Sebagai sastrawan, dalam karyanya Buya Hamka banyak memberikan kritik terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan agama. Beberapa di antara karya sastranya adalah, Si Sabariah (roman yang dicetak dengan huruf arab berbahasa Minangkabau), Laila Majnun, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Merantau ke Deli, Mati Mengandung Malu (terjemahan dari Manfaluthi), Terusir, Margaretha Gauthier, Tuan Direktur, Dijemput Mamaknya, Menunggu Bedug Berbunyi, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di Amerika, Mengembara di Lembah Nil dan Di Tepi Sungai Dajlah Lam.
Buya Hamka, di Sungai Batang kampung halamannya, adalah sosok yang biasa-biasa saja bagi masyarakat sekitar. Namun semua orang tahu, bahwa Buya Hamka besar di rantau karena pemikirannya yang ingin maju dan berontak dari kemiskinan, mengkritisi adat yang kaku dan polemik keagamaan yang ketika itu menjadi konsumen publik yang sedang mencari jati diri hidup di zaman usai kemerdekaan.
Segi yang amat menarik tentang Buya Hamka, baik di kampung halamannya maupun di rantau, ialah kepribadian dan gaya hidupnya. Beliau ramah, rendah hati, murah senyum dan menyenangkan dalam percakapan perjamuan. Semua orang mengakui. Dan, bergaul dengan Hamka adalah suatu pengalaman yang sangat mengesankan. Tidak sedikitpun terasa ketinggian hati atau keangkuhan. Wajah Hamka yang teduh, seteduh dan sedamai kampung halamannya, Maninjau yang permai. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H