Emisi dan energi adalah dua kata yang erat kaitannya. Bila berbicara tentang emisi maka bahasanya tak jauh dari penggunaan energi untuk menunjang berbagai kegiatan manusia. Kita semua tahu bahwa pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi yang tidak eco friendly. Efeknya bagi kehidupan di bumi pun tak main-main. Mulai dari polusi, hujan asam, hingga fenomena global warming yang bisa sampai menyebabkan perubahan iklim.
Melihat fenomena-fenomena dampak ikutan pemanasan global yang semakin sering terjadi, para pemimpin dunia dalam forum perserikatan bangsa-bangsa pun tak tinggal diam. Lewat pembicaraan yang intens, maka terselenggaralah Konferensi Paris pada 2015 yang menelurkan beberapa kesepakatan penting. Yang menjadi highlight adalah negara-negara di dunia sepakat untuk mewujudkan Net Zero Emissions.
Lantas apa itu Net Zero Emissions? Mengutip dari laman forestdigest, Istilah Net Zero Emissions tak melulu mengacu pada penghentian produksi emisi oleh umat manusia. Karena secara alami aktivitas manusia pasti akan menghasilkan emisi. Istilah Net Zero Emissions lebih tepat digambarkan sebagai karbon negatif. Yang mana emisi yang dihasilkan umat manusia dapat diserap kembali sehingga tidak sampai terlepas ke atmosfer.
Indonesia sendiri sebagai pihak yang ikut menandatangani perjanjian Paris sejak 2016 telah meratifikasi kesepakatan tersebut. Ditegaskan oleh Menteri ESDM bahwa Indonesia menetapkan target tahun 2060 untuk mencapai Net Zero Emissions. Yang menjadi fokus pemerintah antara lain peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, serta pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).
Sebenarnya ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendukung gerakan Net Zero Emissions. Satu langkah mudah yang sering kita lakukan sehari-hari misalnya dengan mengurangi penggunaan kantong plastik dan perabotan dari plastik sekali pakai. Ada apa dengan plastik? Sampah plastik merupakan sampah yang sulit terurai.Â
Butuh waktu bertahun-tahun agar plastik dapat terdekomposisi. Akibatnya sampah plastik yang menggunung akan mencemari tanah .Dan jikalau sampai ke TPA Sampah dan dihancurkan dengan mesin pembakaran sampah maka akan ada emisi yang ditimbulkan dari pembakaran.Â
Bukan hanya karbon yang dilepaskan ke atmosfer tapi juga ada komponen beracun dari plastik yang ikut terbawa. Selain itu, plastik merupakan produk olahan dari minyak/gas bumi hasil industri petrokimia.Â
Dengan kita mengurangi penggunaannya maka pengolahan bahan baku plastik di industri hulu dapat ditekan sehingga mengurangi potensi pelepasan emisi karbon. Produk dengan standar biodegradable dapat menjadi pilihan untuk digunakan sebagai alternatif dari kantong plastik.
Langkah selanjutnya yang patut dicoba adalah memanfaatkan ruang tak terpakai yang tersedia untuk ditanami tanaman. Seperti yang kita ketahui bahwa tanaman adalah organisme penyerap karbon yang efektif secara alami. Walaupun kadang kita dihadapkan dengan keterbatasan lahan, namun beberapa pot tanaman bisa membuat perubahan.Â
Tanaman yang tidak membutuhkan lahan luas seperti tanaman hias, toga, dan sayuran dapat menjadi pilihan. Penanaman tanaman merupakan alternatif murah dari pada sistem carbon capture technology yang mahal dan kompleks. Semua dapat ikut berperan menanam tanaman dengan beberapa langkah mudah.
Beralih ke gaya hidup masyarakat urban. Masyarakat sekarang khususnya di daerah perkotaan sangat mobile dalam berpergian. Langkah berikutnya dalam upaya pengurangan emisi adalah penggunaan transportasi massal ramah lingkungan dan penggunaan kendaraan listrik.Â
Kita ambil contoh di Jakarta dengan jumlah penduduk 11 juta jiwa yang beraktivitas setiap hari maka potensi pelepasan karbon dari pembakaran bahan bakar kendaraan sangat tinggi. Hal ini belum memasukkan orang dari daerah penyangga di sekitarnya.Â
Emisi karbon dioksida di Jakarta saja pada tahun 2017 tercatat mencapai 206 juta ton per tahun. Jika semua orang sudah memiliki pemahaman dan menggunakan transportasi massal yang ramah lingkungan, maka emisi karbon dapat ditekan drastis. Opsi transportasi seperti Transjakarta dan KRL Commuter merupakan moda yang ramah lingkungan karena menggunakan gas dan listrik sebagai penggerak.
Kemudian terkait EV (Electric Vehicle), sebetulnya pemerintah telah menggelontorkan insentif untuk melipatgandakan kepemilikan electric vehicle di Indonesia.Â
Hanya saja untuk sekarang, harga jual EV setelah insentif masih tergolong tinggi. Tersedia opsi sepeda listrik dengan harga murah namun after sales service dan ekosistem EV yang belum optimal di Indonesia kadang membuat bimbang konsumen.Â
Tapi langkah konkret yang bisa diambil adalah menyiapkan investasi EV ini dari sekarang. Penulis optimistis di masa depan baik insentif dan infrastruktur pendukung EV akan hadir lebih luas dan terjangkau.Â
Sehingga jika sudah ada persiapan finansial dari sekarang maka di kemudian hari di saat EV sudah terjangkau maka kita tidak kesulitan untuk membeli. Yang pada akhirnya hal ini dapat mendukung gerakan net zero emission.
Gaya hidup dengan implementasi low carbon footprint juga bisa dilakukan di rumah. Kegiatan dan aktivitas kita di rumah sering kali menggunakan energi listrik yang besar. Mulai dari pengisian daya gawai, pendingin ruangan, kulkas, pompa, lampu dll kadang masih membutuhkan daya yang tinggi.Â
Terlebih pada perangkat keluaran lama dengan teknologi yang usang. Gerakan ini memang membutuhkan kekompakan semua pengguna listrik untuk bisa terlihat hasilnya, namun langkah kecil menjadi berarti untuk menginspirasi orang lain. Kita bisa gunakan perangkat listrik rendah daya dan mengelola dengan baik penggunaannya. Misalnya untuk hari yang tidak terlalu panas kita bisa optimalkan ventilasi luar ruangan.Â
Atau menggunakan AC yang sudah menggunakan teknologi inverter dan mematikan perangkat yang sudah tidak digunakan. Hal ini krusial karena sekarang masih banyak pembangkit listrik tenaga uap yang membutuhkan batu bara untuk pembakaran. Mengurangi beban puncak listrik menjadi penting untuk menekan pelepasan emisi.
Semua langkah di atas membutuhkan sinergi dan kerjasama semua pihak untuk mewujudkannya. Pemerintah selaku regulator harus menelurkan kebijakan yang pas sedangkan masyarakat harus mendukung kebijakan tersebut agar cita-cita kita mengurangi dampak pemanasan global dapat tercapai. Langkah kecil kita memiliki arti besar bagi kelangsungan hidup manusia. Kalau bukan kita yang memulai siapa lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI