Artinya, nyaris habis apabila penerimaan DAU dan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak sebesar Rp 1.515.460.599.000 digunakan untuk belanja pegawai, hanya tersisa sebesar Rp 45.050.059.621. Kemudian, ditambah sisa Pajak Aceh (setelah dikurangi bagi hasil dengan kabupaten/kota) Rp 560.193.471.857, Retribusi Aceh Rp 11.802.500.000, Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh Yang Dipisahkan Rp 201.085.953.000, Lain-lain Pendapatan Asli Aceh Yang Sah Rp 624.607.518.300, maka tertotal Rp 1.442.739.502.778.
Nah, dengan dana Rp 1.442.739.502.778 tersebut, mampukah Pemerintah Aceh menggerakkan roda pemerintahan dan pelayanan publik? Seperti diketahui bahwa dalam APBA 2016 ada direncanakan Belanja Barang dan Jasa sebesar Rp 3.781.561.103.326.
Dana yang tersisa setelah dialokasikan untuk belanja pegawai hanya Rp 1.442.739.502.778. Lantas, dari mana diperoleh tambahan dana untuk mencukupi alokasi belanja barang dan jasa sebesar Rp 3.781.561.103.326? Dugaan saya, dialokasikan dari dana Otsus.
Lalu, ketika era "kelimpahruahan" dana Otsus berakhir pada saatnya, dari mana sumber dana untuk mencukupi alokasi belanja barang dan jasa, termasuk belanja modal untuk pembangunan Aceh?
Inilah problem besar yang akan dihadapi Aceh dimasa depan. Sadarkah kita dengan kondisi dan situasi itu? Sesungguhnya, inilah yang diingatkan para panelis dalam debat Cagub Aceh Tahap II, 31 Januari 2017 lalu. Mereka ingin mengetahui langkah kongkrit para Cagub dalam meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA).
Intinya, Aceh harus memiliki sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA), setidak-tidaknya setengah dari jumlah dana Otsus saat ini. Bila tidak mampu disediakan, dikhawatirkan penyelenggaraan roda Pemerintahan Aceh kedepan bagaikan mobil kehabisan tenaga disebuah tanjakan.
Menariknya, Gubernur Aceh terpilih, Irwandi-Nova, mengapungkan sebuah gagasan cerdas melalui program unggulannya yang bernama Aceh Trang (Aceh Energi). Dalam salah satu poin, mereka menginginkan "percepatan realisasi pembangkit listrik Geothermal Seulawah dan pembangkit listrik tenaga air (mini dan mikrohidro) dengan kapasitas menengah."
Matching dengan "mimpi" Aceh untuk "menambang" PAA setidak-tidaknya setengah dari dana Otsus. Heran? Wilayah Aceh cukup kaya dengan sumber daya air. Berdasarkan Buku Data SLHD Provinsi Aceh (2014), terdapat 274 sungai di wilayah Aceh. Dan, 10 diantaranya termasuk dalam kategori sungai yang panjangnya 75 Km ke atas.
Diantaranya, Krueng Tamiang 208 Km, Krueng Teunom 130 Km, Krueng Tingkem 128 Km, Â Krueng Singkil 120 Km, Krueng Batee 111,2 Km, Krueng Simpang Kiri 101 Km, Weh Gembrik 99,2 Km, Krueng Pasee 88 Km, Krueng Keureuto 77,5 Km, dan Krueng Peusangan 75 Km.
Nah, selama ini sebagian besar potensi sumber daya air dari 274 sungai itu terbuang percuma, mengalir ke Selat Malaka dan Samudera Indonesia. Sesungguhnya, aliran air itu dapat diubah dan menghasilkan ratusan MW energi terbarukan. Energi itu kemudian dijual kepada PT PLN (Persero) sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017.
"Dalam rangka penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan, PT PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan."