Keterangan foto: begitu nyamannya didalam gerbong KRL Commuter Line sampai rasa kantuk tak tertahankan [foto: dokpri]
Tahukah pembaca yang budiman, ternyata cikal bakal Kereta Rel Listrik [KRL] Commuter Line bukan produk pasca kemerdekaan, tetapi hasil rintisan Pemerintah Kolonial Belanda. Seperti ditulis dalam Wikipedia, “pada Tahun 1923, Staats Spoorwegen sebagai operator kereta api milik Pemerintah Kolonial Belanda memulai proyek elektrifikasi jalur kereta Tanjoeng Priok - Meester Cornelis (Jatinegara), dan diresmikan pada 1925. Proyek elektrifikasi terus berlanjut pada lingkar Jakarta, hingga Bogor dan Bekasi. Kereta yang digunakan ialah lokomotif listrik seri 3000 buatan pabrik SLM–BBC (Swiss Locomotive & Machine works - Brown Baverie Cie), lokomotif listrik seri 3100 buatan pabrik AEG (Allgemaine Electricitat Geselischaft) Jerman, lokomotif listrik seri 3200 buatan pabrik Werkspoor Belanda serta kereta listrik buatan pabrik Westinghouse dan kereta listrik buatan pabrik General Electric.”
Terlepas dari siapa yang merintisnya, yang jelas KRL Commuter Line sangat membantu angkutan orang dari Jakarta-Bogor dan sebaliknya. Meskipun pelayanannya kurang memuaskan, tetapi penumpangnya selalu membludak. Namun, informasi akhir-akhir ini menyatakan bahwa pelayanannya semakin memuaskan, baik sistem ticketing maupun kenyamanan penumpang. Sayangnya, saya belum dapat memberi komentar apapun atas kualitas pelayanan KRL tersebut, untuk sementara hanya bisa menyimak obrolan orang lain.
Pasalnya, saya [barangkali juga teman-teman lain di Aceh] sama sekali belum pernah menumpang angkutan massal rute Jakarta-Bogor itu. KRL Commuter Line memang sering disiarkan oleh media televisi, tetapi bagaimana rasanya berada dalam gerbong KRL. Inilah yang membuat saya penasaran. Dalam pikiran saya, berada dalam gerbong KRL Commuter Line tidak berbeda jauh dengan gerbong Atjeh Tramp, kereta api uap yang mulai beroperasi di Aceh sejak 12 Agustus 1876 sampai tahun 1970-an.
Benarkah? Usai menghadiri Kompasianival 2014 di Taman Mini Indonesia Indah [TMII], 22 November 2014, saya bertemu dengan empat teman sekantor di Jakarta. Malam itu, kami mengobrol disebuah coffee shop yang terletak dibilangan Sarinah. Dalam obrolan itu, tercetus gagasan untuk mencoba kemewahan gerbong KRL Commuter Line. Selama ini, kami hanya mendengar kemewahan interior, kebersihan gerbong serta fasilitas toilet di setiap stasion. Seperti disiarkan televisi, saat Dahlan Iskan menjabat Meneg BUMN, dia sering mandi pagi di toilet stasion KRL. Ini artinya, toilet itu cukup bersih, dan airnya sangat memadai. Fakta ini membuktikan bahwa pelayanan KRL sudah mengalami kemajuan pesat. Mumpung sedang berada di Jakarta, kami sepakat berwisata ke Bogor dengan menumpang KRL Commuter Line.
Esok pagi, 23 November 2014, kami sudah berada di Stasion Gondangdia. Disana, kami sempat celingak-celinguk mencari loket penjualan tiket [maklum baru datang dari ujung barat pulau Sumatera]. Lalu bertanya kepada salah seorang satpam, dia menunjuk ke arah orang yang sedang antri di depan bangunan berdinding kaca. Itu rupanya loket penjualan tiket, lalu kami antri dibelakang beberapa orang calon penumpang lain. Menariknya, antri ditempat ini cukup tertib, tidak ada calo, tidak berdesak-desakan, apalagi saling mendahului. Inilah perubahan mendasar yang saya lihat, budaya antri semakin baik dikalangan para penumpang KRL Commuter Line.
“Saya sudah ada tiket,” kata saya kepada keempat teman sekantor itu sambil memperlihatkan Flazz Kompasiana Community Card [KCC].
Menurut Iskandar Zulkarnaen [Isjet] kepada Kompasdotcom [22/11/2014], “Kartu KCC ini juga sekaligus berfungsi sebagai kartu KRL Jabodetabek yang tentunya bisa memudahkan pelanggan KRL bepergian menggunakan kereta.” Dari penjelasan Isjet, saya menyimpulkan bahwa KCC ini “berkhasiat” sebagai tiket multi trip.
“Nggak apa-apa, supaya seragam kita beli aja satu orang satu. Itung-itung sebagai kenang-kenangan pernah naik KRL Commuter Line,” ujar Pak Amir tertawa.
“Sepuluh ribu rupiah pak,” kata petugas loket sambil menjelaskan rinciannya bahwa lima ribu rupiah sebagai tiket per orang dan lima ribu rupiah sebagai jaminan kartu untuk satu kali perjalanan.
“Sekembali dari Bogor, kartu ini bisa ditukar kembali dengan uang jaminan itu,” ujar petugas loket itu sambil menunjuk brosur yang tertempel di kaca loket.
“Tiketnya cukup murah, hanya lima ribu rupiah untuk perjalanan sejauh 55 kilometer,” bisik Pak Amir sambil menggesek kartu itu di pintu masuk menuju tempat menunggu KRL.
Kami sangat takjub melihat kebersihan Stasion Gondangdia. Nyaris tidak ditemukan sampah dilantai dasar bangunan itu maupun dilantai dua [tempat menunggu KRL yang datang dari Stasion Senen]. Biasanya, yang namanya stasion atau terminal, bertebaran aroma bau pesing dan bau busuk sampah. Hari itu, kami benar-benar merasakan sebuah kenyamanan, seperti berada dalam stasion KRL sebagaimana terlihat dalam film-film Hollywood.
KRL Commuter Line berhenti didepan kami, pintunya terbuka secara otomatis. Kami masuk dalam gerbong keempat, disana terlihat beberapa orang penumpang dari Stasion Senen duduk membelakangi jendela. Masih banyak kursi kosong, kami memilih kursi empuk berjok hitam. Duduk berhadapan dengan penumpang didepan kami. Semua diam, asyik dengan gadget ditangan masing-masing. Selang lima belas menit, muncul petugas cleaning service membawa sapu dan serok. Sambil berjalan, lelaki muda itu menyapu lantai gerbong.
“Pantas tidak ada selembar kertas pun tersisa dilantai KRL ini,” bisik saya kepada Pak Amir.
“Itu tandanya manajemen KRL ini sudah bagus,” jawab Pak Amir.
Teringat saat berada dalam gerbong Atjeh Tramp pada awal tahun 1970-an, sampah bertebaran disepanjang lantai gerbong. Bedanya seperti siang dan malam, sulit membandingkannya. Gerbong Atjeh Tramp seperti truk, tempat duduknya bangku kayu, barang penumpang diletakkan di lantai gerbong.
Percikan bara api dari lokomotif diterbangkan angin dan masuk kedalam gerbong, sehingga pakaian kita bolong-bolong. Telinga serasa pekak akibat suara bising dari roda besi yang beradu dengan rel baja. Debu masuk dibawa hempasan angin, menerobos melalui jendela terbuka. Ini kondisi dahulu, ketika ekonomi negara ini masih terseok-seok, angkutan massal Atjeh Tramp sudah cukup memadai.
Sekarang, dalam gerbong KRL Commuter Line, kami seperti berada dalam sebuah aula. Angkutan massal ini mampu memecah kemacetan dijalanan Jakarta. Pantas, orang lebih suka menumpang KRL Commuter Line, selain murah, juga tepat waktu, sehingga Jakarta-Bogor begitu dekat. Ditambah lagi gerbongnya cukup luas dan nyaman, meskipun terdapat sedikit sentakan akibat gerakan gerbong. Paling menarik, ruanganya full AC, cukup dingin, sehingga sulit menahan datangnya rasa kantuk.
“Ngantuk banget, maunya ada coffee shop, ngopi di kereta ini pasti sensasinya berbeda,” kata saya.
“Apalagi minum kopi Gayo sambil menikmati panorama, rasa kantuk pasti hilang,” tambah Pak Amir.
Saya tanya ihwal coffee shop kepada lelaki paruh baya yang duduk disisi kiri, katanya tidak tersedia di KRL itu. Lelaki itu menambahkan, nanti di Stasion Bogor banyak restoran yang menyediakan aneka makanan dan minuman. Dia menunjuk poster yang tertempel di dinding gerbong, salah satunya larangan makan-minum dalam gerbong.
Memang, salah satu sumber sampah adalah kemasan dan sisa makanan-minuman. Kalau dibebaskan makan dan minum dalam gerbong KRL, maka sampah tidak akan pernah habis. Wajar apabila gerbong KRL Commuter Line yang kami tumpangi cukup bersih, lantaran tidak ada sampah sisa makanan dibuang dilantai gerbong. Setelah menikmati perjalanan hari itu, hanya satu kata yang dapat saya sampaikan kepada manajemen KRL Commuter Line: HEBAT. Kalau disediakan satu gerbong khusus untuk coffee shop, saya ingin katakan: SANGAT HEBAT, lantaran KRL ini bisa menjadi obyek wisata alternatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H