Mohon tunggu...
Muhammad Surya Bhaskara
Muhammad Surya Bhaskara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pertahanan

Saya adalah masyarakat yang hidup di perbatasan negara Indonesia yang memiliki impian dan harapan yang tinggi untuk kemajuan. Saya pernah bersekolah 3 S ( SD, SMP, SMA ) di Natuna lalu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi tercintaa Institut Pemerintahan dalam Negeri ( IPDN ), kemudian tidak lama melanjutkan ke jenjang Magister Pertahanan prodi Peace and Conflict Resolution di Unhan RI. Tulisan saya ini sebagai bentuk penyaluran pemikiran saya dan tentunya sebagai sarana belajar saya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resolusi Konflik Aceh: Sinergi Pemerintah dan Masyarakat dalam Menjaga Kesatuan Bangsa

4 April 2024   12:02 Diperbarui: 4 April 2024   12:08 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Aceh merupakan konflik internal bangsa Indonesia yang berlangsung selama beberapa dekade, dimulai pada awal 1990-an dan baru berakhir pada tahun 2005 dengan ditandatanganinya Perjanjian Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini memiliki akar masalah yang kompleks, termasuk masalah sejarah, budaya, dan politik. Aceh memiliki sejarah yang kaya dan identitas budaya yang kuat sebagai wilayah yang pernah menjadi kerajaan besar, memiliki agama dan adat istiadat yang khas, serta kekayaan alam yang melimpah. Namun, selama pemerintahan kolonial Belanda dan pemerintahan Indonesia pasca- kemerdekaan, Aceh merasa tidak diperlakukan dengan adil dan merasa diabaikan oleh pemerintah pusat.

Hal ini menyebabkan munculnya gerakan separatisme di Aceh yang ingin memperjuangkan hak-hak Aceh sebagai sebuah entitas yang berdaulat. Gerakan ini kemudian menjadi gerakan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bereskalasinya konflik menjadi gerakan bersenjata karena Pemerintah pusat yang tidak menanggapi kekacewaan rakyat Aceh sehingga menyebabkan terjadinya pemberontakan mulai daari DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh dan GAM yang di pimpin oleh Hasan Tiro. Konflik ini mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian materiil yang besar, serta mengganggu kehidupan masyarakat Aceh secara luas.

Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perundingan, akhirnya pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM mencapai kesepakatan damai melalui perjanjian Helsinki. Melalui Perjanjian Helsinki, kedua belah pihak duduk bersama guna menentukan sikap untuk mengakhiri seluruh problematika yang terjadi di Aceh dan Aceh memiliki hak khusus dari Pemerintah Indonesia untuk mengurus pemerintahannya sendiri dengan hak-hak istimewa yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Sejarah Konflik Aceh

Konflik Aceh dimulai pada awal 1990-an ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai muncul sebagai gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri di provinsi Aceh. GAM merasa bahwa Aceh telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Indonesia dan merasa bahwa hak-hak Aceh sebagai sebuah entitas yang berdaulat tidak diakui oleh pemerintah pusat.

Konflik ini kemudian meningkat menjadi konflik bersenjata yang menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian materiil yang besar, serta mengganggu kehidupan masyarakat Aceh secara luas. Pemerintah Indonesia menanggapi konflik ini dengan mengirimkan pasukan keamanan untuk menumpas gerakan separatisme tersebut. Namun, tindakan militer ini malah memperburuk situasi dan memicu meningkatnya kekerasan di Aceh.

Pada tahun 1998, terjadi perubahan politik di Indonesia setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan dilantiknya presiden baru, B.J. Habibie. Habibie membuka ruang dialog dengan para pihak yang terlibat dalam konflik di Aceh dan mengusulkan otonomi khusus untuk Aceh sebagai upaya untuk mengakhiri konflik. Namun, GAM menolak usulan ini dan memilih untuk terus melanjutkan perjuangan bersenjata.

Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia meluncurkan Operasi Militer Aceh (OMA) sebagai upaya terakhir untuk menumpas gerakan separatisme tersebut. Akan tetapi, upaya ini juga memicu meningkatnya kekerasan dan menimbulkan kritik internasional terhadap pemerintah Indonesia.

Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perundingan, akhirnya pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM mencapai kesepakatan damai melalui perjanjian Helsinki. Perjanjian ini memberikan Aceh status otonom khusus dengan hak-hak istimewa yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia dan mengakhiri konflik Aceh yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.

Dampak Konflik Aceh

Konflik Aceh menyebabkan dampak yang sangat besar dan merugikan masyarakat Aceh secara luas. Beberapa dampak dari konflik tersebut adalah sebagai berikut:

  • Korban jiwa dan luka-luka: Konflik ini menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka baik di pihak militer maupun di kalangan masyarakat sipil. Jumlah korban jiwa yang tercatat mencapai ribuan orang.
  • Kerugian materiil: Konflik ini juga menyebabkan kerugian materiil yang besar, seperti rusaknya infrastruktur dan bangunan, hilangnya sumber penghidupan, dan hilangnya modal usaha.
  • Trauma dan stres pasca-trauma: Konflik ini juga menyebabkan trauma dan stres pasca-trauma pada masyarakat Aceh, terutama pada anak-anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan.
  • Gangguan kesehatan: Konflik ini juga mempengaruhi kesehatan masyarakat Aceh. Misalnya, meningkatnya jumlah penderita stres pasca- trauma, gangguan psikologis, dan masalah kesehatan akibat terganggunya akses kesehatan selama konflik.
  • Gangguan ekonomi: Konflik ini juga mengganggu perekonomian masyarakat Aceh. Terjadinya kerusuhan dan kekerasan menghambat perdagangan dan investasi, sehingga menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Namun, setelah penyelesaian konflik melalui perjanjian Helsinki pada tahun 2005, Aceh mengalami kemajuan dalam berbagai sektor. Sejumlah proyek pembangunan, program peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan upaya rekonsiliasi dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memperbaiki situasi dan kondisi di Aceh pasca-konflik.

Upaya Pemerintah dalam Menyelesaikan Konflik

Konflik Aceh, yang berlangsung selama beberapa dekade, adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah Indonesia. Namun, melalui serangkaian langkah strategis dan komitmen yang kuat, pemerintah berhasil mengakhiri konflik tersebut dan membawa perdamaian ke wilayah tersebut. Berikut upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik Aceh:

Pembentukan Tim dan Forum Dialog

Pembentukan Tim Pemantapan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (TPRRA) pada tahun 2005 adalah langkah awal yang penting. Walaupun awalnya dibentuk untuk menangani bencana gempa dan tsunami, TPRRA juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk memulai dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu, Forum Indonesia untuk Keadilan dan Perdamaian (Foker) dibentuk sebagai wadah untuk mengumpulkan berbagai kelompok masyarakat Aceh, termasuk GAM, dalam satu forum dialog.

Perundingan Helsinki

Perundingan di Helsinki, Finlandia, yang berlangsung selama 14 bulan, menjadi titik balik dalam penyelesaian konflik Aceh. Difasilitasi oleh negara-negara asing seperti Norwegia dan Swiss, perundingan ini berhasil menghasilkan Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Perjanjian ini menetapkan status otonom khusus untuk Aceh dan mengakhiri konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan GAM.

Penandatanganan Perjanjian Helsinki

Perjanjian Helsinki merupakan tonggak sejarah dalam penyelesaian konflik Aceh. Perjanjian ini mengakui hak-hak istimewa Aceh dalam pengaturan sumber daya alam dan keuangan. Selain itu, GAM setuju untuk melepas senjata dan membubarkan diri sebagai organisasi politik, menandai berakhirnya konflik bersenjata.

Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

Pembentukan DPRA sebagai lembaga legislatif di Aceh adalah langkah penting dalam membangun struktur pemerintahan yang demokratis dan inklusif. DPRA dipilih secara langsung oleh masyarakat Aceh, memberikan mereka suara dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pelaksanaan otonomi khusus.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh secara langsung pada tahun 2006 merupakan momen bersejarah. Pemilihan ini melibatkan berbagai calon dari partai politik, termasuk mantan anggota GAM, menandai integrasi politik dan partisipasi demokratis yang lebih luas.

Implementasi Otonomi Khusus

Implementasi otonomi khusus di Aceh adalah langkah krusial dalam membangun perdamaian berkelanjutan. Pemerintah Indonesia memberikan hak istimewa bagi masyarakat Aceh dalam pengaturan sumber daya alam dan keuangan, serta memberikan ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas.

