Hingga larut malam kami baru pulang ke rumah.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, orang lebih ramai lagi. Semuanya menuju ke masjid. Salat ‘Id berjamaah. Usai Subuh sebelum salat ‘Id, bapak pergi ke rumah tetangga yang hidupnya lebih kurang dari kami. Bapak membawa beras. Kata bapak beras itu untuk zakat fitrah yang wajib dikeluarkan. Bapak selalu mengantar beras sebagai zakat fitrah menjelang salat ‘Id. Kata bapak itu saat-saat yang paling afdhal membayar zakat fitrah.
“Zakat fitrah untuk membersihkan diri kita dan harta kita. Semoga Allah menjauhkan bala dan marabahaya di rumah kita,” ujar Bapak menyebut keutamaan zakat fitrah. Aku hanya menganggukkan kepala.
Usai salat ‘Id, kami mendengarkan khatib berkhutbah. Isi khutbahnya panjang sekali. Khatib menyebut, Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang yatim piatu yang sangat sayang kepada fakir miskin. Walau Nabi serba kekurangan, tetapi apa yang ada di rumahnya selalu dibagikan kepada tamu dan tetangga yang membutuhkan. Nabi tidur bukan di kasur empuk, melainkan beralas pelepah kurma sehingga tampak bekas-bekas pelepah itu menempel di kulitnya yang putih. Kesederhanaan Rasulullah pantaslah menjadi cermin bagi umat agar tidak berlebih-lebihan di dalam hidup, dan suka menyedekahkan hartanya kepada fakir dan miskin.
Itulah isi khutbah yang sering aku dengar setiap kali salat Idul Fitri yang aku ikuti. Sebuah potret kehidupan Nabi yang sangat pantas kita teladani. Entah mengapa, ingin sekali aku bermimpi bertemu Sang Nabi. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H