“Tahan berpuasa?” kejar saya.
“Memang terkadang sedikit agak hoyong. Tapi itu bukan masalah,” ungkap Pak Dahlan.
“Baik. Oh ya, selama 4 bulan cuci darah, berapa banyak sudah uang yang bapak keluarkan?” tanya saya.
“Uang? Belum serupiahpun,” sebut Pak Dahlan.
“Kartu apa yang bapak tunjukkan sehingga bapak tidak dimintai uang?” tanya saya.
“Kartu Indonesia Sehat,” jelas Pak Dahlan.
Saya menjelaskan, sebagai pemegang Kartu Indonesia Sehat maka iuran BPJS kesehatan atas nama Pak Dahlan dibayar oleh Pemerintah. Kemudian, saya juga menyampaikan biaya terapi hemodialisis di RSU Datu Beru sebesar Rp 700 ribu sekali terapi. Angka itu belum termasuk harga obat. Berarti, Pak Dahlan seyogyanya harus mengeluarkan biaya terapi sebesar Rp 1,4 juta seminggu.
Pak Dahlan seperti menahan nafas mendengar angka itu. Dia mengaku baru hari ini mengetahui besaran biaya terapi. Pasalnya, selama ini Pak Dahlan tidak pernah membayar biaya terapi alias free charge. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu bergumam: “sebagai orang miskin, mana mungkin saya mampu membayar biaya sebesar itu.” Suasana kembali hening, Pak Dahlan membatin. Melihat Pak Dahlan, saya kehilangan kalimat untuk melanjutkan pertanyaan.
“Terus siapa sebenarnya yang membayar terapi saya ini?” tanya Pak Dahlan memecahkan suasana hening.
“Saya, dokter Hardi ini, perawat-perawat disini, dan semua peserta BPJS Kesehatan. Dengan membayar iuran BPJS sama dengan bergotong royong membantu peserta yang sakit,” jawab saya.
“Begitu pak ya,” gumam Pak Dahlan terheran-heran.