Aku menoleh ke belakang. Ustad Ismail pengurus musala berdiri di belakangku. Dia melihat wajahku yang agak pucat. Aku tersenyum berat.
“Kau belum makan. Ini ada uang Ustad, pergilah ke warung itu. Beli nasi bungkus,” ujar Ustad Ismail.
Ragu-ragu aku menerima uang pemberian Ustad Ismail. Kedua tangan kujulur meraih uang beberapa lembar ribuan itu. Alhamdulillah, ya Allah.
“Terima kasih, Ustad. Terima kasih,” ujarku.
Lelaki berkopiah hitam itu tersenyum ramah. Kembali ia tepuk-tepuk pundakku pelan.
“Cepat pergilah makan, biar Ustad yang menunggu di sini,” katanya lagi.
Aku sangat berterima kasih kepada Ustad Ismail yang baik hati itu. Aku salami tangannya dengan penuh hormat. Aku ucapkan terima kasih atas perhatiannya kepadaku. Segera aku bergegas menuju warung makan di seberang jalan raya. Aku beli nasi bungkus, dan membawanya kembali ke tempat aku kerja.
“Ustad sudah makan? Ini kita makan berdua, Ustad?” tawarku berbasa basi. Ustad Ismail tersenyum.
“Sudah. Teruslah kau makan. Ustad mau ke rumah dulu. Ini untuk ongkos kau pulang nanti.”
Ustad Ismail memberikan aku uang lagi. Ya Allah, rezeki-Mu sungguh tak berpintu.
“Ustad baik sekali. Terima kasih Ustad, terima kasih.”