Mohon tunggu...
MUHAMMAD SAHLANI
MUHAMMAD SAHLANI Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Seorang akademisi dan peneliti. Tertarik kepada politik dan isu pemerintahan yang kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Petahana Vs Penantang di Pilkada 2024

17 September 2024   11:30 Diperbarui: 17 September 2024   11:35 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada Serentak 2024 perdana seluruh Indonesia akan digelar di 38 Provinsi (Pilgub hanya di 37 Provinsi minus DI Yogjakarta) dan 514 kabupaten/kota (Pilbup/pilwako hanya di 508 kabupaten/kota minus 6 kab/kota di Jakarta) pada 27 November 2024.

Dalam pilkada atau pemilu selalu ada petahana (incumbent) dan penantang (lawan). Pilkada adalah ajangnya kompetisi para kandidat, dalam kompetisi pasti ada kalah dan menang. Tapi pasti semua kandidat ingin mendapatkan kemenangan. Pilkada juga sebagai “Medan Perang” karena para kompetitor menyiapkan strategi “perang” masing-masing untuk turun ke lapangan (masyarakat) dalam menarik hati pemilih.

Untuk menghadapi dan memenangi Pilkada 2024, para aktor politik mulai berstrategi. Mulai dari pemilihan calon yang diusung dan pembangunan koalisi. Strategi ini juga diiringi dengan analisis atas tren sosial-politik yang berlangsung di masyarakat, terutama preferensi politik yang ada. Selain itu, muncul pula kecenderungan peningkatan jumlah calon tunggal yang akan melawan kotak kosong yang mencerminkan pragmatisme partai politik.

Implikasi putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024 pada 20 Agustus 2024 memberikan angin segar bagi demokrasi. Hal ini juga mengikis kecenderungan peningkatan jumlah calon tunggal di Pilkada.

Dengan adanya putusan ini memberikan ruang bagi kandidat untuk bertarung melawan petahana ataupun bukan petahana.

Dalam berkompetisi antara petahana dan penantang ada persamaan dan perbedaan. Persamaan terletak sama-sama sebagai kandidat yang akan berkompetisi. Perbedaan mendasar petahana vs penantang terlihat dari tagline kampanye. Jika petahana menggunakan tagline “keberlanjutan atau lanjutkan program”. Berbeda dengan penantang yang menawarkan “perubahan dan program baru”.     

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana memiliki peluang kemenangan lebih besar dibandingkan penantangnya. Pemilihan kepala daerah yang diikuti petahana cenderung memberikan insentif elektoral kepada mereka. Tak heran, partai politik cenderung menempatkan petahana sebagai kandidat prioritas.

Jika melihat data pilkada sebelumnya. Pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2020 kemenangan calon petahana (incumbent) mencapai angka 60%.

Petahana tentunya memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh penantang atau kandidat lain. Ada 3 (tiga) bentuk kekuasaan sebagai faktor kemenangan petahana, yakni: Pertama, bentuk kekuasaan yang terlihat (visible power) ialah kesempatan untuk menarik simpati masyarakat melalui jualan program pembangunan yang telah dilaksanakan sebagai investasi politik. Kedua, bentuk kekuasaan yang tersembunyi (hidden power) ialah politisasi birokrasi melalui mobilisasi aparatur sipil negara, monopoli dukungan partai politik, dan kooptasi terhadap penyelenggara pemilu. Ketiga, bentuk kekuasaan yang tidak terlihat (invisible power), melalui peranan pemuka agama dan pemangku adat untuk menanamkan nilai-nilai dan ideologi merupakan modalitas politik petahana sebagai konsekuensi dari stratifikasi sosial-masyarakat.

Meski calon petahana biasanya lebih mudah dalam memenangkan pilkada, namun kadangkala justru dirinya sendiri yang dapat menjadi musuh terbesarnya. Kelemahan calon petahana yang sering tidak pernah disadari adalah terlalu memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi.

Dengan adanya fakta yang telah diuraikan sebelumnya, lantas apakah membuat peluang menang bagi kandidat penantang menjadi tertutup? Jawabannya tentu saja TIDAK. Peluang menang bagi kandidat penantang masih terbuka sepanjang mereka bisa memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada dan mempunyai strategi pemenangan yang jitu.

Rumus generik di pilkada ada 3 (tiga) syarat calon untuk dipilih: Pertama, calon harus diikenal yakni seorang calon harus sosialisasi lebih awal dan turun ke masyarakat. Calon tidak bisa berpangku tangan atau duduk manis di rumah. Kedua, calon harus disukai dalam arti bahwa calon harus mampu meyakinkan masyarakat dengan program-program kerja yang baru dan antitesa dari petahana . Ketiga. Calon dipilih dalam arti bahwa pengenalan dan kesukaan calon sudah terasosiasi di masyarakat.

Dalam pilkada, alasan calon disukai dan dipilih biasanya karena faktor primordial, kepribadian, kemampuan dan faktor X. Faktor x ini biasanya bekerja tidak dalam rasional di pilkada yang jurdil, misalkan perbuatan money politic dan black atau negatif campaign.

Petahana yang sudah lama berkuasa bahkan lebih sulit dikalahkan daripada petahana yang baru saja terpilih. Setidaknya ada 3 (tiga) insentif politik elektoral yang perlu dilakukan bagi penantang.

Pertama. Start lebih awal. Pentingnya bagi penantang memulai lebih awal tidak dapat dilebih-lebihkan. Banyak kandidat pemula berpikir ada semacam pembukaan resmi musim kampanye. Seperti latihan musim semi bisbol. Itu adalah kesalahan. Petahana mulai mencalonkan diri untuk pemilihan berikutnya pada hari mereka terpilih. Mereka memiliki cara untuk menghasilkan publisitas gratis hanya dengan menjalankan tugas normal kantor mereka. Penantang ingin keluar di depan itu sebelum petahana dapat mengembangkan momentum. Petahana akan menginginkan pemilihan tentang isu-isu mereka. Itu akan menjadi isu-isu yang akan membuat petahana merasa paling nyaman untuk mengatasinya.

Kedua. Menetapkan agenda politik. Penantang harus mencoba untuk menentukan agenda. Penantang harus mencoba untuk memaksa petahana untuk berbicara tentang isu-isu yang menjadi kelemahan petahana. Penantang harus mampu membedakan dan menunjukkan mengapa mereka harus dipilih. 

Mengalahkan petahana dapat dilakukan dengan kerja keras dan memiliki rencana. Para pemilih harus ditunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara para kandidat pada isu-isu yang ditetapkan oleh penantang. Penantang harus memberi tahu para pemilih mengapa mereka mencalonkan diri dan mengapa mereka adalah kandidat yang lebih baik.

Ketiga. Menentukan Wilayah Prioritas. Wilayah yang sangat luas harus menjadi perhatian panantang. Waktu penantang untuk sosialisasi biasanya sangatlah terbatas, beda dibandingkan petahana. Ditambah waktu kampanye yang sekarang hanya sekitar 2 (dua) bulan. Mengingat tidak semua wilayah bisa dikunjungi oleh penantang. Penantang harus menentukan wilayah prioritas sebagai basis elektoral. Pentingnya menentukan wilayah basis agar penantang lebih fokus dengan target pemilih. 

Dalam pilkada atau pemilu berlaku reward and punishment. Jika petahana dianggap berhasil maka akan mendapatkan reward. Begitupula sebaliknya jika dianggap gagal maka akan mendapatkan punishment. Reward yang diberikan masyarakat terhadap evaluasi kinerja patahana yang dianggap berhasil adalah tingginya tingkat kepuasan masyarakat di survei, presentasinya jika petahana dianggap berhasil angka psikologisnya yakni diatas 70% dan jika dianggap belum berhasil biasanya dibawah angka 70%. Jika angka tingkat kepuasan terhadap petahana dibawah 70% faktor kemenangan petahana menjadi kecil dan kemenangan bagi penantang terbuka lebar.

Politik itu dinamis. Dalam politik juga semua kemungkinan bisa terjadi. Turbulensi politik pilkada diberbagai daerah akan terus meningkat menjelang pemilihan 27 November 2024 mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun