Cerpen Muhammad Subhan
Kalau Kau datang pada senja hari di Kota Padang, sempatkanlah singgah sebentar di tepian Muara Pantai Padang. Di sana Kau akan mendapati sederetan pohon nyiur yang melambai ditiup sepoinya angin pantai. Kau juga akan mendengar lenguhan ombak yang berdebur menjilati bibir pantai bersama nyanyian camar yang mengulik menangkap ikan. Pasir pantai yang putih berkilauan diterpa sinar matahari senja berwarna kuning keperakan akan menambah semarak pemandangan senja yang selalu ramai dinanti anak muda remaja yang sedang jatuh cinta. Kau akan merasakan betapa indahnya pesona senja itu yang bertengger seperti lempengan perak di atas kaki langit sana.
Kalau Kau melepaskan pandangan ke tengah samudera, Kau akan melihat biduk-biduk yang mengembangkan layar menantang ganasnya gelombang. Kau juga akan terpesona menyaksikan pulau-pulau kecil di tengah lautan yang mengapung seperti permadani dihamparkan. Sekali-sekali Kau akan menyaksikan kapal-kapal yang mendaratkan badannya di tepian pulau-pulau itu. Namun ada pula kapal-kapal itu hanya sekedar lewat saja tanpa hendak menurunkan sauh pada pulau-pulau yang konon menurut cerita orang memiliki pantai-pantai terindah.
Dan jika Kau menoleh ke belakang, Kau akan mendapati perkampungan kecil nelayan yang setiap hari penduduknya berkutat dengan pukat, ikan, jaring dan biduk. Setiap senja datang, Kau akan melihat sekelompok anak-anak nelayan bertelanjang dada berlarian di tepian pantai. Mereka berkejar-kejaran ke sana ke mari menikmati kehadiran senja dan selalu terpancar rona kegembiraan di wajah mereka. Kau tak akan mendapati wajah kuyu dan sedih pada roman mereka yang dijuluki orang anak-anak laut.
Di perkampungan tepian pantai itu pula, Kau akan melihat sekelompok perempuan tua yang mengumpulkan ikan-ikan kering yang telah selesai dijemur. Mereka tampak senang dengan pekerjaan yang membuat bau keringat anyir dan pakaian lusuh. Kau akan kagum pula dengan perempuan-perempuan itu yang tetap semangat walau usia mereka telah senja. Meski begitu mereka juga senantiasa merindukan kedatangan senja dan tiada pernah peduli bahwa kehadiran senja bukan untuk menemui mereka.
Setelah semua panorama itu Kau nikmati, jangan lupa tolehkan pula pandangan ke atas bukit tepian Muara. Kau akan melihat indahnya panorama Gunung Padang—tepatnya sebuah bukit yang menjorok ke laut—yang menjulang tempat bersamayamnya pusara Siti Nurbaya, kekasih Syamsul Bahri korban kawin paksa adat Minangkabau di masa silam yang Kau baca kisahnya dalam roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Di Gunung Padang itu pula Kau akan menemui sejumlah meriam tua peninggalan tentara Jepang sebagai benteng pertahanan untuk menghalau musuh yang hendak masuk ke bibir Muara.
Untuk dapat naik ke puncak Gunung Padang itu Kau harus mendaki ratusan anak jenjang yang panjang berliku-liku. Kalau Kau merasa keletihan, cobalah sejenak hamparkan pandangan ke arah sebelah kanan. Kau akan menyaksikan indahnya riak gelombang laut biru dan semaraknya gedung-gedung yang menjulang di tengah Kota Padang, nun jauh di sana. Semua panorama itu akan mehilangkan kepenatan kaki ketika mendaki ratusan anak jenjang, sehingga Kau senantiasa memuji keindahan alam ciptaan Tuhan.
Sesampainya Kau pada jenjang ke tiga ratus, berhentilah sejenak. Kau dapat beristirahat pada sebuah pondok mungil yang menghadap ke laut. Di pondok itu Kau akan dapati seorang perempuan berusia sekitar 45 tahun dengan baju lusuh dan aroma tubuh yang kurang sedap. Jangan sekali-kali Kau usik dia, karena perempuan itu akan berang dan memaki-maki orang yang usil mengganggunya. Tapi sebenarnya perempuan itu tidak sejahat prasangka orang-orang yang sering memperbincangkan dirinya.
Kau akan berjumpa dengan perempuan itu jika Kau berkunjung ke sana pada setiap senja. Jika pagi dan siang hari Kau datang, jangan Kau harap perempuan itu akan menampakkan rupa. Dia selalu mengunci rapat pintu bilik pondok yang tampaknya memang dikhususkan sebagai tempat rehabilitasi perempuan yang tinggal sendirian itu. Menurut cerita orang, konon perempuan itu adalah salah seorang gadis seorang nelayan miskin yang tinggal di perkampungan tepi Muara. Perempuan itu diasingkan kedua orangtuanya ke lereng Gunung Padang dua puluh lima tahun silam karena dia mengidap suatu penyakit jiwa yang tak ada obatnya.
Konon, menurut cerita penduduk di kampung nelayan itu, sewaktu usia perempuan itu masih muda belia ia pernah menjalin cinta dengan seorang lelaki pelaut yang selalu mendaratkan biduknya ketika senja tiba. Lelaki itu datang dari pulau seberang yang kedatangannya ke tepian Muara Pantai Padang selalu dirindukan perempuan itu. Bertahun-tahun lelaki pelaut dan perempuan itu menjalin hubungan kasih, hingga suatu ketika perempuan itu hamil. Penduduk di kampung nelayan di tepian Muara tidak mengetahui siapa gerangan ayah pemilik janin yang dikandung perempuan itu, sehingga perempuan itu diusir dari kampung nelayan tempat tinggalnya. Tetapi setelah anak yang dikandung perempuan itu lahir, perempuan itu kembali ke kampung nelayan di tepian Muara membawa bayi laki-laki yang selalu tertidur di gendongannya. Tapi malang nasib yang ditanggung perempuan itu, anak hasil hubungan gelapnya dengan lelaki pelaut kekasihnya harus ia relakan dipanggil Tuhan karena mengidap suatu penyakit yang menyebabkan kematian.
Sejak kehilangan bayi dan ditinggal lelaki pelaut yang tak lagi pernah datang ke tepian Muara, membuat perempuan itu jadi terganggu jiwanya. Perempuan itu selalu tertawa dan bicara seorang diri sembari menyebut nama lelaki pelaut dan bayinya yang telah mati. Orang-orang di kampung nelayan merasa kasihan melihat keadaan perempuan malang itu. Akhirnya penduduk di kampung nelayan itu mengusulkan pada orangtua perempuan itu untuk mengasingkannya pada sebuah pondok di lereng Gunung Padang. Maka tinggallah perempuan malang yang selalu merindukan kedatangan senja dan sosok lelaki pelaut kekasihnya di lereng Gunung Padang itu seorang diri.
Tapi itu cerita orang-orang kampung nelayan di tepian Muara Pantai Padang. Kebenaran cerita itu hanya kedua orangtuanyalah yang tahu. Sayang, kedua orangtua perempuan itu telah lama tiada. Namun demikian, Kau tak usah ragu untuk berbicara dengan perempuan itu walau ingatannya sudah terganggu. Perempuan itu akan menjawab apa yang Kau tanyakan bila topik pembicaraan adalah tentang senja, pantai, ombak dan angin. Kau akan melihat indahnya bola mata perempuan itu yang berbinar jika Kau bertanya tentang kesukaannya pada senja. Maka dia akan menjawab dengan senyum indah yang menyungging di bibirnya yang mungil. Jika pemandangan itu yang Kau saksikan, maka Kau sungguh akan menyayangkan mengapa perempuan secantik itu harus gila.
“Aku suka pada senja karena ia menjadi saksi cintaku pada lelaki pelaut,” kata perempuan itu.
Dan jika Kau meneruskan pertanyaan tentang kesukaannya pada pantai, ombak dan angin maka ia akan menjawab: “Dulu sekali, pantai tempat kami berkejar-kejaran, bermain pasir, bermain air.”
“Aku suka pada ombak karena ia yang membawa biduk kekasihku ke tepian.” Katanya lagi.
“Aku suka pada angin karena ia yang mengabarkan berita tentang kedatangan kekasihku ke pantai ini. Dan ketika senja hampir terbenam, kekasihku itu akan tiba dengan segala cinta yang dibawanya.”
Ah, begitulah. Kau akan terpesona dengan jawaban perempuan yang berdiri mematung menatap ke arah laut menentang senja yang tergantung di atas kaki langit sembari menunggu kedatangan kekasihnya. Tapi apa yang dijawab perempuan itu tidak lebih dari igauan nisbi yang menemani hari-harinya setiap kali senja datang dan pergi.
Dan ketika senja akan kembali ke peraduannya, Kau akan menyaksikan pemandangan yang berobah pada diri perempuan itu. Tiba-tiba Kau akan melihat perempuan itu menangis sedu-sedan yang mengundang iba orang-orang yang melihatnya. Tapi di tengah tangisnya itu, Kau akan lebih terpesona menyaksikan kecantikan perempuan itu yang berbinar bersama hilangnya senja.
Itulah panorama senja yang dinikmati orang-orang yang berkunjung ke tepian Muara Pantai Padang. Kau pasti tidak akan puas menikmati indahnya senja tanpa lebih dahulu menyaksikan perangai perempuan yang tinggal seorang diri di lereng Gunung Padang. Perempuan itu, walau ia tidak waras, adalah lambang kesetiaan ribuan perempuan-perempuan yang menjadi korban “ketidaksetiaan” lelaki pelaut yang selalu datang dan pergi dari satu pulau ke pulau lain di belahan bumi ini. Hanya sayangnya, tidak banyak media massa yang mengekspose lika-liku kehidupan perempuan yang selalu berdiri termenung di depan gubuknya menanti kedatangan senja di lereng Gunung Padang itu.
Seandainya Kau kembali pulang meninggalkan Kota Padang, hendaklah kisah tentang perempuan yang setia menanti kedatangan senja itu Kau ceritakan pada semua orang. Semoga kelak, suatu hari yang tidak pasti, lelaki pelaut yang pernah mendaratkan biduknya di tepian Muara Pantai Padang mendengar kisah tentang perempuan itu, dan lelaki pelaut kembali datang dengan segala cinta yang pernah dibualkannya.
Ketika senja telah tenggelam dalam peraduannya, di lereng Gunung Padang itu Kau akan mendengar sayup-sayup suara perempuan itu bersyair:
laut adalah kehidupan
semua akan kembali ke laut
seperti senja yang membenamkan dirinya pada laut
begitu juga tubuhku yang merindukan laut
menyelam ke dasar laut
meneguk kenikmatan nisbi yang pernah titipkan
lelaki pelaut pada laut
Kaki Singgalang, 2003-2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H