Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (36)

30 Desember 2011   07:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:34 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Muhammad Subhan

Latihan Pramuka sore itu memang sangat melelahkan. Peluh mengucur di seluruh tubuhku dan bajuku basah. Malamnya aku merasakan tubuhku sakit semua. Otot-otot mengeras. Mungkin aku jarang berolahraga, lalu ketika mengikuti latihan baris berbaris dan lari keliling lapangan sekolah teganglah semua otot di tubuhku. Melelahkan sekali. Walau demikian tidurku terasa nyenyak walau di rumah nyamuk banyak.

Di hari Senin pagi kami warga SMP Palda sudah berkumpul di lapangan upacara. Seperti biasa setiap hari Senin digelar upacara bendera. Semua siswa berbaris menurut kelas masing-masing. Beberapa siswa dipilih untuk petugas upacara. Yudha, Pinru Regu Badak Pramuka kami kembali mempertahankan posisinya sebagai komandan upacara. Siswa kelas 2 membawa bendera. Mahmudi, anak kelas I-5 satu regu denganku di Regu Badak mendapat tugas membaca teks Pancasila. Saiful, kawanku juga, dapat tugas membaca teks Proklamasi.

“Kau, kemari!” Tiba-tiba Pak Syamsul, Wakil Kepala Sekolah menunjuk ke arahku.

“Saya, Pak?”

“Iya, kamu. Kemari!”

Aku buru-buru mendekat ke arah Pak Syamsul. Agak takut-takut. Kalau-kalau aku ada salah atau ada atribut yang tidak aku pakai. Setelah aku perhatikan tubuhku, syukurlah topi dan dasi ada aku kenakan. Kaus kaki juga. Lalu apa salahku?

“Kau baca doa!”

Ufh! Baca doa? Tiba-tiba jantungku berdegup cepat. Aku tidak pernah berdiri di depan orang banyak. Warga SMP Palda lebih seribu orang. Aku akan membaca doa di hadapan mereka? Aduh, bagaimana ini? Suaraku pun tidak bagus. Mendapat tugas itu kedua lututku gemetar.

“Maaf Pak, saya tidak bisa. Kalau dapat kawan yang lain saja ya, Pak?”

Mata Pak Syamsul tajam menatap ke arahku. Tampaknya dia marah.

“Tidak bisa. Kau yang baca doa!” perintahnya lagi.

Aku tak dapat lagi mengelak. Takut kalau Wakil Kepala Sekolahku yang mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) itu semakin marah dan menghukumku di lapangan. Aku terpaksa menerima tugas untuk pertama kali di dalam hidupku.

“Baik, Pak. Akan saya coba.”

Teks doa yang akan aku baca diserahkan Pak Syamsul. Teks itu satu halaman panjangnya. Tulisannya diketik dengan mesin tik. Cukup jelas terbaca. Aku pun disuruh maju ke depan. Kawan-kawanku yang juga mendapat tugas ikut maju ke depan. Seribuan pasang mata menatap ke arah kami. Disaat berjalan dari barisan ke posisi yang ditentukan, jantungku tak henti-hentinya berdegup cepat. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Siaaaappp.... Graaakkk....!!!

Yudha, Komandan Upacara memberi aba-aba agar semua peserta upacara dalam posisi siap dan tidak lagi melakukan aktivitas lainnya. Suara anak itu sangat lantang menggema ke udara. Pak Syamsul, Wakil Kepala Sekolah kami menjadi Pembina Upacara pagi itu. Ketika bendera merah putih dikibarkan di tiang bendera diiringi nyanyian Indonesia Raya, aku merasakan ada suatu getaran yang menyusup sangat cepat ke dalam darahku, mengalir ke seluruh tubuh. Dalam posisi hormat aku khusyuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya, dan bendera itu berkibar dimainkan angin pagi yang sejuk.

Pembina Upacara Pak Syamsul menyampaikan nasihat kepada siswa untuk tidak terlambat masuk sekolah. Orang yang suka melalaikan waktu dan tidak disiplin, apapun yang dia lakukan akan gagal. Pak Syamsul juga mengucapkan selamat kepada siswa baru yang mengikuti latihan Pramuka. Regu Badak dan Regu Padi SMP Palda dalam setiap kompetisi kepramukaan selalu menjadi juara. Banyak penghargaan dan piala yang diraih Pramuka SMP Palda.

“Kepada anggota baru, tekunlah kalian latihan. Kuasai seluruh keterampilan kepramukaan. Harumkan terus nama baik sekolah ini,” ujarnya.

Setelah amanat pembina upacara selesai, tak lama kemudian protokol memanggil namaku untuk membacakan doa. Tiba-tiba lagi jantungku berdegup cepat. Tangan dan kedua kakiku terasa gemetar. Walau demikian aku tetap berjalan beberapa langkah ke depan di posisi pembaca doa lalu membaca teks doa yang ada di tanganku. Aku tolehkan pandangan sejenak ke seluruh peserta upacara. Wuihhh.... semua mereka memandang ke arahku. Ya Allah, selamatkan aku!

Maka mulailah aku membaca teks doa itu. Mikrofhon yang berdiri di depan mulutku suaranya sangat nyaring, menggema dari pengeras suara di sudut lapangan. Terbayanglah aku wajah Kyai Haji Zainuddin MZ yang sering aku dengar ceramahnya di radio butut milik bapak di rumah. Suaranya sangat bagus. Dalam membaca doa itu aku tiru suara Zainuddin MZ. Hasilnya ternyata bagus juga. Hingga selesai doa itu aku bacakan, alhamdulillah tidak ada kalimat yang salah. Aku kembali ke posisi semula, sembari membusungkan dada bangga.

***

Diantara kawan-kawanku di SMP Palda, Andi adalah sahabatku yang paling akrab. Kami merasa senasib sepenanggungan. Aku dan Andi sering main ke rumah Yudha, Pinru Regu Badak. Rumahnya di kampung Tambon Tunong. Orangtua Yudha ramah kepada kami. Bahkan kami sering makan bersama di rumahnya. Sesekali menumpang tidur juga di rumah dia sembari berdiskusi tentang kegiatan-kegiatan kepramukaan.

Sudah beberapa kali latihan atribut Pramuka tidak juga aku miliki. Aku tak punya uang membeli kacu seperti diperintah Kak Rudi, pelatih kami. Satu dua kali aku mulai bolos latihan. Hukumannya harus push-up dan berlari keliling lapangan. Walau demikian aku tetap usahakan terus latihan, karena aku merasa punya banyak kawan di sana.

Suatu hari bapak sakit. Bapak tidak sanggup kerja ngesol sepatu di Lhokseumawe. Berulang pergi dan pulang dari Kruenggeukueh ke tengah kota Lhokseumawe ternyata membuat fisik bapak kelelahan. Disamping faktor usia juga. Sehari dua hari libur kerja masih bisa ditanggulangi ibu kebutuhan di rumah. Tapi hari-hari berikutnya semakin payah. Aku merasakan kesulitan ibu. Tapi bapak tidak mungkin dipaksa bekerja walau bapak ingin terus bekerja.

Dari bilik kamar tidur terdengar suara batuk bapak yang berat. Ibu belum pulang dari rumah camat tempat ia mengambil upah cucian. Aku baru pulang sekolah. Aku lihat di meja makan tudung nasi di bawahnya tak berisi apa-apa. Kosong melompong. Ibu tidak masak. Aku maklum, ibu tak lagi punya uang untuk membeli beras. Makan kami semakin berkurang.

Aku masuk ke bilik bapak. Aku lihat bapak terbaring lemah. Batuknya tidak berhenti juga. Aku ambilkan air minum agar tenggorokan bapak basah. Batuk kering terasa sakit di dada bapak. Aku bantu bapak bersandar duduk di sisi tempat tidur. Aku pandangi tubuh bapak yang kurus, tulang rusuk dan tulang dadanya menonjol ke luar. Kamar yang diterangi lampu 5 watt itu membantu aku melihat jelas tubuh bapak. Rambut bapak semakin memutih saja.

“Kau sudah pulang sekolah?” suara Bapak berat terdengar.

“Sudah makan?” kata Bapak lagi.

Aku diam. Terbayang di meja makan tak ada apa-apa. Tapi aku tak ingin melihat bapak sedih. Aku anggukkan kepala.

“Sudah, Pak. Bapak sudah minum obat?”

“Kapan kau makan?”

“Tadi di rumah kawan, Pak,” jawabku berbohong. Terasa cacing berbunyi di perutku, tapi aku tahan agar ia tak bersuara.

Mata bapak menerawang. Tampak bola mata itu berkaca-kaca. Terdengar lagi batuk kering bapak yang berat. Tanganku memijat-mijat kaki bapak yang terasa tulang saja menonjol dilapisi kulit.

“Pak, besok Agam tidak sekolah, mau libur dulu.”

Bapak memalingkan wajahnya ke arahku.

“Kenapa?”

“Agam mau bantu Bapak bekerja. Biar Agam yang jahit sepatu. Sudah beberapa hari Bapak tidak kerja. Tentu langganan Bapak mencari-cari. Mohon Bapak iznkan Agam,” pintaku dengan penuh harap.

Lama bapak termenung mendengar ucapanku itu. Berat bapak menahan hatinya.

“Jangan kau korbankan waktu sekolah, Nak. Biarlah, besok Bapak usahakan bekerja,” jawab Bapak. Kemudian Bapak batuk lagi.

“Jangan, Pak. Bapak jangan bekerja dulu. Bapak harus sembuh. Agam sudah bisa menjahit sepatu seperti Bapak. Satu dua hari ini Agam coba bekerja menggantikan Bapak. Kalau dapat uang nanti, Agam berikan kepada ibu. Biar ada beras yang dimasak,” jawabku polos.

Bapak menarik tanganku. Memeluk tubuhku dengan sangat erat. Bapak sangat terharu sekali.

“Bapak mohon kau jangan kerja. Besok Bapak sudah sembuh. Tetaplah sekolah.”

Aku tak menjawab lagi. Aku larut dalam pelukan bapak. Aku rasakan kasih sayangnya. Aku tak mau cepat kehilangan Bapak. Aku ingin membahagian bapak dan ibu kelak, ketika aku sudah besar. Tuhan, sembuhkan sakit bapak. Aku mohon.

Aku minta bapak beristirahat lagi. Bapak merebahkan badannya di atas kasur kapuk berbantal di kepalanya. Aku pamit hendak mandi. Tak lama azan Ashar berkumandang di masjid. Ibu pulang agak sore. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun