“Aku ada salah pada Nenek. Aku pernah berbohong, ketika Nenek memberi aku sate kerang aku meminta Nenek menggantinya dengan uang. Kataku uang itu untuk membeli buku tulis, tapi sebenarnya tidak. Aku, Bondan dan Anton sedang mengumpulkan uang untuk membantu masalah bapak. Aku sudah berbohong kepada Nenek...” kataku polos.
Mendengar penuturanku itu, Nek Ani bertambah erat pelukannya di tubuhku.
“Oh, cucuku...” hanya itu katanya.
“Nenek memaafkan aku, kan?”
“Nenek maafkan Kau Gam, Kau anak yang berbakti kepada orangtua. Nenek doakan Kau menjadi orang berguna kelak,” jawab Nek Ani. Bertambah deras airmatanya jatuh. Dadaku terasa lapang menerima maaf yang tulus dari Nek Ani yang bagaikan Nenek kandungku itu.
Bapak datang menyampaikan salam perpisahan kepada Nek Ani dan berterima kasih atas tumpangan di rumahnya beberapa hari pascapenggusuran rumah kami oleh aparat pemerintah tempo hari.
“Hanya Allah yang dapat membalas budi baik Nenek dan keluarga,” kata Bapak.
“Aku lebih senang bila kalian di sini. Tapi itu hanya keinginanku saja, keputusan kalian yang punya. Tak usah berterima kasih, anggap ini rumah kalian juga. Bila kelak kalian pulang ke Medan, jenguklah aku yang tua ini. Entah Allah masih mempertemukan kita atau tidak, karena ajal siapa yang tahu...” Berat Nek Ani mengucapkan kata-kata itu, mencerminkan besar sekali kasih sayangnya kepada kami.
Ibu menyalami Nek Ani, memeluknya. Bagaikan takzim kepada orangtua ibu sendiri. Di sore itu, hanya kesedihan saja yang ada di rumah Nek Ani.
Aku membantu bapak mengeluarkan barang-barang yang dapat dibawa ke Aceh. Tak banyak, hanya bungkusan-bungkusan berisi pakaian dan sedikit perkakas dapur. Itulah harta yang kami punya. Yang lain-lain sudah dijual buat bekal. Di halaman telah menunggu sebuah angkot yang akan mengantar kami ke terminal bus yang jaraknya sekitar 30 menit dari Tembung.
Di halaman kawan-kawanku berusaha membantu, tapi aku melarang mereka karena barang-barang itu tidak banyak. Ibu telah naik ke dalam angkot, begitu juga bapak.