Karena moneycracy sukses membajak semangat reformasi. Pembajakan itu terasa oleh pemilih dan para politisi, tetapi tidak terkatakan. Baunya ada, bentuknya tak terlihat.
Fenomena itu terjadi akibat pemegang hak demokrasi begitu terbuka mengobral suara. Seolah-olah perilaku itu suatu kewajaran. Dimata mereka, Pilpres, Pileg atau Pilkada adalah pesta. Sebagai pesta, mereka harus "kenyang."Â
Dan peluang semacam itu menjadi "makanan empuk" bagi para bohir. Umpan pun disebar dengan nominal tertentu. Terjaringlah suara untuk calon yang didukung para pemilik modal tersebut.
Semua itu membuktikan ketidaksiapan rakyat menghadapi demokrasi bebas, one man one vote. Dimata rakyat, demokrasi hanyalah sebatas pesta, bukan refleksi kedaulatan yang berada ditangan mereka.
Hal itu pula (menurut penafsiran saya) yang dikhawatirkan oleh para founding father (pendiri) negara ini. Wajar apabila mereka yang tergabung dalam panitia 9 bentukan BPUPKI, mengunci kemungkinan itu.
Kuncian itu ditulis dalam dalam sila keempat Pancasila yang berbunyi: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Artinya, memilih pemimpin bukan dipilih secara langsung oleh rakyat. Melainkan melalui perwakilan yaitu MPR dan DPRD. Norma itu berakhir ditangan reformasi 1998.
Untungnya, wacana itu akhirnya mengemuka kembali. "Presiden RI Prabowo Subianto melempar wacana kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD (CNN Indonesia, 13 Desember 2024).Â
Akankah wacana itu mendapat respon positif dari masyarakat dan politisi? Entahlah. Pastinya, inilah kesempatan membebaskan democracy dari pembajakan moneycracy.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H