Aku diam. Aku geser kursi tempat bapak biasa duduk menunggui peti sepatu. Aku persilakan Ustad Ismail duduk. Orang tua itu menarik kursi yang aku sodorkan lalu dia duduk di sampingku.
“Sudah beberapa hari ini Bapak demam dan batuk, Ustad. Batuknya bertambah parah. Bapak tak kuat bekerja.”
“Lalu kau yang menggantikannya bekerja?” tanya Ustad Ismail lagi.
Aku mengangguk. Kedua tanganku terus menyusun sepatu bekas di atas peti. Orang berlalu lalu di sepanjang gang pertokoan. Hari terus beranjak. Kemudian aku rasakan tepukan halus di pundakku lagi, dari tangan Ustad Ismail.
“Kau anak yang baik,” katanya.
Aku hanya tersenyum. Tak lama kemudian Ustad Ismail kembali ke musala. Aku meneruskan pekerjaan, menunggu orang yang memanfaatkan jasaku hari itu. Hingga pukul 12 siang, belum ada tanda-tanda orang yang mengantar rezeki buatku. Semua orang yang berjalan di sepanjang gang pertokoan itu hanya berlalu lalang saja. Tak ada yang melihat ke arahku. Ya Allah, mudahkan urusan dan rezekiku hari ini.
Perutku terasa perih. Lapar mulai menyapaku. Terdengar suara kruuukkk... kruukkkk... Siapa lagi kalau bukan cacing gelang di perutku. Menyebalkan sekali. Aku memang jarang makan. Tapi ulah cacing itu sering mengganggu. Bayangkan, bila lagi kumpul bersama kawan-kawan di sekolah dia sering berbunyi, bernyanyi tepatnya. Ada kawanku yang mendengar ulah cacing itu, dia tersenyum-senyum saja. Dan, siang ini aku merasakan cacing-cacing brengsek itu menggelar konser lagi. Minta makan!
Waktu salat zuhur masuk. Terdengar suara Ustad Ismail di musala mengumandangkan azan. Suaranya merdu sekali. Ada suatu rasa yang tak dapat aku ucapkan dengan kata-kata merasuki tubuhku mendengar azan itu. Aku lihat karyawan-karyawan toko di sekitar musala bergegas melaksanakan salat berjamaah. Aku pun segera menutup peti sepatu dengan sehelai karung goni beras bekas, lalu aku menuju tempat wudu. Ketika air yang keluar dari kran membasuh wajahku, terasa sejuk sekali.
Usai iqamah aku berdiri di shaf kedua. Di shaf pertama kaum bapak-bapak. Umumnya mereka pemilik dan karyawan toko di sekitar tempatku bekerja. Tubuh mereka tinggi-tinggi layaknya tubuh orang Aceh secara umum. Wajah mereka pun punya ciri khas, ada yang agak gelap mirip orang Keling India. Ada yang berhidung mancung dan bermata agak biru mirip orang portugis. Bermacam orang aku lihat. Sungguh pengalaman pertama bekerja yang sangat mengesankan.
Sehabis salat aku kembali bekerja, duduk menunggui peti yang tak juga ada orang menghampiri. Jam terus beranjak sore. Sudah pukul tiga. Belum juga ada tanda-tanda kalau ada orang yang berkenan bermurah hati memanfaatkan tenagaku menjahitkan sepatunya. Aku merasakan betapa sabarnya bapak menunggu rezeki itu datang. Bukan sehari saja, tapi berhari-hari hingga bapak sakit sekarang. Sungguh, aku baru menyadari betapa beratnya tugas dan tanggung jawab seorang bapak kepada istri dan anak-anaknya. Dan, hari ini aku belajar merasakan susahnya bapak mencari uang.
“Kau sudah makan, Gam?”