Padahal, ada Putusan Mahkamah Konstitusi No.135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa disabilitas mental memiliki hak pilih selama tidak ada surat keterangan dokter ahli kesehatan jiwa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mampu memilih karena mengalami gangguan mental permanen.
Kata kunci yang saya gunakan untuk menemukan konten serangan dan diskriminasi daring terhadap disabilitas mental ialah “gila pemilu”, “orang gila pemilu”, dan “gila TPS”.
Yang tidak mengejutkan, serangan-serangan tersebut berkelindan dengan disinformasi. Satu contoh hoaks yang viral di Pemilu 2019 ialah hoaks disabilitas mental yang diangkut paksa untuk memilih ke TPS. Framing dari hoaks tersebut ialah betapa KPU berupaya memenangkan salah satu calon presiden dengan memobilisasi suara disabilitas mental. Faktanya, persitiwa di balik foto yang viral beredar adalah disabilitas mental yang diangkut oleh aparat keamanan karena terlibat suatu kasus kriminal.
Ujaran kebencian, diskriminasi, disinformasi, trolling dan doxing hanya sebagian dari beragam jenis serangan daring lainnya selama pemilu. Targetnya tak hanya kelompok rentan, namun juga penyelenggara pemilu, aktivis hak asasi manusia (HAM), jurnalis, dan peserta pemilu. Tantangan mengamankan media sosial semakin bertambah besar dengan hadirnya kecerdasan buatan. Diperlukan komitmen bersama atau multipihak untuk membangun narasi kontrusktif nan inklusif dalam kampanye Pemilu 2024.
Bagaimana kita mengatur kampanye di media sosial?
Undang-Undang (UU) Pemilu telah mengatur norma mengenai larangan menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kampanye pemilu, berikut dengan ancaman pidananya. Namun, tak ada norma spesifik mengenai disinformasi pemilu. Pun, Pasal 280 hanya menarget pelaksana kampanye, peserta pemilu, dan tim kampanye.
Sayangnya, tak ada pula upaya bermakna untuk mengisi kekosongan hukum kampanye di media sosial di dalam Peraturan KPU (PKPU) Kampanye. Hanya ada empat perubahan di dalam PKPU Kampanye Pemilu. Dua diantaranya yaitu, batasan akun peserta pemilu di setiap platform media sosial maksimal 20 akun, dan formulir pendaftaran akun media sosial harus pula disampaikan kepada Komenterian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Di tengah ketidakcukupan regulasi mengenai kampanye online, atau lebih spesifik di media sosial, diperlukan adanya kode etik kampanye di media sosial yang mengikat peserta pemilu dan platform media sosial. Platform menjadi pihak yang juga harus diatur, karena platform lah yang dapat melakukan moderasi konten, dan kenyataan bahwa berbagai serangan daring terjadi di platform media sosial. Uni Eropa misalnya, sepakat bahwa harus ada peningkatan derajat tanggungjawab, akuntabilitas dan transparansi dari platform media sosial.
Kode etik kampanye di media sosial pernah diterapkan di Indonesia pada Pilkada 2020. Perludem menjadi salah satu inisiatornya. Kode etik ini kemudian dikembangkan oleh beberapa negara, termasuk Thailand untuk Pemilu 2023.
Ada dua isu utama yang penting untuk disepakati di dalam kode etik oleh peserta pemilu. Pertama, berkampanye secara konstruktif, mengutamakan inklusivitas, dan tanpa kekerasan. Kedua, menghindari penyebaran konten yang menyesatkan, ujaran kebencian, dan pesan-pesan yang menghasut kekerasan.
Sementara untuk platform media sosial, tiga poin utama yang perlu menjadi komitmen yakni, pertama, menerapkan mekanisme pelaporan dan respons yang mudah digunakan untuk moderasi konten terkait Pemilu 2024. Kedua, menyediakan mekanisme moderasi konten yang melibatkan masyarakat sipil. Ketiga, menerbitkan laporan akuntabilitas moderasi konten selama tahapan Pemilu 2024.