Oleh karena itu, mengantongi uang tunai dalam jumlah besar diyakini dapat meningkatkan rasa percaya diri. Lebih-lebih saat berbelanja, segepok uang sengaja dikeluarkan dari saku untuk membayar barang belanjaan. Apa kata orang yang ada disana? "Ini orang kaya."
Sebutan "orang kaya" itu yang diinginkan. Makanya tidak jarang ada yang mempertontonkan uang tunai, pakaian bermerek, perhiasan emas, hingga mobil keluaran terakhir. Padahal seperti kata Lo Kheng Hong "Warren Buffet-nya Indonesia," tampil kaya itu tidak penting, menjadi kaya itu perlu.
Rasa ingin disebut "orang kaya" masih terpatri dibenak siapapun. Bukan hanya dikalangan warga perdesaan, kaum terpelajar pun cenderung ingin terlihat kaya. Salah satu caranya dengan mengantongi uang tunai atau mengoleksi barang mewah.
Meski sesungguhnya mereka paham bahwa hari ini sudah masuk era non tunai. Bahkan mereka mengetahui berbagai aplikasi non tunai, termasuk paham cara kerja mobile banking. Pertanyaannya, kenapa masih ingin mengantongi uang tunai?
"Meunyo tan peng dijaroe," artinya kalau tidak uang dalam saku yang jadi pokok masalahnya. Makanya mengantongi uang tunai dalam jumlah besar, dianggap berbeda dengan memegang kartu debit berisi milyaran rupiah. Gengsi mengantongi uang tunai dianggap dapat meningkatkan stratifikasi sosial seseorang, termasuk terlihat berwibawa dimata kerabat.
"Bunyi cres cres cres saat menghitung uang itu yang bikin kita nggak tahan," ungkap Abdi Manulang, owner Horas Kopi Gayo di Takengon.
Nah, ketika saya mendapat penugasan untuk memimpin sebuah lembaga daerah (maaf, nama lembaganya tidak saya sebutkan), gagasan pertama yang saya tawarkan adalah pembayaran non tunai kepada karyawan maupun pihak ketiga.
Alasan saya waktu itu ada empat. Pertama: supaya tidak terjadi fitnah terhadap bendahara, karena gaji atau tunjangan tidak dibayar utuh. Kedua, bendahara tidak perlu mencairkan uang tunai dalam jumlah besar sehingga tidak diintai oleh perampok. Ketiga, sisa uang (meskipun sedikit) akan tinggal didalam rekening karyawan sebagai tabungan. Keempat, sudah saatnya kita memanfaatkan produk keuangan seperti cash management system (CMS).
Gagasan itu belum dapat diterima sepenuhnya oleh para karyawan. Alasannya beragam. Ada yang mengatakan tidak familier dengan ATM atau mobile banking, ada juga yang mengatakan perlu uang tunai untuk membayar hutang, dan lain sebagainya. Pertemuan itu hanya menyetujui pembayaran gaji secara non tunai, sedangkan untuk pembayaran tunjangan dan biaya operasional tetap secara tunai.
Menjelang berakhirnya tahun anggaran, mulai bermunculan masalah. Ada yang komplain bahwa uangnya dipotong untuk ini dan untuk itu. Pembayaran kepada pihak ketiga tertunda karena dana diduga diendapkan oleh bendahara. Pendeknya, fitnah bertebaran sehingga suasana kerja semakin tidak kondusif, diyakini dapat menurunkan etos kerja.