Mohon tunggu...
Humaniora

Islam, Indonesia, dan Generasi Milenial

1 Januari 2018   15:00 Diperbarui: 4 Februari 2018   12:05 31109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jauh sebelum detik-detik penghapusan dan pembubaran Khalifah oleh Kemal Attaturk, umat di Indonesia sudah gencar-gencarnya membahas kekhalifahan tersebut. Ini dikarenakan, sejak awal Kemal Attaturk berkuasa di Turki, banyak kebijakan-kebijakan kontroversial yang dilakukan oleh Kemal Attaturk, seperti membatasi pergerakan Muslim di Turki, lebih banyak berkoalisi dengan Barat ketimbang negara Arab, membenci Agama dan Bahasa Arab, serta pada akhirnya Ia secara resmi memberhentikan Khilafah di Turki. Ini membuat umat di Indonesia mempersiapkan langkah guna mengantisipasi kehancuran sistem Khilafah dan meneruskan perjuangan Khalifah Abdul Majid II. Umat juga kebingungan disertai kewaspadaan terkait siapa yang akan menggantikan Khalifah Abdul Majid II. Mereka tidak hanya memiliki hasrat untuk terlibat dalam perbincangan ini, namun umat berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesainya.

Saat gagasan penegakan Khalifah muncul, umat di Indonesia sedang berada di zaman pergerakan Nasional. Organisasi-organisasi pergerakan umat yang muncul tadi menjadi wadah perjuangan mereka untuk berjuang melawan penjajahan Belanda. Berbeda dengan perjuangan generasi sebelum mereka yang melakukan perlawanan melalui kontak fisik dan bersenjata, maka generasi umat ini pun melakukan perjuangan dengan adu pemikiran dan intelektual.

Perjuangan umat dengan cara yang modern ini dilakukan dengan berdiskusi melalui Muktamar-muktamar dalam organisasi. Dengan cara lakukan diskusi, umat dengan tepat dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Ditambah, kekuatan media dan siaran-siaran yang menyiarkan kegiatan mereka membantu menyebarluaskan informasi yang akan dikirimkan kepada umat banyak di dalam negeri dan umat banyak melakukan koordinasi dengan gerakan-gerakan keislaman dari negeri lain.

Koordinasi dengan gerakan dari luar negeri ini pun menghasilkan terlaksananya sebuah kongres dunia Islam di Kairo dengan mengundang perwakilan dari seluruh umat Islam di Dunia. Umat Islam di Indonesia harus terlibat dalam kongres di Kairo ini dengan mengirimkan utusan ke kongres tersebut. Untuk maksud tersebut, maka dibentuk suatu badan khusus bagi perjuangan Khilafah di Indonesia bernama Comite-Chilafat dengan ketua Wondosoedirdjo dari Organisasi Syarikat Islam dan Wakil Ketua K. H. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri Nadhatu Ulama.

Aspirasi umat Islam di Indonesia Pergerakan Khilafah ini terus menyebar di Indonesia. Kesadaran tentang urgensi perjuangan Khilafah terus diopinikan. Hal itu di upayakan dengan membentuk cabang-cabang Comite-Chilafat di berbagai wilayah di Indonesia dan dengan diadakannya pertemuan-pertemuan yang membahas Khilafah di beberapa kota.

Bertahun-tahun suara perjuangan kekhilafahan di suarakan demi tidak memudarnya identitas umat Islam di Tanah Air. Berbagai latar belakang organisasi keislaman dan ormas mencari penyelesaiannya dan berusaha menemukan kembali jati diri umat yang di hancurkan oleh rezim Kemal Attaturk di Turki dengan cara yang lebih modern. Kekuatan intelektual dan cara berpikir umat Islam menjadi prioritas, sampai akhirnya umat dihadapi dengan tantangan yang baru.

Tantangan dimana umat Islam harus berperang habis-habisan gempuran informasi dari Barat dan mudahnya bagi Barat menyusupkan ideologi-ideologi mereka yang bertentangan dengan Syariat Islam di era globalisasi. Meskipun Indonesia tidak menerapkan syariat Islam ini dan memilih untuk menjadi Negara Hukum, namun yang harus diperhatikan adalah jumlah mayoritas penduduk Muslim di negeri ini sangat lah banyak. Tidak mengherankan, ini menjadi suatu tantangan bukan hanya penduduk muslim di negara ini, namun ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana generasi muslim Millennials di Tanah Air menjaga dan mempertahankan dua pilar utama dari kekuatan Islam di zaman mereka. Mau tidak mau, mereka ini harus menghadapi kenyataan bahwasanya budaya dan peradaban Barat tidak dapat dibendung lagi. Mereka harus memiliki benteng pertahanan yang lebih kuat ketimbang generasi pendahulu mereka. Mereka harus memutar otak mencari cara bertahan di tengah arus modernitas ini, bukan hanya mempertahankan nilai pemahaman dan konsep penerapan hukum Islam, namun mereka harus menyampaikannya dengan cara yang dapat diterima masyarakat modern, tidak melalui kekerasan dan menunjukkan kasih sayang Islam ke seluruh umat manusia.

Faktanya, masih banyak umat Muslim di Tanah Air tidak memahami konsep-konsep ini dan pemerintah belum sepenuhnya mendukung. Pengetahuan mereka sangat lemah, bahkan kebanyakan dari mereka tidak tahu identitas agama mereka sendiri. Terkadang mereka malu untuk menunjukkan bahwa "AKULAH ISLAM". Mereka terlalu bangga untuk menggunakan identitas Barat yang modern. Padahal, Islam dan Modernitas berjalan beriringan tidak ada kontradiksi di antaranya. Islam di ciptakan timeless, berlaku untuk semua zaman dan cocok untuk diterapkan kapan pun dan di negara mana pun.

Buktinya, masih banyak generasi muda Indonesia yang tertarik untuk menempuh pendidikan di sekolah formal milik pemerintah ketimbang menempuh pendidikan di pondok pesantren. Mereka lebih menyukai kebebasan ketimbang mendapatkan ilmu agama yang konstan diberikan di pondok pesantren. Padahal, di sinilah seharusnya letak basis kekuatan umat di Indonesia. Pemerintah sepatutnya mulai memperhatikan penuh keberadaan pondok pesantren yang ada di Indonesia dan mendukungnya, tidak membedakan bentuk dukungan tersebut dengan sekolah formal pemerintah seperti SD, SMP, dan SMA Negeri. Misalnya memberikan jumlah beasiswa yang sama kepada santri-santri yang ada di Indonesia dan kesempatan yang sama untuk mereka melanjutkan Pendidikan ke dalam maupun luar negeri. Bukan tidak mungkin, justru santri-santri di Indonesia kemudian yang akan membawa pengaruh besar kepada perubahan bangsa.

Di sisi lain, kondisi generasi muslim muda di Indonesia jauh dari kata baik. Pasalnya, mereka terlalu banyak mengadopsi budaya dari luar. Mereka hanyut dalam arus globalisasi dan lupa dari mana mereka berasal. Mulai dari cara berpakaian, tingkah laku, sopan santun seakan hilang bertahap dari jiwa muda muslim di Indonesia. Perlahan mereka meninggalkan budaya berpakaian Islam yang sopan dan lebih senang menggunakan budaya berpakaian dari Barat yang terkesan terbuka. Mereka beranggapan bahwa berpakaian Islam itu ketinggalan zaman dan berpakaian mengadopsi Barat menunjukkan modernitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun