Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (18)

17 November 2011   06:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terus berjalan. Terus memasuki perkarangan lahan bekas rumahku dulu. Yang tertinggal hanya balok-balok kayu dan papan-papan usang sisa pembongkaran oleh aparat pemerintah beberapa hari lalu. Lama aku mematung di halaman bekas rumahku. Aku bayang-bayangkan suasana di dalam rumah dulu ketika rumah itu masih utuh. Kamar tidur, ruang makan, bilik tempat bapak menjahit pakaian, dapur dan kamar mandi, hingga kakus di belakang rumah. Semuanya terbayang-bayang di benakku. Walau ketika itu rumah kami berlantai tanah, tetapi rumah adalah sorga yang sangat indah. Bapak membangunnya dengan susah payah. Sekarang sirna sudah.

Berdiri mematung di halaman bekas rumahku di tengah sawah, jatuh juga berlinang-linang airmataku. Sungguh kejam orang-orang yang menghancurkannya. Jangankan mendapat ganti rugi, melihat kami saja pun tidak. Mereka makhluk tak memiliki hati. Orang susah tak layak hidup di negeri ini agaknya.

Tak ingin larut dengan kenangan yang sudah berlalu aku meninggalkan bekas rumahku itu. Aku terus berjalan ke arah pondok di tengah sawah. Kulewati pematang yang berpetak-petak banyaknya. Beberapa petani sibuk menghalau pipit yang mencuri padi. Banyak orang-orangan sawah yang terbuat dari jerami mirip manusia, berbaju dan memakai topi caping. Kalau Kau berjalan seorang diri di tengah sawah itu, di malam hari, Kau akan mengira orang-orangan itu hantu gentayangan. Tapi orang-orangan jerami itu pula yang membuat semarak panorama sawah. Burung pipit yang sangat banyaknya datang bergerombolan memakan padi-padi yang telah masak. Burung-burung itu bergantungan di batang-batang padi, sekali-sekali bertengger pula di pundak orang-orangan itu. Suaranya terdengar sangat merdu.

Aku tak tahu apakah di Aceh nanti aku akan bertemu pemandangan semacam itu lagi. Entahlah. Kata bapak di Aceh hanya ada ladang minyak dan gas. Udaranya sangat panas. Kalau begitu aku tak akan bermimpi dapat melihat padi, atau bermain di sawah seperti di Tembung. Semuanya akan menjadi kenangan yang mengendap dalam benakku saja. Entahlah, di daerah mana akan terulang lagi.

Aku semakin mendekati pondok di tengah sawah. Dari kejauhan aku melihat ada seorang anak duduk bermenung di berandanya. Ia memandang sawah yang menguning padinya. Aku mengenali sosok tubuh tambun itu. Bondan!

“Bondan...!” teriakku dari kejauhan. Wajahku sangat gembira sekali menemukan anak itu lagi.

Bondan menoleh kepadaku.

“Hei, Agam...!” sahutnya sembari melambaikan tangan ke arahku.

Dia turun pondok. Berlari ke arahku. Aku pun berlari mengejarnya.

Di pematang kami bertemu dan berpelukan erat. Sebagai dua orang sahabat karib yang tak ingin berpisah selamanya.

“Kemana saja Kau, Ndan? Aku mencari-cari Kau beberapa hari ini.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun