Jika demikian, lantas bagaimana dengan (maaf) saudara kita yang berkulit hitam, berambut keriting, berhidung pesek? Apakah karena berbeda mereka layak dikatakan jelek?Apakah ini bukan diskriminatif? Sangat diskriminatif! Maka penunggalan makna kecantikan dan ketampanan seperti itu adalah bentuk diskriminasi atas keragaman wajah dan rupa manusia.
Lalu apa iya sih, hakekat ketampanan dan kecantikan semata-mata soal visual-fisikal saja? Bagiku, terlalu dangkal jika hanya menakar ketampanan dan kecantikan dengan ukuran visual fisikal belaka. Sebab, ketampanan dan kecantikan bermakna serupa dengan keindahan. Keindahan bersifat universal, karenanya setiap individu dapat memaknai dan menikmati keindahan dalam kacamata dan takaran yang berbeda. Keindahan dapat menghasilkan jutaan tafsiran, dan justru karena itulah yang membuatnya semakin indah.
Keindahan sesuatu yang tak terbatasi oleh sekat-sekat budaya, kasta ataupun kuasa. Keindahan dapat ditemukan di rumah kumuh, orang miskin, hartawan, gedung mewah, bahkan di kuburan sekalipun. Semestinya, ketampanan dan kecantikan pun hendaknya dimaknai seperti itu.
Karena itu, pengakuanku sebagai reinkarnasi ketampanan Nabi Yusuf sebenarnya wujud ketidaksetujuanku atas penunggalan makna ketampanan. Tapi pada akhirnya, aku pun insaf. Sedetik setelah aku mengucapkan ijab qabul pernikahan, aku berhenti mengaku sebagai reinkarnasi ketampanan Nabi Yusuf. Segera aku panjatkan doa, semoga kelak aku diberikan anak keturunan yang tidak serupa fisik denganku. Cukuplah aku yang serupa Belalang Sembah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H