Geger, lelaki muda 39 tahun itu gelisa tiada menentu. Pikiranya kalut, batinya berkecamuk antara benci, sakit hati dan dendam mendalam. Setelah membaca isi surat resmi beramplop putih itu.
"Ada surat untuk pak Geger." Seorang staff tata usaha memberikan surat beramplop putih dan tercantum jelas nama penerimanya. Pengirim surat itu tertulis dari dinas pendidikan kabupaten.
Seketika wajahnya memerah penuh angkara murka, tarikan nafasnya tidak beraturan, Bola matanya melotot seperti hendak keluar. Dada Geger terasa sesak seperti ada pukulan yang menghujam tepat di ulu hatinya. Emosi lelaki muda itu sudah sampai di ubun-ubun.
Dikepal tangan kananya sekuat tenaga sembari menarik nafas panjang dan dihujamkan kepalan itu mengarah ke dinding tembok yang berdiri kokoh dihadapannya. Geger melampiaskan rasa kesalnya pada dinding tembok beton yang tak berdosa itu.
Pukulan itu begitu keras dan melesat tepat tertuju disatu titik. Andai kata pukulan itu mendarat di dagu, sudah dipastikan orang yang menjadi sasaran pasti akang tumbang dan KO. Kekuatan pukulan itu sama persis dilakukan seorang Mike Tyson ketika menumbangkan Julius Francis di akhir ronde pertama.
“Dengan hormat, Bersama surat ini, kami memberhentikan bapak Geger Setiawan untuk bertugas pada sekolah lama dan mengangkat kembali bertugas di SMPN 1 Mendik Berdikari.” Begitulah kutipan dari surat yang diterimanya hari itu. Itu artinya ia harus mutasi lagi untuk yang ketiga kalinya.
Mutasi kerja kali ini, Geger ditempatkan didaerah pelosok terdalam dan jauh dari keramaian kota. Lokasi sekolah tempat tugas barunya berada dikaki gunung Rambutan. Sebuah desa yang jaraknya jauh beratus-ratus kilometer dari ibu kota kabupaten.
Geger merupakan seorang guru pegawai negeri sipil golongan IIId. Masa kerjanya sudah 15 tahun 6 bulan. Secara kepangkatan dan lamanya mengabdi tentulah tergolong cukup senior.
Geger sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan di tingkat kabupaten bahkan sampai tingkat propinsi. Ia pernah dinobatkan menjadi guru berprestasi tingkat kabupaten dan propinsi. Penghargaan bergengsi itu diberikan langsung oleh bupati dan gubernur.
Bulan ini, Geger juga menunggu hasil pengumuman lomba karya tulis ditingkat nasional. Guru berprestasi itu mencoba kembali keberuntungannya di tingkat nasional. Info yang beredar dari panitia lomba, untuk pemenang akan diberikan piagam penghargaan dan uang pembinaan puluhan juta secara langsung oleh menteri pendidikan. Selain itu juga pemenang akan diundang ke Jakarta untuk berjumpa dan mendapatkan waktu khusus, untuk berdialog dengan bapak presiden di istana negara.
Bertemu dengan presiden adalah impian Geger. Ia bercita-cita suatu hari nanti bisa bercengkrama dan ngobrol bareng dengan presiden. Tentu banyak hal yang ingin disampaikan berkaitan pendidikan di negeri ini. Dimulai dari carut marut penyelewengan bantuan operasional sekolah, Banyaknya guru honor yang belum terangkat menjadi PNS walau puluhan tahun telah mengabdi, dan pastinya tema yang berkaitan dengan bergentayangannya mafia di dunia pendidikan.
Keberuntungan Geger yang selalu menjadi jawara di ajang lomba tidak selaras dengan penghargaan yang diterima dilingkungan tempat tugasnya. Geger menjadi guru yang acap kali dimutasi karena dianggap sebagai seorang pembangkang dan tidak bisa bekerja sama dengan atasan.
Geger diberi label sebagai guru preman. Guru yang berani menyuarakan kritik tajam kepada atasanya, jika atasnya melenceng dalam menerapkan aturan hukum. Ia akan berdiri didepan menyuarakan kebenaran. Geger adalah sosok yang sangat idealis dan berintegritas tinggi. Mungkin alasan itu, para penguasa tidak menyukain sepak terjang pribadinya.
Disekolah terdahulu, Kepala sekolahnya tersandung kasus. Kepala sekolah tersebut menjalani pemeriksaan penyidikan karena terindikasi korupsi milyaran rupiah. Kepala sekolah itu diduga menyelewengkan bantuan operasional sekolah. Padahal Geger pernah mengingatkan atasanya itu. Bukanya sadar malah ia harus disingkirkan dari sekolah itu.
Geger tahu betul bagaimana rasanya dimutasi. Dampaknya tentu dirasakan dalam rumah tangga. Mulai harus memindahkan anak sekolah baru, menyewa rumah untuk tempat tinggal dan mengatur keuangan belanja keluarga yang memang tidak cukup dari gaji seorang PNS dengan penghasilan harus terpotong hutang pinjaman di Bank setiap bulannya. Tapi Geger tidak pernah jera dengan keputusan sikapnya.
Sampai detik ini Geger tidak habis pikir, mengapa kepala dinas lebih mendengarkan kepala sekolah dari pada seorang guru. Walaupun guru tersebut meneriakan kebenaran.
Dengan predikat sebagai guru berprestasi, ternyata tidak berpengaruh sedikitpun bagi Geger dalam menegakan kebenaran. Tetap saja dimata kepala sekolah ia dipandang bawahan dan kepala dinas pun tidak memihaknya. Apakah ini karena kekuatan uang? Terlintas pertanyaan ini di benak Geger.
*****
Bagaimana tidak sakit hati, setiap tindak tanduk yang dilakukan Geger selalu saja salah dimata atasannya. Ia acap kali diperlakukan tidak adil. Penilaian negatif selalu disandarkan pada dirinya tanpa melihat secara objektif.
Selama ini Geger bersikap diam dan mengalah, bukan karena tidak bisa marah. Geger juga seorang manusia yang memiliki perasaan dan harga diri. Ia bersikap sabar lantaran masih menjaga kehormatan sebagai guru.
Menjadi guru itu ibarat seperti manusia setengah dewa. Guru adalah sosok pribadi panutan yang seharusnya bisa digugu dan ditiru. Apapun tindak tanduk seorang guru pastinya menjadi sorotan penilaian anak didik dan masyarakat dilingkungan. Profesi seorang guru mencerminkan kepribadian dan ketauladanan yang baik.
*****
Hari itu Perasaan Geger benar-benar terluka. Seperti disambar petir disiang bolong setelah membaca surat beramplop putih itu. Ia harus menerima kenyataan mutasi kerja lagi. Ini perintah mutasi yang ketiga kalinya dalam tiga tahun terakhir.
Ironisnya, tempat kerja barunya lebih jauh dari sebelumnya. Ia harus mengajar di daerah pelosok jauh dari keramainan kota. Akses transportasi dan komunikasi sangat terbatas disana. Mutasi ini pasti imbas dari ributku dengan kepala sekolah dua bulan lalu. Gumam geger.
Dua bulan lalu, memang Geger pernah adu mulut dengan atasanya. Lantaran kepala sekolah melakukan kebijakan memotong tunjangan guru-guru honorer. Bagaikan pahlawan kesiangan, ia maju dibarisan depan membela para juniornya. Adu argument pun terjadi. Berselang waktu setelah itu. Tak ayal surat mutasi kerja keluar dan barusan diterimanya. Kini Geger harus merasakan imbas terlalu berani melawan atasan.
Hari itu kesabaran Geger musnah. Ia berlari melangkahkan kakinya menuju gudang sekolah. Sesampainya disana semua perkakas dibongkarnya, sepertinya ia mencari sesuatu tapi entah apa yang di carinya. Didapatnya sebilah pisau dapur yang berada di atas meja. Diraih pisau itu dan bergegas ia meninggalkan tempat itu.
Dengan membawa sebilah pisau dapur, ia berlari menuju ruang kepala sekolah. Hari itu Geger seperti orang kerasukan setan. Entah setan apa yang merasukinya. Kesadaranya kosong, pancaran matanya penuh dengan dendam. Sikapnya beringas seperti kesetanan. Ia tidak peduli dengan apa yang terjadi nanti. Pikiranya kalap, dirinya tidak terkontrol lagi.
Ditendangnya pintu ruang kepala sekolah. Pintu menganga lebar. Segera ia merangsak masuk. Tanpa pikir panjang ia langsung berdiri dihadapan atasan yang membuatnya mutasi.
******
Pada hari itu Istri Geger, Sulastri. Mendapat surat resmi beramplop coklat besar dari petugas kantor pos. Surat itu diantarkan kealamat rumahnya.
“Ibu, Apakah benar ini alamat rumah pak Geger?” petugas pos itu bertanya kepada Sulastri sambil menunjukan surat beramplop besar berwarna cokelat itu.
“Benar pak, beliau suami saya dan alamatnya pun benar.” Jawab sulastri sambil membaca alamat pengirim dan penerima surat.
Petugas pos segera menyerahkan surat itu dan langsung berpamitan meninggalkannya.
Sulastri membuka surat resmi itu. Pengirim surat tertera jelas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bergegas ia membuka surat itu. Ternyata isi surat adalah pengumuman hasil lomba karya ilmiah guru berprestasi tingkat nasional. Suaminya menjadi juara pertama pada ajang bergengsi itu. Begitu senang hati Sulastri. Aku harus segera menyampaikan ini kepada mas Geger di sekolah. Ungkap Sulastri dalam hati.
Bergegas Sulastri ke sekolah tempat suaminya bertugas. Dipacu sepeda motor matic biru tua miliknya. Ia berharap suaminya akan senang mendengar berita dari surat yang baru diterimanya. Alhamdullilah, Impian suamiku bertemu presiden akan segera terwujud, gumamnya dalam hati.
Tidak membutuhkan waktu lama, Sulastri sampai di sekolah. Tapia ada yang aneh, Pemandangan disekolah tidak seperti biasa. Ada begitu banyak polisi bersenjata lengkap bersiaga di depan ruang kepala sekolah. Sulastri pun penasaran dibuatnya. Melangkah kakinya menuju keruangan itu. Alangkah terkejutnya ketika menemukan suaminya berdiri dengan membawa sebilah pisau dapur bersimbah darah segar yang menetes pada sela jari-jari tanganya. Terlihat tubuh kepala sekolah terkapar dilantai dengan tusukan luka yang tidak dapat terhitung jumlahnya. Seketika tangan Sulastri bergetar melihat pemandangan tragis itu. Amplop coklat yang dipegangnya terjatuh kelantai dan teriak histeris keluar dari mulutnya.
“aahhhhhhhh…!”
Tubuh Sulastri pun lunglai, seakan limbung kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh tak sadarkan diri. Geger hanya diam terpanah melihat tubuh istrinya menghantam lantai keramik. Polisi terus mengarahkan moncong senjata kearahnya menunggu perintah eksekusi, melepaskan timah panas kearah tubuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H