Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 9 Februari 2017, puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2017 dirayakan dengan cukup meriah di Lapangan Tantui, Kota Ambon, Maluku. Tidak tanggung-tanggung, acara itu langsung dihadiri oleh Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana, serta para insan pers.
Pada kesempatan itu, Presiden pun mengajak seluruh insan pers bersama-sama dengan pemerintah menyetop dan mengurangi berita bohong dan hoax atau berita fitnah lainnya. Ia meminta media arus utama harus mampu meluruskan hal-hal yang bengkok, dan membuat jernih kembali media sosial (sumber: www.haripersnasional.com).
Kenapa Presiden mengajak insan pers untuk mengurangi berita hoax? Sebegitu strategiskah peran pers dalam kehidupan bangsa ini? Pasti, karena menurut Undang-undang Nomor Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegaskan bahwa:
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Nah, sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, pers dapat “mewarnai” persepsi pembaca, pendengar maupun pemirsa. Bukan itu saja, informasi yang disajikan insan pers dapat mempengaruhi kebijakan nasional maupun dunia internasional.
Buktinya, eksistensi Indonesia yang nyaris pudar pada tahun 1948, kembali diakui dunia internasional. Informasi suara yang disampaikan oleh insan pers melalui sebuah stasion radio bernama Radio Rimba Raya, menjadi alat bukti bagi LN Palar berbicara di Dewan Keamanan PBB bahwa “perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir.”
Bagaimana kisahnya? Perang “udara” antara Radio Rimba Raya yang dipancarkan dari hutan Krueng Simpo Bireuen dengan stasion radio Belanda yang dipancarkan dari Medan, Batavia termasuk Radio Hilversium dari Holland, ternyata dipantau oleh DR Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India. Kemudian, DR Sudarsono meneruskan informasi perang “udara” itu kepada LN Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Informasi-informasi yang dipancarkan oleh Radio Rimba Raya itulah menjadi bahan LN Palar berjuang di Dewan Keamanan PBB. Informasi itu mematahkan berita hoax yang sebelumnya disebarkan oleh Radio Batavia dan Radio Hilversium. Dalam siarannya, radio itu menyatakan: perjuangan rakyat Indonesia sudah lumpuh dan para pemimpinnya sudah ditangkap.
Akibat bantahan LN Palar membuat pihak Belanda murka. Mereka mengirim pesawat tempur untuk menghancurkan perangkat radio perjuangan tersebut. Insan pers pejuang yang mengoperasionalkan radio tersebut memindahkan perangkat radio dari Kreung Simpo ke pegunungan Cot Gue Aceh Besar.
Ternyata, pihak Belanda berhasil mencium lokasi baru itu di Cot Gue. Kemudian, pada tanggal 20 Desember 1948 Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh memerintahkan supaya stasion radio tersebut dipindahkan ke pegunungan Rimba Raya di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Pesawat tempur Belanda tidak dapat mendeteksi keberadaan perangkat radio itu yang disembunyikan di tengah hutan belantara. Alhasil Radio Rimba Raya dapat “mengangkasa” tanpa khawatir dibombardir oleh pesawat-pesawat Belanda. Hebatnya, insan pers pejuang itu bukan hanya “mengangkasa” dengan bahasa Indonesia, mereka juga menggunakan berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, dan bahasa Cina.