Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gadis Mata Biru Berdarah Portugis, Ternyata Bukan Dongeng

22 November 2017   22:52 Diperbarui: 23 November 2017   04:04 6349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rauzatul Jannah memegang potret ketika dia masih usia balita (Dokumen pribadi)

Di ujung barat Aceh, ada komunitas bermata biru yang diyakini berdarah Portugis. Mereka sudah sangat lama menetap disana. Meski fisiknya mirip bangsa Eropa, toh komunitas ini tidak merasa sebagai keturunan Eropa, karena tidak tahu siapa nama fam endatunya (nenek moyang).

Umumnya komunitas ini sudah nyaman sebagai orang Aceh yang hidup seperti layaknya penduduk Lamno lainnya. Ada yang bertani, menjadi nelayan, dan usai magrib anak-anak mereka pergi mengaji Al Quran ke dayah atau surau (meunasah) terdekat.

Bagi yang belum tahu keberadaan komunitas ini, sering kecele. Mereka terheran-heran menyaksikan anak-anak bermata biru dan berambut pirang bertutur bahasa Aceh dengan sangat fasih. "Kapan bule belajar bahasa Aceh?" begitu komentar yang sering terdengar.

Cerita itu sudah cukup lama beredar. Ketika saya masih duduk dibangku sekolah dasar tahun 1970-an sudah mendengar cerita itu. Hanya saja, banyak yang menganggap cerita itu sebagai dongeng, semacam cerita menjelang tidur. Pasalnya, banyak orang di Aceh yang mirip bule, Arab, Turki, China, bahkan tidak sedikit mirip orang Tamil.

Akhir-akhir ini, beberapa media cetak, televisi dan media online begitu gencar menyorot kisah gadis bermata biru. Gencarnya pemberitaan tentang sosok fenomenal dari Lamno Kabupaten Aceh Jaya, betul-betul bikin semua orang penasaran. Salah satunya adalah saya.

Sabtu lalu (18/11/2017), saya mengajak Joe Samalanga (wartawan dan budayawan Aceh) untuk menyambangi kampung orang-orang bermata biru di Lamno. Tanpa pikir panjang, dia lagsung menyatakan bersedia. Lalu, bakda ashar, kami sepakat berangkat dari Banda Aceh menuju Lamno yang jaraknya sekitar 78,3 Km.

Perjalanannya sangat menarik, karena kami bisa memacu kenderaan diatas badan jalan terbaik di Aceh. Permukaan jalan sangat mulus, laksana sebuah jalan bebas hambatan.

Menjelang magrib, kami tiba di cadas terjal Gunung Gurutee, tempat paling eksotik untuk menikmati sunset. Disana, orang-orang memenuhi warung-warung yang terbuat dari bedeng, ngopi sambil menunggu sunset.

Setelah melewati cadas terjal itu, pertanda kami sudah masuk ke wilayah yang dihuni oleh orang-orang bermata biru. Dalam hitungan menit, kami sudah melintasi perkampungan penduduk menuju ke pusat kota Lamno.

Ditengah alunan suara azan magrib, kami disambut oleh Firdaus (biasa dipanggil Pedoss) seorang photografer profesional yang menetap di Lamno. Kemudian, dia memandu kami ke sebuah surau (meunasah) yang terletak didekat rumahnya untuk menunaikan ibadah shalat fardu magrib.

Saat menikmati makan malam di sebuah rumah makan, kami mengutarakan niat untuk bertemu dengan keluarga bermata biru. Rencananya, kami akan mewawancarai mereka. Hasil wawancara itu sebagai bahan tulisan tentang kehidupan orang-orang bermata biru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun