“Kapan bapak akan pindah? Lalu bagaimana dengan sekolah Agam?”
“Itulah maksud kedatangan saya ke sini, Pak. Saya mohon Bapak berkenan menguruskan surat pindahnya. Di Aceh nanti saya akan sekolahkan si Agam,” jawab Bapak, sembari memandangku yang duduk di sampingnya.
“Saya ikut prihatin dengan keadaan keluarga Bapak. Saya berharap, di Aceh Agam harus terus sekolah. Jangan putus di tengah jalan.”
“Insya Allah, Pak.”
“Baiklah, tunggu di sini sebentar. Saya minta kepala Tata Usaha menyiapkan surat-suratnya.”
“Baik, Pak. Kami tunggu.”
Pak Lukman bergegas ke ruang Tata Usaha, tak lama kemudian dia datang lagi. Tidak dengan surat, tapi dengan dua gelas teh hangat.
“Minumlah dulu, tentu Bapak dan Agam haus sehabis bersepeda dari tembung,” tawar Pak Lukman ramah.
“Terima kasih, Pak.”
Bapak menyenggol lenganku, menyuruhku minum. Kami minum teh hangat itu. Sejenak tenggorokan terasa lega dan dada lapang. Pak Lukman sungguh orang yang paling bijaksana dan baik hati.
Beberapa menit kemudian datang Pak Hasyim, kepala Tata Usaha di sekolah itu. Dia membawa sebuah map yang berisi surat menyurat untuk keperluan kepindahanku dari sekolah.