenanya setiap individu dapat memaknai dan menikmati keindahan dalam kacamata dan takaran yang berbeda. Keindahan dapat menghasilkan jutaan tafsiran, dan justru karena itulah yang membuatnya semakin indah.

Keindahan sesuatu yang tak terbatasi oleh sekat-sekat budaya, kasta ataupun kuasa. Keindahan dapat ditemukan di rumah kumuh, orang miskin, hartawan, gedung mewah, bahkan di kuburan sekalipun. Semestinya, ketampanan dan kecantikan pun hendaknya dimaknai seperti itu.

Karena itu, pengakuanku sebagai reinkarnasi ketampanan Nabi Yusuf sebenarnya wujud ketidaksetujuanku atas penunggalan makna ketampanan. Tapi pada akhirnya, aku pun insaf. Sedetik setelah aku mengucapkan ijab qabul pernikahan, aku berhenti mengaku sebagai reinkarnasi ketampanan Nabi Yusuf. Segera aku panjatkan doa, semoga kelak aku diberikan anak keturunan yang tidak serupa fisik denganku. Cukuplah aku yang serupa Belalang Sembah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun