Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (37)

3 Januari 2012   11:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Muhammad Subhan

Pagi di hari Rabu. Aku putuskan berangkat ke Lhokseumawe. Aku ingin bekerja mengantikan bapak menjahit sepatu. Aku sudah besar. Aku harus bisa memberikan yang terbaik buat bapak dan ibu. Dan, pada hari itu aku bolos sekolah.

Pagi-pagi sekali aku berpamitan dengan bapak dan ibu. Seragam sekolah tetap aku kenakan. Baju pengganti telah aku masukkan ke dalam tas. Tadi malam pula, aku merogoh saku celana bapak, mengambil kunci peti tempat menyimpan peralatan sol sepatu. Peti itu berada di bawah jenjang musala. Setiap petang hendak pulang bapak selalu menyimpan peti itu di sana. Aku tentu saja sudah akrab dengan suasana itu sebab bila hari libur aku selalu dibawa bapak ke tempat kerjanya.

Aku berpamitan kepada bapak dan ibu untuk berangkat ke sekolah. Tapi di Simpang Empat jalan raya, aku tidak terus ke sekolah. Aku menunggu bus BE tujuan Lhokseumawe yang datang dari arah Bireuen. Beberapa menit menunggu dari kejauhan terlihat bus itu. Bus jurusan Bireuen-Lhokseumawe sangat banyak jumlahnya, jadi aku tak usah repot menunggu lama-lama.

Ternyata bus BE itu penuh, tapi ia tetap berhenti juga ketika aku menjulurkan tangan hendak menumpang. Beberapa penumpang tampak berdiri. Karena tak ingin kesiangan sampai di Lhokseumawe, aku terpaksa naik bus itu. Di pintu bus aku berdiri bersama penumpang lainnya, berdesak-desakan sembari berpegangan pada daun pintu bus. Di beberapa tempat bus itu berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Itulah pengalaman pertama aku bekerja dengan berbohong kepada bapak dan ibu. Tapi aku terpaksa melakukan itu, sebab aku kasihan pada bapak dan ibu. Beras di rumah sudah habis, aku harus bekerja membantu bapak. Satu-satunya pekerjaan yang bisa aku lakukan adalah menjahit sepatu, karena ilmunya sudah aku dapatkan dari bapak.

Setengah jam kemudian bus yang aku tumpangi tiba di tengah kota Lhokseumawe yang ramai. Aku bayar ongkosnya. Aku punya uang beberapa rupiah, hasil simpanan jajan sekolah. Uang itulah yang aku pakai untuk ongkos ke Lhokseumawe. Tapi masalahnya, aku tak punya uang untuk membayar ongkos pulang. Sempat juga aku deg-degan dan tak dapat membayangkan bagaimana seandainya bila aku tak mendapat uang sama sekali dari pekerjaan itu. Karena itulah pertama kali aku mencoba bekerja menjahit sepatu, menggantikan bapak yang lagi sakit.

Setibanya di tempat kerja bapak, aku terus ke bawah jenjang tempat di mana peti penyimpan peralatan sol sepatu. Aku buka kunci peti itu dan menyeretnya hingga berada di tempatnya biasa, di sudut gang di samping pintu sebuah toko kain. Saat asyik menyusun sepatu di atas peti, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.

“Hei, kau Agam? Mana bapak kau?”

Aku menoleh ke sumber suara. Aku lihat seorang lelaki berbaju koko putih dan berpeci hitam. Ustad Ismail, pengurus musala.

“Oh, Ustad. Bapak sakit sudah beberapa hari ini,” jawabku.

“Sakit? Sakit apa?” tanya Ustad Ismail dengan keningnya yang berkerut.

Aku diam. Aku geser kursi tempat bapak biasa duduk menunggui peti sepatu. Aku persilakan Ustad Ismail duduk. Orang tua itu menarik kursi yang aku sodorkan lalu dia duduk di sampingku.

“Sudah beberapa hari ini Bapak demam dan batuk, Ustad. Batuknya bertambah parah. Bapak tak kuat bekerja.”

“Lalu kau yang menggantikannya bekerja?” tanya Ustad Ismail lagi.

Aku mengangguk. Kedua tanganku terus menyusun sepatu bekas di atas peti. Orang berlalu lalu di sepanjang gang pertokoan. Hari terus beranjak. Kemudian aku rasakan tepukan halus di pundakku lagi, dari tangan Ustad Ismail.

“Kau anak yang baik,” katanya.

Aku hanya tersenyum. Tak lama kemudian Ustad Ismail kembali ke musala. Aku meneruskan pekerjaan, menunggu orang yang memanfaatkan jasaku hari itu. Hingga pukul 12 siang, belum ada tanda-tanda orang yang mengantar rezeki buatku. Semua orang yang berjalan di sepanjang gang pertokoan itu hanya berlalu lalang saja. Tak ada yang melihat ke arahku. Ya Allah, mudahkan urusan dan rezekiku hari ini.

Perutku terasa perih. Lapar mulai menyapaku. Terdengar suara kruuukkk... kruukkkk... Siapa lagi kalau bukan cacing gelang di perutku. Menyebalkan sekali. Aku memang jarang makan. Tapi ulah cacing itu sering mengganggu. Bayangkan, bila lagi kumpul bersama kawan-kawan di sekolah dia sering berbunyi, bernyanyi tepatnya. Ada kawanku yang mendengar ulah cacing itu, dia tersenyum-senyum saja. Dan, siang ini aku merasakan cacing-cacing brengsek itu menggelar konser lagi. Minta makan!

Waktu salat zuhur masuk. Terdengar suara Ustad Ismail di musala mengumandangkan azan. Suaranya merdu sekali. Ada suatu rasa yang tak dapat aku ucapkan dengan kata-kata merasuki tubuhku mendengar azan itu. Aku lihat karyawan-karyawan toko di sekitar musala bergegas melaksanakan salat berjamaah. Aku pun segera menutup peti sepatu dengan sehelai karung goni beras bekas, lalu aku menuju tempat wudu. Ketika air yang keluar dari kran membasuh wajahku, terasa sejuk sekali.

Usai iqamah aku berdiri di shaf kedua. Di shaf pertama kaum bapak-bapak. Umumnya mereka pemilik dan karyawan toko di sekitar tempatku bekerja. Tubuh mereka tinggi-tinggi layaknya tubuh orang Aceh secara umum. Wajah mereka pun punya ciri khas, ada yang agak gelap mirip orang Keling India. Ada yang berhidung mancung dan bermata agak biru mirip orang portugis. Bermacam orang aku lihat. Sungguh pengalaman pertama bekerja yang sangat mengesankan.

Sehabis salat aku kembali bekerja, duduk menunggui peti yang tak juga ada orang menghampiri. Jam terus beranjak sore. Sudah pukul tiga. Belum juga  ada tanda-tanda kalau ada orang yang berkenan bermurah hati memanfaatkan tenagaku menjahitkan sepatunya. Aku merasakan betapa sabarnya bapak menunggu rezeki itu datang. Bukan sehari saja, tapi berhari-hari hingga bapak sakit sekarang. Sungguh, aku baru menyadari betapa beratnya tugas dan tanggung jawab seorang bapak kepada istri dan anak-anaknya. Dan, hari ini aku belajar merasakan susahnya bapak mencari uang.

“Kau sudah makan, Gam?”

Aku menoleh ke belakang. Ustad Ismail pengurus musala berdiri di belakangku. Dia melihat wajahku yang agak pucat. Aku tersenyum berat.

“Kau belum makan. Ini ada uang Ustad, pergilah ke warung itu. Beli nasi bungkus,” ujar Ustad Ismail.

Ragu-ragu aku menerima uang pemberian Ustad Ismail. Kedua tangan kujulur meraih uang beberapa lembar ribuan itu. Alhamdulillah, ya Allah.

“Terima kasih, Ustad. Terima kasih,” ujarku.

Lelaki berkopiah hitam itu tersenyum ramah. Kembali ia tepuk-tepuk pundakku pelan.

“Cepat pergilah makan, biar Ustad yang menunggu di sini,” katanya lagi.

Aku sangat berterima kasih kepada Ustad Ismail yang baik hati itu. Aku salami tangannya dengan penuh hormat. Aku ucapkan terima kasih atas perhatiannya kepadaku. Segera aku bergegas menuju warung makan di seberang jalan raya. Aku beli nasi bungkus, dan membawanya kembali ke tempat aku kerja.

“Ustad sudah makan? Ini kita makan berdua, Ustad?” tawarku berbasa basi. Ustad Ismail tersenyum.

“Sudah. Teruslah kau makan. Ustad mau ke rumah dulu. Ini untuk ongkos kau pulang nanti.”

Ustad Ismail memberikan aku uang lagi. Ya Allah, rezeki-Mu sungguh tak berpintu.

“Ustad baik sekali. Terima kasih Ustad, terima kasih.”

“Makan yang kenyang, ya?”

Aku menganggu sembari tersenyum kepadanya. Ustad Ismail pamit kepadaku pulang menuju rumahnya. Aku tak tahu di mana rumah Ustad Ismail. Yang pasti, sore itu aku melahap nasi bungkus yang aku beli dari uang pemberian Ustad Ismail dengan sangat nikmatnya. Sungguh aku sangat berbahagia. (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun