Bondan yang berdiri disampingku menarik lenganku dan Anton lalu mengajak kami ke pondok tengah sawah tempat yang sudah menjadi markas kami. Aku tak tahu apa yang diinginkan Bondan. Aku dan Anton menurut saja.
“Kita mau kemana, Ndan?” tanyaku kepadanya.
“Ikut sajalah,” katanya singkat.
Anton tak bersuara.
Kami terus berjalan menyisiri pematang. Hari sudah siang. Terik matahari menyengat kulit. Tak lama kemudian sampailah kami bertiga di pondok tengah sawah. Buah jambu kelutuk di samping pondok itu menyisakan beberapa buah yang ranum, selebihnya hanya buah yang masih kecil-kecil. Sudah sering kami ambil jadi habislah buahnya.
“Ngapain kita kesini, Ndan?” tanyaku lagi. Pikiranku masih membayangkan wajah bapak yang kusut karena masalah pot bunga ayah si Anton. Kasihan bapak.
“Begini Gam, Kau juga Anton. Kita harus menolong bapak si Agam. Aku tahu bapak si Agam tak punya uang,” ujar Bondan tiba-tiba.
Mataku berkaca-kaca. Terharu akan kata-kata yang dilontarkan Bondan, sahabatku itu.
“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Anton. Secara khusus Anton meminta maaf kepadaku atas perlakuan ayahnya kepada bapakku.
“Ya, apa yang bisa kita perbuat, Ndan?” tanyaku pula.
Bondan sejenak diam. Matanya menerawang. Sepertinya dia sedang berpikir keras. Setelah beberapa menit keadaan hening, barulah Bondan bersuara dengan wajah cerah.