Mohon tunggu...
Muhammad Tegar
Muhammad Tegar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Program Studi: Sarjana Sistem Informasi | Jurusan: Sistem Informasi | Fakultas: Ilmu Komputer | NIM: 41823010080 | Universitas Mercu Buana | Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quiz 12-Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

5 Desember 2024   14:50 Diperbarui: 5 Desember 2024   14:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GAMBAR MANDIRI
GAMBAR MANDIRI
GAMBAR MANDIRI
GAMBAR MANDIRI
GAMBAR MANDIRI
GAMBAR MANDIRI
MODUL Prof. Apollo
MODUL Prof. Apollo
MODUL Prof. Apollo
MODUL Prof. Apollo
MODUL Prof. Apollo
MODUL Prof. Apollo

PENDAHULUAN


Korupsi adalah kejahatan yang kompleks, sering kali melibatkan berbagai elemen tindakan (actus reus) dan niat atau kesengajaan (mens rea). Teori hukum Sir Edward Coke, yang menggarisbawahi pentingnya kombinasi actus reus dan mens rea dalam menentukan suatu pelanggaran hukum, menjadi landasan penting dalam menganalisis kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi. Dalam konteks Indonesia, kasus e-KTP menjadi salah satu contoh nyata bagaimana elemen ini diterapkan dalam proses hukum. 

Kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) merupakan salah satu skandal korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Proyek ini, yang awalnya dirancang untuk meningkatkan akurasi data kependudukan melalui teknologi elektronik, justru menjadi ajang penyelewengan anggaran yang melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat tinggi negara dan pelaku dari sektor swasta. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), negara dirugikan sebesar Rp2,3 triliun dari total anggaran proyek yang mencapai Rp5,9 triliun.

Penanganan kasus ini menjadi sorotan publik, terutama karena melibatkan nama-nama besar seperti Setya Novanto, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri. Dengan memanfaatkan teori hukum pidana yang dikemukakan oleh Sir Edward Coke, yaitu actus reus dan mens rea, kita dapat menganalisis elemen-elemen penting dari kejahatan korupsi dalam kasus ini.

Actus reus mengacu pada tindakan fisik pelaku yang melanggar hukum, sementara mens rea merujuk pada niat atau kesadaran pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Melalui pendekatan ini, dapat dilihat bagaimana tindak pidana korupsi dalam proyek e-KTP tidak hanya mencakup tindakan nyata seperti manipulasi tender dan penggelapan anggaran, tetapi juga menunjukkan perencanaan jahat yang dilakukan secara sistematis. Analisis teori ini memberikan wawasan tentang bagaimana elemen fisik dan mental kejahatan dapat digunakan untuk menjerat para pelaku, serta bagaimana hal ini relevan dalam menegakkan hukum di Indonesia.

Ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam bagaimana teori actus reus dan mens rea diterapkan dalam kasus korupsi e-KTP, termasuk identifikasi elemen-elemen pelanggaran yang dilakukan, motivasi di balik kejahatan, serta implikasi hukumnya. Pendekatan ini akan memberikan perspektif komprehensif tentang bagaimana hukum pidana dapat digunakan untuk menegakkan keadilan dalam kasus kejahatan korupsi berskala besar di Indonesia.

What: Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus e-KTP
Dalam hukum pidana, teori actus reus dan mens rea merupakan dua elemen kunci yang digunakan untuk menganalisis dan menentukan apakah suatu tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Kedua elemen ini, meskipun saling terkait, masing-masing menggambarkan aspek yang berbeda dari perbuatan kriminal. Pada kasus korupsi proyek e-KTP, kedua elemen ini sangat relevan untuk memahami bagaimana pelaku melakukan kejahatan dan apa yang mendasari perbuatan tersebut.

A. Actus Reus (Perbuatan Fisik)
Actus reus adalah elemen fisik dari tindak pidana, yang merujuk pada tindakan nyata yang dilakukan oleh pelaku yang melanggar hukum. Dalam konteks proyek e-KTP, terdapat beberapa tindakan fisik yang merupakan manifestasi dari kejahatan yang terjadi, yang mencakup:
1. Manipulasi Proses Tender
Salah satu perbuatan yang sangat signifikan dalam skandal e-KTP adalah manipulasi proses tender proyek. Tindakan ini terjadi ketika spesifikasi teknis proyek diubah setelah tender dilakukan, dengan tujuan agar perusahaan tertentu dapat memenangkan proyek tersebut. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan keadilan dalam pengadaan barang/jasa publik. Manipulasi ini mengarah pada penyelewengan anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi.

2. Distribusi Uang Suap
Suap menjadi salah satu elemen penting dalam proses penggelapan anggaran proyek e-KTP. Sebagian besar dana yang dialokasikan untuk proyek ini tidak digunakan untuk tujuan yang sah, tetapi disalurkan ke berbagai pihak melalui praktik suap. Uang suap diberikan kepada pejabat tinggi pemerintah dan anggota DPR untuk memastikan proyek tetap berjalan sesuai dengan keinginan pelaku korupsi. Tindakan ini mencerminkan penggunaan kekuasaan dan posisi untuk keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan negara dan masyarakat.
3. Penggelapan Anggaran
Penggelapan anggaran adalah tindakan fisik yang melibatkan pengalihan dana proyek e-KTP ke dalam kantong pribadi pelaku. Sebagian besar anggaran yang seharusnya digunakan untuk pengadaan e-KTP dan sistem administrasi kependudukan justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penggelapan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah yang terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran.

B. Mens Rea (Niat Jahat)
Sementara actus reus mengacu pada perbuatan fisik yang dilakukan, mens rea berfokus pada elemen mental atau niat dari pelaku pada saat melakukan perbuatan tersebut. Dalam kasus e-KTP, terdapat indikasi kuat bahwa niat jahat (mens rea) merupakan motivasi utama di balik setiap tindakan ilegal yang dilakukan oleh para pelaku, yang melibatkan beberapa elemen berikut:
1. Kesengajaan Memperkaya Diri Sendiri dan Kelompok
Salah satu unsur utama dalam mens rea dalam kasus ini adalah niat para pelaku untuk memperkaya diri mereka sendiri dan kelompok mereka. Setya Novanto, sebagai Ketua DPR yang terlibat dalam kasus ini, diduga menerima suap untuk memastikan proyek berjalan sesuai dengan keinginan para pelaku. Selain itu, pejabat lain yang terlibat juga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari proyek yang mereka kelola. Dengan mengalihkan dana proyek ke dalam kantong pribadi, mereka secara sengaja bertindak untuk meningkatkan kekayaan pribadi mereka, meskipun mengetahui tindakan mereka merugikan negara dan masyarakat.
2. Perencanaan Sistemik
Mens rea juga tercermin dalam perencanaan sistemik yang melibatkan banyak pihak. Kasus ini bukanlah perbuatan spontan, melainkan suatu perencanaan yang terstruktur dan dilakukan oleh individu-individu dengan posisi penting dalam pemerintahan dan sektor swasta. Persekongkolan antara pejabat negara dan pengusaha untuk mengatur proyek e-KTP dan menyelewengkan anggaran menunjukkan niat yang jelas untuk melanggar hukum dan memperoleh keuntungan dari pengelolaan proyek secara tidak sah. Tindakan ini bukanlah kesalahan yang dilakukan secara kebetulan, tetapi merupakan suatu langkah terencana yang melibatkan kolaborasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terorganisir.
3. Kesadaran Akan Dampak dari Tindakannya
Salah satu aspek penting dari mens rea dalam kasus ini adalah bahwa para pelaku sepenuhnya menyadari bahwa tindakan mereka akan merugikan negara. Namun, meskipun mereka mengetahui konsekuensi negatif dari perbuatan mereka, mereka tetap melanjutkan tindakan tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hal ini mencerminkan adanya kesengajaan dalam tindakan mereka, di mana mereka secara sadar memilih untuk mengabaikan akibat hukum yang dapat timbul dari korupsi ini. Niat jahat yang dimiliki oleh para pelaku, baik individu maupun kelompok, menunjukkan kesadaran mereka terhadap tindakan yang mereka lakukan dan dampaknya terhadap masyarakat.

Why: Pentingnya Teori Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus e-KTP
Teori actus reus dan mens rea yang dikemukakan oleh Sir Edward Coke sangat relevan dalam menganalisis kasus korupsi, termasuk skandal e-KTP yang terjadi di Indonesia. Kedua elemen ini berperan penting dalam memastikan bahwa tindak pidana tidak hanya dilihat dari sisi perbuatan fisik yang dilakukan, tetapi juga dilihat dari niat atau kesadaran pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Pada kasus e-KTP, penerapan kedua teori ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana tindak pidana terjadi dan bagaimana penegakan hukum bisa dilakukan dengan adil dan tepat.
1. Menentukan Pertanggungjawaban Hukum
Salah satu alasan pentingnya penerapan teori actus reus dan mens rea dalam kasus e-KTP adalah untuk menentukan pertanggungjawaban hukum pelaku. Tanpa kedua elemen ini, akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa seseorang bertanggung jawab atas tindak pidana. Dalam kasus e-KTP, actus reus jelas tercermin dalam tindakan fisik yang dilakukan para pelaku, seperti manipulasi tender, distribusi uang suap, dan penggelapan anggaran. Namun, tindakan tersebut tidak akan sepenuhnya memenuhi unsur kejahatan tanpa adanya mens rea, yaitu niat jahat atau kesengajaan para pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.

Penerapan teori ini membuktikan bahwa para pelaku bukan sekadar melakukan kesalahan atau kelalaian, tetapi melakukan perbuatan yang direncanakan dengan tujuan tertentu: untuk menguntungkan diri mereka sendiri dan kelompok mereka. Tanpa bukti mens rea, sulit bagi penegak hukum untuk meyakinkan hakim bahwa tindakan mereka merupakan kejahatan yang disengaja. Dengan demikian, teori ini membantu memastikan bahwa pelaku tidak hanya dihukum berdasarkan perbuatan fisik yang dilakukan, tetapi juga berdasarkan niat mereka untuk melakukan kejahatan.

2. Mengungkap Korupsi Sistemik
Kasus e-KTP juga mengungkapkan bagaimana teori actus reus dan mens rea dapat digunakan untuk menganalisis korupsi yang bersifat sistemik dan melibatkan banyak pihak. Korupsi e-KTP tidak hanya melibatkan satu individu, melainkan merupakan persekongkolan yang melibatkan pejabat pemerintah, anggota DPR, serta pihak swasta yang terlibat dalam proyek tersebut. Teori ini memungkinkan penegak hukum untuk melihat bukan hanya perbuatan fisik yang dilakukan oleh para pelaku, tetapi juga motivasi dan niat yang mendorong mereka untuk terlibat dalam korupsi tersebut.

Dengan menggunakan teori mens rea, penegak hukum dapat mengungkap bahwa tindakan korupsi yang terjadi bukanlah hasil dari kelalaian atau kebetulan, tetapi merupakan hasil dari perencanaan yang matang dan niat jahat untuk memperkaya diri sendiri dengan merugikan negara. Penerapan teori ini dalam konteks korupsi sistemik seperti e-KTP membantu mengungkap peran setiap individu dalam jaringan korupsi tersebut, dari pejabat yang memberikan izin hingga perusahaan yang memperoleh keuntungan tidak sah.

3. Memastikan Penegakan Hukum yang Adil
Penerapan teori actus reus dan mens rea dalam kasus e-KTP juga memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan dengan adil. Dengan membuktikan adanya tindakan fisik yang melanggar hukum serta niat jahat di baliknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengumpulkan bukti yang kuat untuk mendukung dakwaan terhadap para terdakwa. Penegak hukum dapat menunjukkan bahwa perbuatan korupsi tersebut dilakukan dengan kesengajaan dan tujuan yang jelas, yaitu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari proyek yang seharusnya untuk kepentingan publik.

Kasus e-KTP memberikan contoh bagaimana penerapan kedua teori ini oleh KPK berhasil mengungkapkan kedalaman dari skandal korupsi dan memastikan bahwa pelaku, meskipun memiliki kedudukan penting, dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan menggunakan actus reus dan mens rea sebagai dasar pembuktian, KPK berhasil memperoleh putusan hukum yang adil, yang tidak hanya menghukum berdasarkan perbuatan fisik yang dilakukan tetapi juga menilai niat di balik setiap tindakan ilegal tersebut.

How: Penerapan Teori Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus e-KTP
Penerapan teori actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi proyek e-KTP merupakan langkah penting dalam proses penegakan hukum. Kedua teori ini memberikan dasar yang kuat untuk mengidentifikasi tidak hanya perbuatan fisik yang dilakukan oleh pelaku, tetapi juga niat atau kesadaran pelaku dalam melakukan tindak pidana. Berikut ini adalah bagaimana teori actus reus dan mens rea diterapkan dalam kasus e-KTP:
1. Mengidentifikasi Tindakan Fisik (Actus Reus)
Proses pertama dalam penerapan teori ini adalah mengidentifikasi tindakan fisik yang dilakukan oleh para pelaku, yang merupakan unsur dari actus reus. Dalam kasus e-KTP, sejumlah perbuatan fisik yang jelas melanggar hukum dapat diidentifikasi, antara lain:
A. Manipulasi Tender
Pelaku dalam kasus e-KTP melakukan manipulasi tender untuk memastikan bahwa perusahaan tertentu memenangkan proyek tersebut. Proses ini dilakukan dengan mengubah spesifikasi teknis tender setelah lelang dimulai. Tindakan ini secara langsung merugikan transparansi dan prinsip persaingan dalam pengadaan barang dan jasa publik.

B. Distribusi Uang Suap
Para pelaku juga terlibat dalam pemberian suap kepada pejabat pemerintah dan anggota DPR untuk memastikan kelancaran proyek dan menghindari intervensi yang dapat menggagalkan proyek. Suap ini menjadi sarana untuk mempertahankan proyek yang melibatkan penggelapan dana.

C. Penggelapan Anggaran
Sebagian besar dana yang disetujui untuk pengadaan sistem e-KTP dan administrasi kependudukan justru diselewengkan. Pelaku mengalihkan sebagian besar dana tersebut ke kantong pribadi mereka, yang merupakan tindakan penggelapan yang melanggar hukum.

2. Membuktikan Niat Jahat (Mens Rea)
Setelah mengidentifikasi tindakan fisik yang dilakukan oleh pelaku, langkah selanjutnya dalam penerapan teori ini adalah membuktikan mens rea atau niat jahat pelaku. Mens rea berfungsi untuk menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya melakukan perbuatan fisik yang salah, tetapi juga memiliki niat atau kesadaran untuk melanggar hukum. Dalam kasus e-KTP, niat jahat pelaku sangat jelas dan dapat dibuktikan melalui beberapa aspek:
A. Kesengajaan untuk Memperkaya Diri dan Kelompok
Para pelaku, termasuk Setya Novanto, menunjukkan niat untuk memperkaya diri mereka sendiri dan kelompok mereka melalui penggelapan dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik. Mereka dengan sengaja mengalihkan anggaran negara untuk kepentingan pribadi, yang jelas menunjukkan adanya niat jahat untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

B. Perencanaan yang Terstruktur dan Sistemik
Korupsi e-KTP tidak terjadi secara spontan, melainkan merupakan hasil perencanaan yang matang antara pejabat pemerintah, anggota DPR, dan perusahaan terkait. Mereka menyusun skenario yang sistematis untuk memastikan bahwa uang proyek bisa diselewengkan dengan aman, tanpa terdeteksi oleh pihak berwenang. Perencanaan ini menunjukkan bahwa para pelaku telah dengan sadar dan sengaja melibatkan diri dalam kegiatan ilegal tersebut.

C. Kesadaran Akan Konsekuensi
Selain itu, para pelaku juga sadar sepenuhnya bahwa tindakan mereka akan menyebabkan kerugian negara yang besar, namun mereka tetap melanjutkan perbuatan tersebut demi keuntungan pribadi. Kesadaran ini menunjukkan bahwa pelaku memahami dampak negatif dari tindakan mereka, tetapi memilih untuk melanjutkan karena manfaat yang mereka dapatkan lebih besar daripada rasa takut terhadap konsekuensi hukum.


3. Penegakan Hukum Berdasarkan Actus Reus dan Mens Rea
Setelah actus reus dan mens rea dapat dibuktikan, langkah selanjutnya adalah penegakan hukum. Dalam kasus e-KTP, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan kedua teori ini untuk mengungkapkan dan menyusun bukti yang kuat terhadap para terdakwa. Penegakan hukum dilakukan dengan cara:
A. Pengumpulan Bukti
KPK mengumpulkan berbagai bukti fisik yang menunjukkan manipulasi tender, penggelapan anggaran, dan pemberian suap. Bukti-bukti ini mencakup dokumen, percakapan, dan transaksi keuangan yang mengarah pada keterlibatan pejabat publik dan pihak swasta dalam persekongkolan tersebut.

B. Menyusun Dakwaan Berdasarkan Niat Jahat
Dengan adanya bukti tindakan fisik yang melanggar hukum, KPK kemudian menyusun dakwaan berdasarkan niat jahat para pelaku. Mereka menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh para pelaku bukan sekadar kelalaian atau kesalahan, tetapi merupakan tindak pidana yang disengaja dengan tujuan tertentu, yakni untuk memperoleh keuntungan pribadi.

C. Proses Persidangan dan Putusan Hukum
Dalam proses persidangan, KPK berhasil meyakinkan hakim bahwa perbuatan para terdakwa memenuhi unsur actus reus dan mens rea. Hasilnya adalah putusan hukum yang adil, di mana para pelaku dihukum berdasarkan perbuatan mereka dan niat jahat yang mendasari tindakan mereka.

KESIMPULAN

Kasus korupsi proyek e-KTP di Indonesia merupakan cerminan dari kompleksitas tindak pidana korupsi yang melibatkan unsur actus reus dan mens rea. Dengan menggunakan teori hukum yang dikemukakan Sir Edward Coke, dapat disimpulkan bahwa tindakan fisik pelaku (actus reus) seperti manipulasi tender, penggelapan anggaran, dan pemberian suap, merupakan bukti nyata dari pelanggaran hukum yang terjadi. Di sisi lain, niat jahat (mens rea) yang tercermin dalam perencanaan sistemik dan kesadaran akan dampak perbuatan mereka menunjukkan adanya kesengajaan untuk melanggar hukum demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Penerapan teori actus reus dan mens rea oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan landasan hukum yang kuat untuk membuktikan tindak pidana dalam skandal ini. Pendekatan ini memastikan bahwa proses hukum tidak hanya menilai tindakan fisik yang dilakukan, tetapi juga motivasi dan niat di balik setiap perbuatan. Kesimpulannya, analisis terhadap kedua elemen ini mampu memberikan gambaran menyeluruh tentang korupsi sistemik, memperkuat penegakan hukum, dan memastikan keadilan ditegakkan dalam kasus-kasus kejahatan korupsi berskala besar seperti proyek e-KTP.

DAFTAR PUSTAKA

1.  Ade Kurniawan, 5 November 2024, Kasus E-KTP: Analisis Mendalam dan Dampaknya dalam Konteks Ilmu Negara. "https://pinterhukum.or.id/kasus-e-ktp-analisis-mendalam-dan-dampaknya-dalam-konteks-ilmu-negara/?amp=1"
2.  Humas FH UI, Anotasi Putusan Kasus Korupsi KTP Elektronik, Ini Hasilnya. "https://law.ui.ac.id/anotasi-putusan-kasus-korupsi-ktp-elektronik-ini-hasilnya%E2%80%8B%E2%80%8B%E2%80%8B%E2%80%8B%E2%80%8B/"
3.  Maya Saputri, 9 Maret 2017, Kronologi Kasus Korupsi e-KTP dalam Dakwaan JPU. "https://tirto.id/kronologi-kasus-korupsi-e-ktp-dalam-dakwaan-jpu-cknA"
4.  Ilham Fariduz Zaman, 27 Maret 2023, Unsur-unsur Tindak Pidana. "https://pinterhukum.or.id/unsur-unsur-tindak-pidana/?amp=1".

5.  Era.id, 12 Maret 2018, Hitungan BPKP Dalam Kerugian Proyek e-KTP. "https://era.id/afair/4960/hitungan-bpkp-dalam-kerugian-proyek-e-ktp"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun