Pilkada Serentak 2024 perdana seluruh Indonesia akan digelar di 38 Provinsi (Pilgub hanya di 37 Provinsi minus DI Yogjakarta) dan 514 kabupaten/kota (Pilbup/pilwako hanya di 508 kabupaten/kota minus 6 kab/kota di Jakarta) pada 27 November 2024.
Dalam pilkada atau pemilu selalu ada petahana (incumbent) dan penantang (lawan). Pilkada adalah ajangnya kompetisi para kandidat, dalam kompetisi pasti ada kalah dan menang. Tapi pasti semua kandidat ingin mendapatkan kemenangan. Pilkada juga sebagai “Medan Perang” karena para kompetitor menyiapkan strategi “perang” masing-masing untuk turun ke lapangan (masyarakat) dalam menarik hati pemilih.
Untuk menghadapi dan memenangi Pilkada 2024, para aktor politik mulai berstrategi. Mulai dari pemilihan calon yang diusung dan pembangunan koalisi. Strategi ini juga diiringi dengan analisis atas tren sosial-politik yang berlangsung di masyarakat, terutama preferensi politik yang ada. Selain itu, muncul pula kecenderungan peningkatan jumlah calon tunggal yang akan melawan kotak kosong yang mencerminkan pragmatisme partai politik.
Implikasi putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024 pada 20 Agustus 2024 memberikan angin segar bagi demokrasi. Hal ini juga mengikis kecenderungan peningkatan jumlah calon tunggal di Pilkada.
Dengan adanya putusan ini memberikan ruang bagi kandidat untuk bertarung melawan petahana ataupun bukan petahana.
Dalam berkompetisi antara petahana dan penantang ada persamaan dan perbedaan. Persamaan terletak sama-sama sebagai kandidat yang akan berkompetisi. Perbedaan mendasar petahana vs penantang terlihat dari tagline kampanye. Jika petahana menggunakan tagline “keberlanjutan atau lanjutkan program”. Berbeda dengan penantang yang menawarkan “perubahan dan program baru”.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana memiliki peluang kemenangan lebih besar dibandingkan penantangnya. Pemilihan kepala daerah yang diikuti petahana cenderung memberikan insentif elektoral kepada mereka. Tak heran, partai politik cenderung menempatkan petahana sebagai kandidat prioritas.
Jika melihat data pilkada sebelumnya. Pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2020 kemenangan calon petahana (incumbent) mencapai angka 60%.
Petahana tentunya memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh penantang atau kandidat lain. Ada 3 (tiga) bentuk kekuasaan sebagai faktor kemenangan petahana, yakni: Pertama, bentuk kekuasaan yang terlihat (visible power) ialah kesempatan untuk menarik simpati masyarakat melalui jualan program pembangunan yang telah dilaksanakan sebagai investasi politik. Kedua, bentuk kekuasaan yang tersembunyi (hidden power) ialah politisasi birokrasi melalui mobilisasi aparatur sipil negara, monopoli dukungan partai politik, dan kooptasi terhadap penyelenggara pemilu. Ketiga, bentuk kekuasaan yang tidak terlihat (invisible power), melalui peranan pemuka agama dan pemangku adat untuk menanamkan nilai-nilai dan ideologi merupakan modalitas politik petahana sebagai konsekuensi dari stratifikasi sosial-masyarakat.
Meski calon petahana biasanya lebih mudah dalam memenangkan pilkada, namun kadangkala justru dirinya sendiri yang dapat menjadi musuh terbesarnya. Kelemahan calon petahana yang sering tidak pernah disadari adalah terlalu memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi.
Dengan adanya fakta yang telah diuraikan sebelumnya, lantas apakah membuat peluang menang bagi kandidat penantang menjadi tertutup? Jawabannya tentu saja TIDAK. Peluang menang bagi kandidat penantang masih terbuka sepanjang mereka bisa memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada dan mempunyai strategi pemenangan yang jitu.