“Aku kehilangan kalian semua,” kataku kepada kawan-kawanku yang berdiri memandang sendu ke arahku.
“Kami juga,” jawab mereka.
Latifah telah jatuh airmatanya. Anya juga.
Aku pandangi sejenak kedua wajah gadis kecil itu. Wajah yang polos, seperti juga wajahku, wajah kami anak-anak.
Aku masuk ke dalam angkot, duduk disamping bapak. Dari jendela angkot aku lihat mereka melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Nek Ani tak henti-henti menangis. Ibu juga menangis. Hanya aku dan bapak yang tidak menangis. Rinai turun, langit menangis. Tembung, selamat tinggal. Medan, selamat tinggal. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.