Peran Masyarakat dalam Proses Rekonsiliasi

Masyarakat Aceh memainkan peran krusial dalam penyelesaian konflik yang berlangsung selama beberapa dekade di wilayah mereka. Meskipun pemerintah memiliki peran penting dalam negosiasi dan perjanjian damai, upaya masyarakat dalam mendukung dan memelihara perdamaian tidak kalah pentingnya. Berikut adalah beberapa aspek utama dari kontribusi masyarakat dalam resolusi konflik Aceh:

Mendukung Proses Perdamaian

Masyarakat Aceh secara aktif mendukung proses perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka berpartisipasi dalam berbagai dialog, perundingan, dan aksi damai untuk memperjuangkan perdamaian di Aceh. Dukungan ini menciptakan atmosfer yang kondusif untuk mencapai kesepakatan damai.

Menjaga Stabilitas dan Keamanan

Selama proses penyelesaian konflik, masyarakat Aceh memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah mereka. Mereka berkontribusi dalam memantau situasi keamanan, melaporkan kejadian yang mencurigakan, dan membantu memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Menjaga Kesatuan dan Persatuan

Masyarakat Aceh juga berperan penting dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Mereka memahami bahwa perdamaian dan kemajuan hanya dapat dicapai jika semua pihak bekerja sama dan bergandengan tangan, menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya.

Memfasilitasi Proses Rekonsiliasi

Setelah tercapainya perdamaian, masyarakat Aceh turut memfasilitasi proses rekonsiliasi antara mantan anggota GAM dan masyarakat umum. Mereka membantu para mantan anggota GAM untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat dan memulai kehidupan baru yang damai, memastikan tidak ada dendam atau ketegangan yang tersisa.

Menjaga Pelaksanaan Otonomi Khusus

Setelah penyelesaian konflik, masyarakat Aceh berperan aktif dalam menjaga pelaksanaan otonomi khusus di wilayah mereka. Mereka terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait dengan otonomi khusus, memastikan bahwa hak-hak istimewa yang diberikan benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Harapan untuk Masa Depan Aceh

Masyarakat Aceh memiliki harapan besar untuk masa depan mereka. Perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan menjadi prioritas utama. Mereka juga berharap pembangunan dan kemajuan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa terhalang oleh konflik. Keadilan dan rekonsiliasi yang adil menjadi harapan lainnya, di mana semua pihak yang terlibat dalam konflik dapat saling memaafkan dan bergandengan tangan untuk membangun Aceh yang lebih baik.

Kesimpulan

Separatisme merupakan salah satu tantangan bangsa yang tidak dapat terelakkan sehingga pemerintah dan masyarakat perlu bahu -- membahu melakukan resolusi konflik guna menjaga kedaulatan bangsa. Pada konflik Aceh, pemerintah melakukan berbagai upaya yaitu pembentukan TPRRA, Foker, DPRA, melaksanakan perundingan dan penandatanganan Perjanjian Helsinki, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh serta mengimplementasikan otonomi khusus. Lebih lanjut, masyarakat pun turut berperan dengan antusias dan optimis dalam proses resolusi konflik Aceh seperti mendukung proses perdamaian, menjaga stabilitas keamanan, menjaga kesatuan dan persatuan, menjaga proses rekonsiliasi dan menjaga pelaksanaan otonomi khusus. Hal -- hal tersebut dilakukan agar pembangunan rekonsiliasi dan transformasi konflik di Aceh dapat berjalan dengan sempurna. 

Referensi

Banda Aceh. (2020). Sejarah Konflik Aceh. https://bandaacehnews.id/sejarah-konflik- aceh/

Davies, M. (2012). Aceh: The Role of Democracy for Peace and Reconstruction. Journal of Contemporary Asia, 42(3), 422-437. doi: 10.1080/00472336.2012.686215

Human Rights Watch. (2004). Indonesia: The Aceh Conflict. https://www.hrw.org/report/2004/08/01/indonesia-aceh-conflict

International    Crisis    Group.    (2005).    Aceh:    A    New    Chance    for             Peace. https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/indonesia/aceh-new-chance- peace

Kell, T. (2016). Civil society and peacebuilding in Aceh: from emergency to post- conflict governance. Third World Quarterly, 37(3), 438-456. doi: 10.1080/01436597.2015.1121123

United Nations Development Programme. (2019). Aceh: 15 Years after the Tsunami. https://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/stories/aceh--15-years- after-the-tsunami.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun