Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tempuh Cara Fahira Fahmi Idris, Suara DPD-RI akan Didengar

2 Juli 2015   03:02 Diperbarui: 2 Juli 2015   03:02 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterangan foto: Senator Fahira Fahmi Idris memasang pin #GeNAM kepada relawan anti miras di Cianjur (Foto: dok pribadi)

 

Pasca reformasi, keterwakilan politik di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sebelumnya, hanya ada satu lembaga perwakilan di Indonesia yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Kini, telah hadir pula sebuah lembaga perwakilan yang anggotanya juga dipilih melalui Pemilu. Kedua lembaga perwakilan itu dikenal dengan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Meskipun kedua lembaga itu menyandang nama “perwakilan,” tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Dalam Pasal 20-A ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk menjalankan fungsi tersebut, DPR mempunyai hak seperti tertuang dalam Pasal 20-A ayat (2) yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain hak-hak tersebut, anggota DPR (Pasal 20-A ayat 3) mempunyai hak menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

Sedangkan DPD sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22-D ayat (1) UUD 1945, “haknya”  hanya (sebatas) dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPD memang diberi “hak” tetapi sebatas mengajukan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22-D ayat (1) tersebut. Dalam pelaksanaannya, para senator ini juga diberi “hak” untuk ikut membahas Rancangan Undang-undang itu (ayat 2). Ini artinya, DPD (sebenarnya) tidak memiliki hak membentuk undang-undang sebagaimana hak yang dimiliki oleh DPR. Demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, para senator ini hanya diberi hak sebatas kata “dapat” (ayat 3). Konkritnya dari kata dapat,  jika DPD ingin mengawasi “monggo” kalau tidak ingin mengawasi “rapopo.”

Kecewa? Begitulah konstitusi Republik Indonesia mengatur kedua lembaga perwakilan itu. Wajar apabila popularitas kedua lembaga perwakilan itu ibarat siang dan malam. DPR begitu digdaya dalam menjalankan perannya sebagai lembaga legislatif di negara ini, sebaliknya DPD tenggelam dibawah bayang-bayang gedung megah yang berdiri kokoh di Senayan. Sangat logis jika kemudian para anggota DPD mengharapkan suaranya didengar. Mereka juga adalah wakil-wakil rakyat dari daerah, diyakini sebagai orang yang paling memahami masalah-masalah di daerah.

Sebagai rakyat dan salah seorang pemilih, sebenarnya saya lebih suka menyalurkan aspirasi melalui para senator daripada melalui anggota DPR. Kenapa? Wakil rakyat yang paling sering berada di daerah adalah para senator alias anggota DPD. Sebaliknya, anggota DPR akan kembali ke daerah saat masa reses tiba. Sayangnya, aspirasi yang disampaikan melalui anggota DPD sering tidak bergaung karena keterbatasan hak dan kewenangan yang dimiliki. Saya sangat memaklumi kondisi itu, tetapi masyarakat awam jarang bisa menerima kenyataan tersebut.

Dalam pandangan masyarakat, anggota DPD sama dan sebangun dengan anggota DPR. Keduanya adalah wakil rakyat yang berkantor di Senayan. Faktanya, aspirasi yang disampaikan masyarakat via anggota DPD, biasanya jarang yang berwujud. Sebaliknya, apabila disampaikan via anggota DPR, aspirasi itu sering membuahkan hasil. Jangan heran, jika kemudian masyarakat lebih mengelu-elukan anggota DPR yang kembali ke daerahnya daripada anggota DPD yang sering lalu lalang di daerah pemilihan. Inilah realitas yang sulit dipungkiri,  karena faktanya memang demikian adanya.

Beberapa anggota DPD sepertinya sangat menyadari realitas ini. Mereka tidak berdiam diri, tetapi mengumpulkan isu-isu penting di daerah pemilihannya. Isu-isu itu selanjutnya dikemas menjadi  sebuah aspirasi. Bahkan ada yang menjemput aspirasi itu dari pintu ke pintu dengan memanfaatkan media jejaring sosial. Berbekal aspirasi tersebut, para anggota DPD mulai melakukan pressure kepada lembaga negara yang terkait. Ujungnya, lahirlah sebuah kebijakan sebagai solusi dari isu-isu tersebut.

Saya melihat cukup banyak anggota DPD yang memanfaatkan momentum-momentum seperti itu. Tujuannya hanya satu, agar suaranya didengar. Salah satu dari sekian banyak anggota DPD yang memanfaatkan momentum itu adalah Fahira Fahmi Idris, anggota DPD dari daerah pemilihan DKI Jakarta. Meskipun saya tidak mengenal sosok ini secara langsung, tetapi sangat mengenal gebrakan #GeNAM (Gerakan Nasional Anti Miras) di media jejaring sosial Twitter.

Dia sangat peka terhadap isu penjualan minuman keras secara bebas di hypermarket dan minimarket. Tidak menunggu lama, perempuan ini langsung merespon apabila ada informasi penjualan minuman keras di sebuah minimarket. Dia memang sangat peduli terhadap dampak minuman keras, terlebih apabila minuman beralkohol itu dapat dibeli secara bebas oleh para remaja. Twit pun meluncur dari akunnya, dan me-mention ke akun manajemen pengusaha retail tersebut, termasuk kepada orang-orang penting di negara ini.

Ini contoh twit Fahira Fahmi Idris di twitter:

Gebrakan senator asal DKI Jakarta ini bukan sekedar menulis di twitter. Dia juga turun langsung ke lapangan mendatangi lokasi penjualan minuman keras itu. Menggalang relawan pendukung #GeNAM di berbagai daerah. Hasilnya, dukungan masyarakat  mengalir kepadanya. Berdasarkan dukungan itu, dia mendatangi parlemen dan  lembaga negara terkait. Perempuan ini benar-benar tampil sebagai pemimpin pressure group untuk menolak penjualan minuman beralkohol secara bebas di minimarket.

Hasilnya bukan sekedar wacana. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 Tanggal 16 Januari 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Apa isi Peraturan Menteri Perdagangan itu? Pasal II ayat (1) menyatakan: “Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku SKP-A untuk minimarket dan toko pengecer lainnya dinyatakan tidak berlaku.” Kemudian pada ayat (2) ditegaskan: “Pengecer Minuman Beralkohol skala minimarket dan pengecer lainnya, paling lambat 3 (tiga) bulan harus sudah menarik produk Minuman Beralkohol golongan A dari peredaran.”

Cara Fahira Fahmi Idris ini makin menarik. Lebih-lebih ketika media jejaring sosial dimanfaatkan secara maksimal. Melalui media sosial, dia melaporkan berbagai aktivitasnya kepada konstituen dan publik. Disisi lain,  media sosial dijadikan sebagai alat untuk menampung aspirasi masyarakat. Uniknya, bukan keluhan pelayanan publik saja yang ditampungnya via twitter. Dia bahkan bersedia menjadi “mak comblang” untuk netizen yang mencari jodoh.

Disadari atau tidak,  sebenarnya perempuan ini sedang memainkan peran sebagai penyambung lidah rakyat. Inilah kekuatan real seorang politisi. Sebagai penyambung lidah rakyat, suara dan perjuangannya pasti didengar oleh para pihak, termasuk pemegang kebijakan di negara ini. “Kekuatan” yang dimiliki sosok senator asal DKI Jakarta ini sangat disadari oleh fans dan followernya di twitter, termasuk di dunia nyata. Wajar apabila jumlah pengikutnya di twitter terus bertambah, dan terakhir mencapai 197 ribu akun.

Berkaitan dengan cara yang dilakukan Fahira Fahmi Idris, apakah para senator atau anggota DPD yang lain mampu memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat? Jelas sangat mampu apabila mereka bersedia mengikuti langkah-langkah yang sedang dilakukan oleh Fahira Fahmi Idris. Senator ini hanya memanfaatkan media jejaring sosial sebagai alat untuk menjaring aspirasi. Oleh karena itu, dimana dan kapanpun, dia selalu menerima informasi atau aspirasi dari para followernya via twitter.

Caranya itu terlihat cukup mudah dan sederhana. Memang sederhana, makanya para senator yang ingin menjadi penyambung lidah rakyat, harus memiliki (minimal) satu akun media jejaring sosial yang selalu aktif. Dengan akun media jejaring sosial itu, tampunglah aspirasi dan keluhan masyarakat. Sebelum diagregasikan, lengkapi aspirasi itu dengan data dan informasi pendukung. Barulah kemudian aspirasi itu diagregasikan dan perjuangkan ke lembaga negara atau lembaga daerah yang menangani.

Perjuangkan terus sampai aspirasi itu memperlihatkan hasil nyata. Meskipun hasilnya berskala kecil, tetapi aspirasi masyarakat sudah diperjuangkan. Misalnya, wujud aspirasi itu ditandai dengan terbitnya sebentuk peraturan kepala daerah. Itu sudah cukup. Kalau bisa lahir sebuah undang-undang, itu sangat fantastis. Lalu rasakan dengan hati bening, detik-detik keberhasilan seperti itulah yang membuat para senator "menikmati" suaranya didengar di Republik ini. Sederhana bukan? Selamat mencoba....

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun