Mohon tunggu...
Muhammad Sulthan
Muhammad Sulthan Mohon Tunggu... Politisi - Founder Klinik Politik Indonesia dan Wasekjend PB HMI 2021-2023

Belajar, Bergerak, Berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Era Post Truth dan Kerusakan Sistem Ketatanegaraan di Tengah Wabah Korona

8 April 2020   01:40 Diperbarui: 30 April 2024   13:51 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://www.voaindonesia.com/a/melawan-pandemi-dan-infodemic-virus-korona-/5312193.html

Seharusnya saya tidak menulis ini, tapi renungan ini semakin membuat hati saya seolah-olah ingin meledak dan mencurahkan semuanya dalam bentuk tulisan. Sedari awal, saya orang yang memilih untuk tidak banyak bicara soal wabah korona, omnibus law, teori konspirasi, dan lain-lain. Kasus tersebut sangat rumit, kita tidak mungkin bisa mengambil kesimpulan dalam satu malam, bahwa virus korona memang sengaja dibuat sebagai senjata biologis untuk memusnahkan manusia di muka bumi. Mungkin ada beberapa hal yang diluar kontrol, hingga pada akhirnya semua orang seolah menjadi ilmuwan atau akademisi yang mampu menyimpulkan semuanya dalam sekejap mata.

Apalagi ketika wabah korona dikaitkan dengan teori konspirasi dan perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Banyak memang teman-teman saya yang membicarakan hal ini, namun saya tidak terlalu ambil pusing dan memilih mendengarkan, lalu merangkum semua obrolan mereka. Mungkin karena kurang eksplorasi lebih jauh mengenai teori konspirasi, karena saya adalah orang yang masih skeptis dengan adanya teori ini. Saya menjumpai teori ini hanya dari berbagai buku-buku yang ada dan cerita dari teman-teman. Namun tidak ada satupun data historis jelas bagaimana sejarah konspirasi itu hadir, sehingga saya memilih untuk menjadi bisu dan ketika ada perbincangan ini dengan teman-teman, watak yang sedikit sok tahu pun terpicu untuk membicarakannya.

Kemudian wabah korona dihubungkan dengan perang dagang antara Tiongkok dan AS, ada yang mengatakan bahwa Tiongkok sengaja membuat virus untuk membunuh sebagian besar penduduk Tiongkok, karena Tiongkok terbilang penduduknya sudah overload dan sengaja dibuat juga untuk membuat dunia gempar dengan diciptakan virus tersebut. Ada yang mempunyai pandangan juga kalau AS yang membuat virus korona sebagai senjata biologis, melalui tentaranya di transportasi umum Wuhan.

Berbagai asumsi tersebut menjadikan semua media sosial dipenuhi oleh banyak informasi, yang pada akhirnya banyak ditelan mentah-mentah, tanpa ditelaah terlebih dahulu apa dan bagaimana informasi itu bisa hadir secara objektif. Saya sama sekali tidak ingin menyalahkan pihak manapun dan membenarkan bahwa apa yang saya katakan merupakan suatu kebenaran. Tulisan ini dibuat hanya untuk memenuhi kemauan dari isi hati yang telah meledak disaat menulis.

Era Post Truth : Klaim Kebenaran dan Saling Menyalahkan

Sebelum masuk kepada inti dari pembahasan mengenai era post-truth, ada satu aksioma yang memang cukup relevan di masa sekarang; kerumunan informasi dalam sosial media yang kamu punya, membuat kamu sulit untuk berpikir. Yang menunjukkan ketika banyaknya pesan-pesan dan status yang kamu lihat setiap harinya, itu akan berujung kepada sulitnya kamu menelaah mana yang kebenaran dan mana yang pembenaran.

Cukup membuat kita sadar semua bukan? Itu akan dibahas lebih dalam, pada bagian ini. Era post-truth disebut sebagai politik pasca-kebenaran, ia hadir sebagai budaya politik yang perbincangannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Hingga pada akhirnya semua yang dibahas hanya sebatas diskusi warung kopi dan sangat wasting time. Presiden Kamus Oxford, Casper Grathwohl menyebutkan bahwa post-truth masih akan menjadi word of the year selama beberapa tahun kedepan, dikarenakan perbincangan dunia didominasi oleh wacana politik dan diskrusus yang dipicu oleh signifikansi media sosial sebagai sumber berita, serta dibarengi dengan ketidakpercayaan terhadap data dan fakta yang disajikan oleh institusi terkait dan media massa.

Ada dua poin penting dari pernyataan Casper Grathwolth. Yang pertama, dominasi wacana politik dan diskursus yang dipicu oleh signifikansi media sosial sebagai sumber berita. Dengan demikian wacana politik mampu membentuk pola pikir masyarakat dan dampaknya terhadap keberpihakan pada kepentingan atau golongan tertentu. Di sisi yang lain wacana politik dapat dilakukan oleh semua aktor, termasuk oknum di kalangan masyarakat dan para politisi. Yang kedua mengenai ketidakpercayaan orang-orang pada data dan fakta dari lembaga tertentu dan media massa. Poin pertama dan kedua memiliki keterkaitan, dikarenakan wacana politik yang membelenggu pola pikir masyarakat, sudah pasti akan memengaruhi psikologisnya untuk tak mempercayai lembaga dan media massa tertentu, sebab tidak sesuai dengan kepentingan dan ideologinya.

Terlepas daripada itu semua, kita harus memahami bahwa di era post-truth, banyak orang/lembaga/media mengklaim dirinya benar dan menyalahkan pihak satu dan pihak yang lainnya untuk bagaimana mereka mempunyai pengaruh di masyarakat dan berita bohong yang telah terlegalisasi dapat langsung dipercaya oleh orang-orang begitu saja. 

Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia harus mempunyai daya analitis yang tinggi dan terbuka akan ilmu-ilmu pengetahuan baru. Klaim kebenaran secara terstruktur menjadi hegemoni yang menyebabkan semua orang terkungkung dalam ruang gerak semu dan kejumudan dalam berpikir.

Wabah Korona, Post Truth dan Sistem Ketatanegaraan.

Meski saya memilih untuk tidak banyak bicara soal wabah korona tetapi saya tidak henti-hentinya untuk memikirkan, apa yang seharusnya kita lakukan setelah ini? Bagaimana kita lepas dari belenggu yang luar biasa menguras emosi dan pikiran? Bagaimana kita bisa menenangkan diri kita sembari meminum secangkir kopi hangat seraya bersenda gurau dengan teman-teman? Mungkin banyak diantara kita mencoba untuk membaca berbagai buku, artikel hingga video di jejaring media yang bisa dijadikan pisau analisis untuk mengeluarkan Indonesia dari kemelut yang tak kunjung usai. Memang terlihat sangat imajinatif dan tidak melihat realitas kedepannya seperti apa, bisa dibilang membuang-buang waktu untuk tujuan yang utopis.

Adanya wabah korona merupakan sinyal untuk bangsa Indonesia agar memulai semuanya dari awal, post-truth telah menyajikan banyak polemik dan kedangkalan berpikir umat manusia lalu ditambah dengan adanya wabah virus korona yang merenggut ribuan nyawa di dunia. Ada satu artikel yang menarik menurut saya, bisa menjadi rujukan pemerintah untuk memperbaiki semuanya yang ada, yaitu; Dunia setelah Virus Korona karya Yuval Noah Harari yang memaparkan terkait negara-negara disaat nanti selesainya wabah korona akan melakukan perbaikan massal sistem ketatanegaraan, bukan hanya sistem kesehatan tetapi juga politik, ekonomi dan sosial budaya. Namun harus diperhitungkan jangka panjangnya apa yang akan terjadi kelak. Pandangan yang cukup membuat kita menangkap bahwa sudah saatnya dilakukan perubahan, sebab negara ibarat sistem besar dan didalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan satu sama lain. Apabila ada satu sub sistem yang rusak/rapuh/usang perlu bagi pemerintah untuk memperbaiki dan memperbaharuinya. Aspek kesehatan menjadi sub sistem yang paling mendasar, sebab aspek kesehatan berbicara perihal kesembuhan dan kematian. Dan negara telah digempur habis-habisan pada sektor kesehatan, kebanyakan dari kita memilih acuh dan berimajinasi yang tidak perlu dilakukan mengenai wabah korona.

Kemudian sudah pasti akan berdampak pada sistem komunikasi dan informasi, mengapa? Hari ini rakyat tengah dilanda kebingungan, bingung kapan jangka waktu penyebaran akan dapat terkendali dan menjadikan kita percaya akan berita-berita yang masuk begitu saja tanpa adanya kekuatan analisis dan daya literasi yang tinggi. Ditambah lagi statement Juru bicara pemerintah pusat dalam menanggulangi virus korona, dr. Achmad Yurianto yang menyebutkan bahwa “si kaya menyelamatkan yang miskin dan yang miskin agar berdiam diri di rumah supaya tidak menularkan pada yang kaya”. Dari statement yang disampaikan, akan berdampak pada pemahaman masyarakat yang menganggap penyebaran virus korona disebabkan oleh strata sosial.

Habermas menyebutkan dalam paradigma rasionalitas komunikatif bahwa sifat rasional yang tampak dalam kenyataan dengan adanya para aktor mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman satu sama lain. Pemahaman disini, Habermas menyatakan bahwa ada dua tesis penting dalam rasionalitas komunikatif yang pertama adalah pemahaman dapat diartikan sebagai respon dari suatu kata. Yang kedua, Pemahaman bisa dilogikakan sebagai persetujuan atau konsensus. Mengacu kepada tesis pertama, respon masyarakat kita sangat reaktif dan informasi tersebar ke berbagai grup What’sApp. Sehingga menjadi buah bibir khalayak publik, padahal sama sekali tidak substantial dan melupakan banyak hal penting yang harus dikerjakan se-efisien mungkin.

Dampak dari sistem kesehatan sangat berpengaruh terhadap sistem informasi dan komunikasi, sudah sebelum wabah datang kita terbelenggu dalam hoax dan ujaran kebencian, ditambah lagi informasi wabah korona yang tidak pada intinya. Kita rusak, amat rusak.

Pada konteks sistem politik kita, ada satu kutipan yang menarik dari tulisan Yuval Noah Harari pada bagian Polisi Sabun, ia menyebutkan “dalam beberapa tahun terakhir, politisi tak bertanggungjawab telah sengaja meremehkan ilmu pengetahuan, otoritas publik dan media. Sekarang politisi tak bertanggungjawab itu mungkin tergoda untuk memilih otoritarianisme, dengan dalih kamu tidak bisa mempercayai publik untuk bertindak benar.”

Mengacu pada kutipan diatas, sistem politik kita telah rapuh, amat rapuh. Menarik sekali perkataan dari Haris Azhar dalam Indonesia Lawyers Club dengan tema “Corona: Dilema Rakyat, Dilema Kita” pada Selasa (31/03/2020) Haris Azhar mengatakan bahwa Pemerintah Pusat hanya melegalisasi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah diinginkan oleh seluruh provinsi di Indonesia sejak awal maret. Dari sini kita menelaah bahwa sistem politik Indonesia sudah amat rapuh, dikarenakan tidak adanya kesinambungan antara pusat dan daerah. Kita sudah pasti harus satu frekuensi untuk melawan virus korona, tetapi perlu ada langkah yang responsif dan komunikatif—sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah kurang kritis dalam menyikapi ini semua, dengan begitu akan memengaruhi psikologis tenaga medis yang berjibaku menyembuhkan ribuan pasien yang teridentifikasi.

Di satu sisi, mengacu kembali pada kutipan Yuval Noah Harari yang menyebutkan bahwa politisi kita telah dengan sengaja meremehkan ilmu pengetahuan. Jadi bukan hanya otoritas publik yang diacuhkan tetapi juga ilmu pengetahuan.

Di Indonesia banyak sektor yang harus diperbaiki dan diperbaharui, tentunya didukung dengan keterbukaannya akan ilmu-ilmu pengetahuan baru—dan hal itu masih jauh sekali dari kata cukup, mungkin bisa dikatakan buruk. Dengan adanya wabah virus korona, semua sistem ketatanegaraan rapuh dari segi politik, ekonomi hingga sosial dan budaya. Artinya selama ini tidak ada pembaharuan yang dilakukan oleh negara. Mungkin harapan kita semua sudah saatnya setelah wabah selesai, para politisi, pengusaha, pejabat publik dan semua lembaga-lembaga negara lalu juga melibatkan masyarakat langsung mencari tahu dimana kerapuhan dan kerusakan dalam sistem ketatanegaraan kita.

Seperti yang dijelaskan oleh Edward W. Said pada wawancaranya dalam buku kekuasaan, politik dan kebudayaan yang mengambil ilustrasi negara Palestina. Ia menyebutkan bahwa Palestina yang berada di bawah pendudukan telah memutuskan untuk menyatakan kemerdekaannya dari pendudukan dengan memberikan, bukan model-model, melainkan bentuk-bentuk berbeda bagi kehidupan mereka sendiri, yang mereka atur, dan bahkan mereka ciptakan sendiri.

Pernyataan Edward W. Said menjadi teguran untuk Indonesia, kalau Palestina sebagai negara yang masih diintimidasi mampu keluar dari belenggu dan menciptakan kehidupan sendiri. Artinya kita sebagai bangsa yang besar juga harus mampu menciptakan kehidupan sendiri yang berdaulat dalam geopolitik, berdikari di bidang ekonomi dan memperbaharui semua yang usang, termasuk sistem kesehatan dan sistem informasi dan komunikasi. Mengacu pada tulisan diatas, saya jadi teringat lagu yang berjudul Khalayan Tingkat Tinggi, karya Peterpan.

Pustaka Acuan

Antinomi.org. Yuval Noah Harari : Dunia Setelah Virus Korona. 29 Maret 2020.  Diakses pada Jumat (03/04/2020) https://antinomi.org/2020/03/29/yuval-noah-harari-dunia-setelah-virus-korona/ 

Kompasiana.com. Indonesia Selamat Datang di Era Post Truth. 29 Maret 2019. 10:30. diperbaharui pada 16 April 2019. 10:39. diakses pada Jumat (03/04/2020) https://www.kompasiana.com/dillawardana/5c9d916b3ba7f722e7017e12/indonesia-selamat-datang-di-era-post-truth 

Lsfdiscourse.org. Menuju Masyarakat Komunikatif menurut Jurgen Habermas. 1 Agustus 2019, diakses pada Jumat (03/04/2020) https://lsfdiscourse.org/menuju-masyarakat-komunikatif-menurut-jurgen-habermas/ 

Viswanathan, Gauri. 2017. Kekuasaan, Politik dan Kebudayaan wawancara dengan Edward W. Said, Cet 1. Yogyakarta : Narasi Pustaka Promethea. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun