Saya merekomendasikan juga agar baik partai politik maupun platform media sosial menyepakati tiga poin tambahan. Pertama, terbuka dalam transparansi iklan politik di platform media sosia untuk menjaga integritas dan akuntabilitas dana kampanye di Pemilu 2024. Kedua, menghormati prinsip-prinsip pelindungan data pribadi, baik untuk tujuan kampanye offline maupun penargetan mikro dalam iklan politik di media sosial. Dan ketiga, mendeklarasikan bentuk-bentuk penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye pemilu.
Belajar dari inisiatif di Pemilu Thailand 2023, kepatuhan terhadap kode etik kampanye diawasi secara berkala. Karena Thailand tak memiliki Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), koalisi masyarakat sipil membentuk tim adhoc untuk melakukan monitoring. Konteks Indonesia, Bawaslu yang memiliki pengawas hingga level daerah dapat melakukan pengawasan, dengan berkolaborasi dengan koalisi masyarakat sipil, platform media sosial, dan Kominfo. Laporan berkala dapat diterbitkan untuk mengetahui setidaknya peserta pemilu mana yang paling banyak menggunakan narasi diskriminatif dan disinformasi sebagai taktik kampanye, dan platform media sosial mana yang paling responsif dalam memoderasi konten ilegal dan berbahaya.
Kode etik kampanye di media sosial dapat menjadi komitmen bersama yang didorong oleh Bawaslu RI. Semoga belum terlambat untuk berkolaborasi, mendorong kampanye pemilu yang lebih konstruktif nan inklusif.
Sumber :
Perludem, 2021, “Gangguan Terhadap Hak Memilih: Fenomena dan Upaya Penanggulangan” dapat diakses di : https://perludem.org/2021/09/21/gangguan-terhadap-hak-memilih-fenomena-dan-upaya-penanggulangan/
TAUFIQ
Mahasiswa Prodi Komunikasi PJJ Universitas Siber Asia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H