Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dana Otsus Aceh Akan Berakhir, Selanjutnya Apa?

16 Oktober 2017   21:27 Diperbarui: 16 Oktober 2017   21:48 2754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kincir air di Sungai Peusangan, masih berfungsi sampai hari ini (Dokumen pribadi)

Masih ingat ketika Mawardi Ismail, mewakili panelis debat Cagub Aceh Tahap II tanggal 31 Januari 2017 di Amel Convention Hall Banda Aceh, menyerahkan amplop pertanyaan kepada host acara tersebut? Isi pertanyaannya sangat strategis karena dikaitkan dengan akan berakhirnya penerimaan daerah dari dana otonomi khusus (Otsus).

"Langkah konkrit apa yang dilakukan oleh calon terkait peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan langkah untuk meningkatkan investor di Aceh," begitu bunyi pertanyaannya.

Memang, penerimaan Aceh dari dana Otsus masih mengalir sampai tahun 2022 sebesar 2 persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU). Artinya, era "kelimpahruahan" masih bisa dinikmati selama 5 tahun kedepan.

Namun, memasuki tahun 2023 sampai 2028, penerimaan Aceh dari dana Otsus tinggal 1 persen dari pagu DAU. Dan, pada tahun 2029 mendatang, penerimaan Aceh sama dengan penerimaan provinsi lain di Indonesia.

Dalam posisi itu, sumber penerimaan yang bisa diandalkan setelah era "kelimpahruahan" berakhir pada tahun 2029, satu-satunya bergantung dari Penerimaan Asli Aceh (PAA) sebutan lain dari PAD.

Sebagai acuan tulisan ini, kita merujuk kepada Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2016 Tentang APBA 2016. Dalam Qanun itu,  tertera rencana PAA sebesar Rp 2.057.481.533.300 yang bersumber dari Pajak Aceh sebesar Rp 1.219.985.562.000; Retribusi Aceh sebesar Rp 11.802.500.000; Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh Yang Dipisahkan sebesar Rp 201.085.953.000; dan Lain-lain Pendapatan Asli Aceh Yang Sah sebesar Rp 624.607.518.300.

Melihat angka itu, tentu lumayan besar. Tetapi, apakah roda pemerintahan dan pelayanan publik dapat digerakkan dengan angka PAA sebesar itu? Perlu diketahui bahwa dari total penerimaan Pajak Aceh, ada bagian kabupaten/kota disana.

Misalnya, dalam APBA 2016 ada pos Belanja Bagi Hasil Kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa sebesar Rp 659.792.090.243. Nah, sumber belanja bagi hasil itu, diantaranya ada yang berasal dari Pajak Kenderaan Bermotor (PKB).

Dari situ saja penerimaan Pajak Aceh sudah berkurang sekitar 54 persen. Belum lagi sejumlah dana "numpang lewat" yang harus dicatat dalam komponen PAA. Setelah APBA disahkan, dana itu akan ditransfer ke lembaga pengelolanya.

Mengandalkan dana perimbangan? Itu juga mengkhawatirkan. Memang total penerimaan dana perimbangan tahun 2016 sebesar Rp 1.670.711.099.000. Akan tetapi perlu diketahui, hanya Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 1.263.870.989.000 dan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Rp 251.589.610.000 yang sedikit bebas peruntukannya, seperti untuk belanja pegawai serta belanja barang dan jasa (semacam dana operasional SKPA). Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 155.250.500.000 sudah jelas peruntukannya berdasarkan juklak dan juknis dari Pemerintah.

Pertanyaannya, berapa belanja pegawai yang dianggarkan dalam APBA 2016? Mencapai Rp 1.470.410.539.379, sebesar Rp 1.004.355.900.980 masuk dalam komponen Belanja Tidak Langsung, dan Rp 466.054.638.399 dalam komponen Belanja Langsung.

Artinya, nyaris habis apabila penerimaan DAU dan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak sebesar Rp 1.515.460.599.000 digunakan untuk belanja pegawai, hanya tersisa sebesar Rp 45.050.059.621. Kemudian, ditambah sisa Pajak Aceh (setelah dikurangi bagi hasil dengan kabupaten/kota) Rp 560.193.471.857, Retribusi Aceh Rp 11.802.500.000, Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh Yang Dipisahkan Rp 201.085.953.000, Lain-lain Pendapatan Asli Aceh Yang Sah Rp 624.607.518.300, maka tertotal Rp 1.442.739.502.778.

Nah, dengan dana Rp 1.442.739.502.778 tersebut, mampukah Pemerintah Aceh menggerakkan roda pemerintahan dan pelayanan publik? Seperti diketahui bahwa dalam APBA 2016 ada direncanakan Belanja Barang dan Jasa sebesar Rp 3.781.561.103.326.

Dana yang tersisa setelah dialokasikan untuk belanja pegawai hanya Rp 1.442.739.502.778. Lantas, dari mana diperoleh tambahan dana untuk mencukupi alokasi belanja barang dan jasa sebesar Rp 3.781.561.103.326? Dugaan saya, dialokasikan dari dana Otsus.

Lalu, ketika era "kelimpahruahan" dana Otsus berakhir pada saatnya, dari mana sumber dana untuk mencukupi alokasi belanja barang dan jasa, termasuk belanja modal untuk pembangunan Aceh?

Inilah problem besar yang akan dihadapi Aceh dimasa depan. Sadarkah kita dengan kondisi dan situasi itu? Sesungguhnya, inilah yang diingatkan para panelis dalam debat Cagub Aceh Tahap II, 31 Januari 2017 lalu. Mereka ingin mengetahui langkah kongkrit para Cagub dalam meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA).

Intinya, Aceh harus memiliki sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA), setidak-tidaknya setengah dari jumlah dana Otsus saat ini. Bila tidak mampu disediakan, dikhawatirkan penyelenggaraan roda Pemerintahan Aceh kedepan bagaikan mobil kehabisan tenaga disebuah tanjakan.

Menariknya, Gubernur Aceh terpilih, Irwandi-Nova, mengapungkan sebuah gagasan cerdas melalui program unggulannya yang bernama Aceh Trang (Aceh Energi). Dalam salah satu poin, mereka menginginkan "percepatan realisasi pembangkit listrik Geothermal Seulawah dan pembangkit listrik tenaga air (mini dan mikrohidro) dengan kapasitas menengah."

Matching dengan "mimpi" Aceh untuk "menambang" PAA setidak-tidaknya setengah dari dana Otsus. Heran? Wilayah Aceh cukup kaya dengan sumber daya air. Berdasarkan Buku Data SLHD Provinsi Aceh (2014), terdapat 274 sungai di wilayah Aceh. Dan, 10 diantaranya termasuk dalam kategori sungai yang panjangnya 75 Km ke atas.

Diantaranya, Krueng Tamiang 208 Km, Krueng Teunom 130 Km, Krueng Tingkem 128 Km,  Krueng Singkil 120 Km, Krueng Batee 111,2 Km, Krueng Simpang Kiri 101 Km, Weh Gembrik 99,2 Km, Krueng Pasee 88 Km, Krueng Keureuto 77,5 Km, dan Krueng Peusangan 75 Km.

Nah, selama ini sebagian besar potensi sumber daya air dari 274 sungai itu terbuang percuma, mengalir ke Selat Malaka dan Samudera Indonesia. Sesungguhnya, aliran air itu dapat diubah dan menghasilkan ratusan MW energi terbarukan. Energi itu kemudian dijual kepada PT PLN (Persero) sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017.

"Dalam rangka penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan, PT PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan."

Sumber Energi Terbarukan yang dimaksud Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Dari 274 aliran air atau sungai di Aceh, bahkan dibeberapa tempat ada terjunan air, diyakini dapat digunakan untuk sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Seyogyanya,  membangun sebuah PLTA memang harus didanai oleh investor.

Namun, tidak ada salahnya juga apabila investasi pembangunan sebuah PLTA berasal dari APBA dan APBK. Mumpung sumber dana Otsus masih ada, tentu investasi untuk proyek energi terbarukan sangat menguntungkan bagi PAA. Apalagi pembeli energi yang dihasilkan nantinya sudah jelas, yaitu PT PLN (Persero).

Inilah saatnya Aceh Trang bekerja. Membangun konsorsium (kerjasama antar daerah) antara Pemerintah Aceh dengan 23 pemerintah kabupaten/kota se-Aceh. Polanya, setiap tahun anggaran Pemerintah Aceh menyisihkan sebagian dana Otsus bagian provinsi sebagai modal, dan 23 kabupaten/kota juga menyisihkan sebagian dana Otsus bagian kabupaten/kota sebagai modal membangun PLTA. Persis seperti pola penyertaan modal (saham) kepada Bank Aceh.

Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk membangun 1 unit PLTM? Makalah yang disusun oleh Febriansyah dan Dr Ir Joko Windarto MT dari Fakultas Teknik Undip tentang Kapasitas Pembangkit dan Rancangan Anggaran Biaya Pembangunan PLTM di Sungai Damar Kabupaten Kendal, sekurang-kurangnya dapat dijadikan pembanding.

Disebutkan, total anggaran biaya pada pembangunan PLTM Damar adalah sebesar Rp 20.969.820.025, sudah termasuk PPN 10%. Total benefit yang didapatkan selama 20 tahun ialah sebesar Rp 39.813.725.513,26 sedangkan cost total selama 20 tahun sebesar Rp 36.565.372.799,99 sehingga NPV yang didapatkan sebesar Rp3.248.352.713,28., jadi nilai NPV bernilai positif (NPV>0) (sumber: Elektro Undip)

Dengan anggaran sebesar itu, bukan mustahil, setiap tahun konsorsium Pemerintah Aceh dengan 23 kabupaten/kota mampu membangun 10 unit (atau lebih) PLTM. Dan, sampai 2028 (sekitar 10 tahun kedepan) ketika penerimaan dana Otsus berakhir, konsorsium ini sudah memiliki aset PLTM sebanyak 100 unit atau lebih.

Hadirnya PLTM itu (selain mengatasi krisis listrik Aceh) dipastikan menjadi salah satu "mesin" penerimaan PAA bagi Pemerintah Aceh dan 23 kabupaten/kota. Penerimaan itu berasal dari hasil penjualan energi listrik kepada PT PLN (Persero). Ini artinya, paling tidak  kita sudah siap menghadapi kondisi terburuk pasca berakhirnya kucuran dana Otsus pada tahun 2028. Mudah-mudahan!

Video kincir air yang dibangun sejak zaman Jepang, masih beroperasional sampai hari ini.


            

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun