"Tidak bayar sama sekali, baik waktu saya dirawat maupun waktu si Rizal diopname selama 4 hari," ungkap Mak Atun, Rabu (25/10/2017) di depan kios kecilnya.
Diceritakan Mak Atun, pernah tetangganya dirawat di rumah sakit akibat pecah ketuban sebelum waktunya. Kebetulan mereka belum mengantongi kartu Jamkesmas (KIS), sehingga harus membayar biaya perawatan.
Biayanya cukup besar, hampir mencapai lima juta rupiah. Untungnya, mereka keluarga mampu yang dapat membayar tunai. Tentu saja pembayaran biaya perawatan itu tidak mempengaruhi ekonomi keluarga mereka.
Bayangkan kalau saya seperti tetangga itu, lanjut Mak Atun. Dengan membayar biaya perawatan sebesar itu akan menyebabkan dirinya makin jatuh miskin. Bahkan, kalaupun kios ini dan seluruh barangnya dijual tidak bisa mencapai angka lima juta rupiah.
Makanya, sebelum mengantongi KIS, dia dan keluarga sangat "alergi" mendengar istilah rumah sakit. Dan hal paling ditakuti Mak Atun adalah ketika ada anggota keluarganya harus diopname di rumah sakit.Â
Berangkat dari pengalaman Mak Atun tadi, ternyata kartu "sakti" bernama KIS ini sangat membantu warga negara dalam proses memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Jatuh sakit bukan masalah bagi pemegang KIS. Sebab, mereka akan dibantu secara gotong royong oleh peserta yang lain sehingga tidak menggerus sumber ekonominya.
Namun demikian, bukan berarti semua orang harus "mengaku" sakit karena bisa berobat gratis dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sakit itu tidak nyaman, sehat itu mahal. Karenanya "jaga sehat sebelum datang sakitmu." Utamakan tindakan preventif, mencegah lebih baik daripada mengobati penyakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H