“Terima kasih. Aku duduk-duduk saja,” jawabku sembari menerima pisang goreng yang disodorkannya.
“Kau ikut Pramuka kan? Tadi aku lihat kau mendaftar juga.”
“Ya. Kau juga tentu.”
Dia mengangguk. Kami duduk bersama sambil bercengrama. Tiba-tiba aku menjadi akrab dengan anak itu.
Andi tubuhnya hampir sama tinggi dengan tubuhku. Kami sama-sama jangkung. Dia dan orangtuanya tinggal di sebuah rumah kontrakan di depan Pabrik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). PT ASEAN dan PT PIM berdampingan. Sama-sama memproduksi pupuk Urea. Di depan pabrik PT PIM berdiri megah Komplek Perumahan, rumah-rumah yang dihuni oleh pejabat dan karyawan pabrik itu. Saat aku bermain di rumah Andi kawanku, sesekali ia mengajakku bermain ke komplek perumahan PT PIM. Sering pula kami dikejar satpam yang menjaganya. Aku dan Andi sama-sama berasal dari keluarga yang sederhana, tetapi ekonomi keluarga Andi masih lebih baik dari ekonomi keluargaku.
***
Hari Sabtu yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga. Sehabis pelajaran sekolah aku bergegas pulang ke rumah. Aku sampaikan kepada ibu bahwa sore itu aku akan mengikuti latihan Pramuka. Ibu memberi izin. Setelah makan siang dan salat Zuhur, aku bersiap kembali ke sekolah. Seragam Pramuka yang aku kenakan tidak aku lepas. Di sekolah kami, setiap hari Jumat dan Sabtu diwajibkan memakai pakaian Pramuka yang berwarna cokelat itu.
Aku ke sekolah hanya berpakaian Pramuka saja, tanpa atribut lainnya. Aku kira kakak-kakak yang melatih kami akan maklum karena kami anak baru. Aku keluar rumah berjalan kaki ke sekolah. Di sepanjang jalan aku bersiul-siul untuk menghilangkan lelah. Perjalanan sejauh 3 kilometer aku kira tidak pendek, jadi dengan bersiul-siul begitu jarak yang jauh dari rumah dan sekolah terasa singkat.
Setibanya di sekolah aku lihat banyak anak-anak baru yang akan menjadi anggota Pramuka. Sebagian mereka berseragam atribut lengkap, memakai topi Pramuka, kacu yang berbentuk dasi di leher mereka, juga ada tali komando yang bergantung peluit diselipkan di saku baju. Berseragam seperti itu, semua kawan-kawanku terlihat gagah-gagah. Yang perempuan tentu cantik-cantik. Aku merasa iri kepada mereka sebab tubuhku tidak dilengkapi atribut semacam itu. Walau demikian aku tetap diterima masuk menjadi anggota baru di regu Pramuka muda SMP Palda.
Di hari pertama itu dimulai dengan perkenalan semua anggota baru. Pelatih kami bernama Kak Rudi. Dia alumni SMP Palda juga. Dia orang Medan. Suaranya besar bila berteriak. Badannya tegap dan berisi. Matanya tajam. Kami semua segan kepadanya. Dialah yang menyebutkana bahwa regu laki-laki adalah Regu Badak, dan yang perempuan Regu Padi. Nomor Gugus Depan (Gudep) Pramuka kami B. 073-074. Dalam barisanku satu regu berjumlah 10 orang. Urutan barisannya yang paling tinggi di depan. Aku dan Andi sama tinggi. Kadang dia di depan, kadang juga aku yang di depan. Selalu bergantian. Yang paling belakang Said, karena dia paling kecil dan pendek. Pemimpin regu kami bernama Yudha, anak kelas I-1, badannya tegap dan berisi tapi lebih pendek dari tubuhku.
Sehabis perkenalan, hari itu kami latihan baris berbaris. Kak Rudi setiap saat berteriak, jalan harus tegap dan langkah harus serentak. Bila salah hukuman kena push-up atau lari keliling lapangan. Semua kami takut kena hukuman. Yudha, Pinru kami paling lantang suaranya bila memberi perintah siap dan hormat. Geraknya juga gesit, dia menjadi perhatian siswa-siswa di sekolah kami, khususnya anak-anak perempuan. Setiap kali upacara bendera, dia selalu yang menjadi komandan upacara. Kehebatannya itu sering membuat aku iri. Tapi aku tak bisa menyaingi dia, sebab aku benar-benar anak yang minder, pemalu dan pendiam di sekolah.