Tanggal 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi warga Kota Sukabumi dalam memilih calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi. Pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan positif, mengelola sumber daya dengan bijak, dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun, di balik semangat demokrasi yang seharusnya bersih, ada ancaman serius yang mengotori proses tersebut yaitu "politik uang".
Politik uang adalah praktik yang kerap muncul dalam pemilihan kepala daerah. Fenomena ini terjadi ketika calon atau tim sukses memberikan uang, barang, atau janji-janji kepada pemilih dengan harapan dapat mempengaruhi pilihan mereka di hari pemungutan suara.Â
Praktik ini sudah sering diungkapkan dan dipandang sebagai pelanggaran hukum baik pemberi ataupun penerima politik uang, aturan tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.Â
Oleh karena itu, pemilihan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi pada tahun ini, haruslah bebas dari politik uang demi mewujudkan pemerintahan yang bersih, jujur, transparan, dan bertanggung jawab.
Ancaman bagi Kualitas Pemilihan
Salah satu dampak besar dari politik uang adalah terdistorsi-nya tujuan utama pilkada, yaitu memilih pemimpin yang berkualitas berdasarkan visi, integritas, dan kapasitas para calon Wali Kota untuk memimpin Kota Sukabumi.Â
Ketika politik uang menjadi dominan, pemilih tidak lagi memilih berdasarkan program dan rekam jejak para calon, tetapi semata-mata karena faktor materi yang diterima. Hal ini mengarah pada praktik demokrasi yang tidak sehat, di mana para pemilih memilih berdasarkan keuntungan sesaat, bukan berdasarkan pertimbangan yang matang tentang siapa yang paling mampu membangun Kota Sukabumi ke depan.
Politik uang juga berpotensi merusak integritas pemimpin yang terpilih. Bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang menang dengan cara yang tidak fair yakni dengan bantuan uang atau barang dari pihak tertentu cenderung merasa berkewajiban untuk "balas jasa".Â
Hal ini membuka ruang bagi praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengabaian kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Akibatnya, kebijakan publik yang diambil tidak lagi mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, tetapi lebih kepada upaya untuk mengembalikan "modal" yang telah dikeluarkan selama kampanye.
Politik Uang dan Ketimpangan Sosial