Keprihatinan senator asal Aceh, Azhari Cage, terhadap money politic adalah satu dari jutaan keprihatinan pendukung demokrasi di tanah air. Apa bentuk keprihatinan Cage?Â
"Tindakan tersebut mencederai demokrasi dan merusak tatanan berbangsa dan bernegara (TribunGayo.com 2 Desember 2024)."
Ditengah masyarakat pragmatis saat ini, keprihatinan Cage terasa makin nyata. Kenapa? Karena masyarakat pragmatis tidak terlalu terikat pada prinsip atau ideologi tertentu jika hal tersebut tidak memberikan hasil yang diinginkan.
Apa hasil yang diinginkan? Seberapa besar yang bisa mereka dapatkan hari ini. Benar salah tidak penting. Idealisme dan kesetiaan, itu nomor kesekian.Â
Bagi mereka, anda jual kami beli. Cocok harga angkat barang. Suara dalam Pemilu dihargai sekian rupiah, sikat. Tanpa disadari, sebenarnya praktik semacam itu akan menjadi bagian budaya politik.Â
Tepatnya menjadi budaya politik masyarakat pragmatis ketika jual beli suara pemilih dianggap biasa. Berbahaya memang, karena democracy sudah dibajak oleh moneycracy.Â
Praktik itu membenarkan kesimpulan tulisan Ratu Belva Rasendriya Athallah berjudul "Politik Indonesia, Demokrasi atau Moneykrasi" dalam kumparan.com (26 Desember 2020).
Dikatakannya bahwa "sistem politik di Indonesia saat ini sudah mengalami pergeseran istilah menjadi moneycracy atau sistem pemerintahan yang digerakan oleh uang dan untuk mencari uang."
Pergeseran itu menjadi era paling krusial dalam keberlanjutan demokrasi kedepan. Dikatakan krusial, karena pemilu di negeri ini tidak berjalan sesuai dengan semangat reformasi.
Reformasi yang mengharapkan praktik politik dan kepemerintahan bebas dari KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), malah hari ini semakin menggila.Â
Karena moneycracy sukses membajak semangat reformasi. Pembajakan itu terasa oleh pemilih dan para politisi, tetapi tidak terkatakan. Baunya ada, bentuknya tak terlihat.
Fenomena itu terjadi akibat pemegang hak demokrasi begitu terbuka mengobral suara. Seolah-olah perilaku itu suatu kewajaran. Dimata mereka, Pilpres, Pileg atau Pilkada adalah pesta. Sebagai pesta, mereka harus "kenyang."Â
Dan peluang semacam itu menjadi "makanan empuk" bagi para bohir. Umpan pun disebar dengan nominal tertentu. Terjaringlah suara untuk calon yang didukung para pemilik modal tersebut.
Semua itu membuktikan ketidaksiapan rakyat menghadapi demokrasi bebas, one man one vote. Dimata rakyat, demokrasi hanyalah sebatas pesta, bukan refleksi kedaulatan yang berada ditangan mereka.
Hal itu pula (menurut penafsiran saya) yang dikhawatirkan oleh para founding father (pendiri) negara ini. Wajar apabila mereka yang tergabung dalam panitia 9 bentukan BPUPKI, mengunci kemungkinan itu.
Kuncian itu ditulis dalam dalam sila keempat Pancasila yang berbunyi: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Artinya, memilih pemimpin bukan dipilih secara langsung oleh rakyat. Melainkan melalui perwakilan yaitu MPR dan DPRD. Norma itu berakhir ditangan reformasi 1998.
Untungnya, wacana itu akhirnya mengemuka kembali. "Presiden RI Prabowo Subianto melempar wacana kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD (CNN Indonesia, 13 Desember 2024).Â
Akankah wacana itu mendapat respon positif dari masyarakat dan politisi? Entahlah. Pastinya, inilah kesempatan membebaskan democracy dari pembajakan moneycracy.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H