Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komparasi Penerapan Kebijakan Pemerintah Negara Indonesia dan Filipina terhadap Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen serta Variabel Determinannya

17 Desember 2024   16:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   16:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1. Indonesia

A. Sistem Pemilihan

Sistem pemilihan di Indonesia menggunakan pendekatan demokrasi langsung, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih wakil dan pemimpin mereka secara langsung melalui pemilu. Pemilu di Indonesia melibatkan pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan pemilihan eksekutif (presiden, wakil presiden, serta kepala daerah). Sistem pemilihan legislatif menggunakan sistem perwakilan proporsional terbuka, di mana pemilih memilih langsung calon anggota legislatif dari partai politik yang diinginkan. Kursi dialokasikan berdasarkan perolehan suara partai dengan menggunakan metode kuota atau metode divisor seperti Sainte-Lagu. Sementara itu, pemilu eksekutif seperti pemilihan presiden menggunakan sistem mayoritas sederhana, di mana pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memperoleh lebih dari 50% suara nasional, dengan setidaknya 20% suara di lebih dari setengah provinsi di Indonesia.

Pemilihan kepala daerah (pilkada), seperti gubernur, bupati, dan wali kota, juga dilakukan secara langsung dengan sistem mayoritas sederhana. Pemilu di Indonesia diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas menyelenggarakan pemilu secara jujur, adil, dan transparan. Setiap warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun atau sudah menikah memiliki hak pilih, sedangkan calon legislatif dan eksekutif harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai undang-undang. Tantangan dalam sistem ini mencakup keterwakilan perempuan, faktor nomor urut, isu logistik pemilu di wilayah terpencil, praktik politik uang, serta rendahnya partisipasi pemilih di beberapa daerah. Meski begitu, sistem ini terus diperbaiki untuk memastikan proses pemilu yang demokratis dan representatif.

 

B. Pola Pencalonan

Pola pencalonan dalam pemilu di Indonesia diatur berdasarkan jenis jabatan yang diperebutkan, baik legislatif maupun eksekutif. Untuk pencalonan legislatif, partai politik memiliki peran utama sebagai pengusung. Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota legislatif untuk DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kuota yang ditetapkan di setiap daerah pemilihan (dapil). Calon anggota legislatif dari DPR dan DPRD harus berasal dari partai politik, sementara calon anggota DPD bersifat perseorangan tanpa afiliasi partai, namun tetap harus memenuhi syarat dukungan minimum berupa tanda tangan atau KTP dari masyarakat di daerah pemilihannya.

Pencalonan dalam pemilu eksekutif, seperti presiden dan kepala daerah, juga memiliki pola khusus. Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang batas pencalonan (presidential threshold), yaitu memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dari pemilu legislatif sebelumnya. Untuk kepala daerah, calon diusung oleh partai politik atau dapat maju melalui jalur independen dengan memenuhi syarat dukungan masyarakat berupa sejumlah tanda tangan atau KTP yang divalidasi oleh KPU. Proses pencalonan ini bertujuan memastikan para kandidat memiliki legitimasi dan dukungan yang cukup, baik dari partai maupun masyarakat, sebelum maju dalam kontestasi pemilu.

 

C. Parliamentary Threshold

Parliamentary threshold untuk Pemilu 2024 di Indonesia tetap diatur sebesar 4% dari total suara sah nasional. Ketentuan ini berlaku bagi partai politik peserta pemilu yang ingin mendapatkan kursi di DPR RI. Namun, aturan ini tidak mempengaruhi perolehan kursi di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota, di mana semua partai politik tetap dapat bersaing tanpa memandang ambang batas suara

Keberadaan parliamentary threshold bertujuan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan meningkatkan kualitas kerja parlemen. Hal ini juga dianggap mendukung stabilitas pemerintahan dengan mengurangi fragmentasi di DPR. Selain itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 telah menyatakan aturan ini konstitusional, meski menekankan perlunya evaluasi untuk pemilu-pemilu berikutnya guna menyeimbangkan sistem pemilu proporsional dengan prinsip representasi suara rakyat.

D. Kebijakan terkait Gender dan Keterwakilan Perempuan

Di Indonesia, kebijakan gender telah berkembang secara signifikan, terutama dalam konteks representasi perempuan di parlemen. Salah satu kebijakan utama yang diimplementasikan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan adalah kuota 30% bagi perempuan dalam pencalonan legislatif. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam politik, meskipun penerapannya masih menemui hambatan, seperti budaya patriarki, diskriminasi dalam proses pencalonan, dan kurangnya dukungan terhadap perempuan dalam jaringan politik yang lebih luas. Meskipun kuota ini telah meningkatkan jumlah calon perempuan, kontribusi mereka dalam posisi yang benar-benar berpengaruh, seperti nomor urut teratas dalam daftar calon, masih terbatas.

Sejak pemberlakuan kuota, keterwakilan perempuan dalam pemilu menunjukkan tren positif. Pada Pemilu 2009, sekitar 31,8% calon legislatif adalah perempuan, dan pada Pemilu 2019, jumlah ini meningkat menjadi 40%. Ini menunjukkan bahwa kebijakan kuota memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan partisipasi politik perempuan. Namun, meskipun ada peningkatan jumlah perempuan yang mencalonkan diri, tantangan besar tetap ada dalam memastikan perempuan mendapatkan akses yang setara ke posisi kekuasaan. Masalah budaya dan struktural dalam partai politik yang menghambat pencalonan perempuan di posisi strategis masih terus menjadi hambatan utama. Menurut laporan UN Women (2020), kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan, tetapi juga untuk memastikan bahwa perempuan dapat mendorong kebijakan yang lebih responsif terhadap isu-isu gender. Dengan meningkatnya jumlah perempuan di parlemen, diharapkan ada dorongan yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, yang seringkali terabaikan dalam kebijakan yang diputuskan oleh mayoritas laki-laki.

Namun, untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, penting untuk mengikutsertakan mekanisme yang memperkuat kemampuan dan peran perempuan di politik, seperti penguatan posisi mereka dalam struktur partai politik dan sistem pencalonan. Tantangan ini tetap relevan meskipun ada kemajuan dalam keterwakilan, mengingat masih ada ketidaksetaraan dalam pengaruh perempuan di ruang politik yang lebih luas. Di beberapa daerah, misalnya, perempuan sering kali terjebak dalam posisi simbolis yang tidak memiliki kekuatan nyata untuk mempengaruhi keputusan politik yang signifikan. Hal ini menciptakan kesenjangan yang jelas antara jumlah perempuan yang terpilih dan kemampuan mereka untuk membuat perubahan kebijakan yang konkret. Meskipun begitu, kebijakan kuota telah menunjukkan keberhasilan dalam membuka jalan bagi perempuan yang sebelumnya tidak memiliki akses ke dunia politik, dengan memberikan mereka kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam proses legislasi.

Selain itu, kesadaran tentang pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen semakin meningkat, dengan banyak organisasi masyarakat sipil yang terus mendorong reformasi lebih lanjut dalam hal representasi politik perempuan. Keberadaan perempuan dalam posisi legislatif dan eksekutif diharapkan tidak hanya dapat memperjuangkan kepentingan perempuan, tetapi juga untuk mendorong terciptanya kebijakan yang lebih inklusif, yang memperhatikan kebutuhan semua kelompok masyarakat, terutama yang terpinggirkan. Upaya lebih lanjut untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik perlu diiringi dengan pengembangan kapasitas mereka dalam bidang kepemimpinan dan pengambilan keputusan, yang merupakan langkah penting dalam mewujudkan kesetaraan gender yang sejati di Indonesia.

Dalam jangka panjang, untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati di dunia politik, diperlukan usaha kolaboratif antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat luas. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang mendukung perempuan dapat diimplementasikan dengan efektif, sementara partai politik harus lebih membuka ruang bagi perempuan untuk mengambil posisi yang lebih strategis dan berpengaruh dalam struktur internal mereka. Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat terus memperbaiki representasi politik perempuan, dan pada akhirnya, membangun sistem politik yang lebih adil dan setara.

2. Filipina

A. Sistem Pemilihan 

Sistem pemilihan di Filipina menggunakan mekanisme pemilu langsung yang melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk pemilu nasional untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota Kongres, dan pemilu lokal untuk memilih kepala daerah. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung setiap enam tahun tanpa pemilu ulang atau putaran kedua; kandidat dengan suara terbanyak (pluralitas) dinyatakan terpilih, sehingga memungkinkan seorang Presiden memimpin dengan mandat minoritas. Sistem ini memungkinkan pemisahan antara Presiden dan Wakil Presiden yang sering berasal dari partai politik berbeda, menciptakan potensi konflik dalam kebijakan pemerintahan.

 

B. Pola Pencalonan

Pola pencalonan di Filipina cenderung bersifat kandidat-sentris dengan sedikit fokus pada ideologi partai. Partai politik sering kali digunakan sebagai kendaraan untuk mendukung individu yang dianggap populer atau berpeluang besar menang, bukan sebagai organisasi yang mempromosikan platform kebijakan tertentu. Kandidat presiden, misalnya, sering berasal dari keluarga politik yang berpengaruh atau memiliki nama besar, seperti anggota dinasti politik atau selebritas terkenal. Hal ini menciptakan dinamika politik berbasis kepribadian daripada isu kebijakan substantif

Selain itu, sistem pemilu memungkinkan setiap kandidat untuk mencalonkan diri secara independen atau melalui partai politik yang kerap berfungsi sebagai aliansi sementara tanpa ikatan ideologi yang kuat. Kandidat-kandidat ini biasanya mengandalkan patronase dan dukungan finansial dari aktor-aktor lokal yang memiliki kepentingan politik atau ekonomi.

C. Parliamentary Threshold

Di Filipina, ambang batas untuk sistem partai mengharuskan sebuah partai memperoleh setidaknya 2% dari total suara yang diberikan dalam pemilihan partai untuk memenuhi syarat mendapatkan satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Jika partai memperoleh lebih dari 2%, mereka dapat berhak atas kursi tambahan, namun ada batas maksimal tiga kursi per organisasi partai, terlepas dari jumlah suara yang diperoleh. Sistem ini dirancang untuk memastikan representasi proporsional, terutama bagi sektor-sektor yang terpinggirkan dan kurang terwakili

Namun, ada juga ketentuan untuk alokasi putaran kedua, di mana kelompok partai yang lebih kecil yang mungkin tidak memenuhi ambang batas 2% masih dapat mendapatkan kursi jika jumlah kursi yang dialokasikan untuk sektor partai belum terpenuhi. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa representasi 20% untuk perwakilan partai di Dewan dapat terpenuhi. Metode ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan partai besar dan kecil, meskipun menghadapi kritik karena memungkinkan partai politik tradisional untuk memanfaatkan sistem ini

D. Kebijakan terkait Gender dan Keterwakilan Perempuan

Di Filipina, kesetaraan gender telah dipromosikan melalui berbagai langkah legislatif, terutama melalui Magna Carta of Women (Undang-Undang Republik No. 9710), yang disahkan pada tahun 2009. Undang-undang ini merupakan tonggak penting dalam perjuangan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan memastikan partisipasi penuh mereka dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik. Magna Carta of Women bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dengan memberikan perlakuan setara bagi perempuan dalam segala hal, termasuk akses terhadap peluang yang sebelumnya terbatas, seperti pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan.

Sebagai bagian dari implementasinya, Magna Carta of Women mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengurangi dan mengatasi ketidaksetaraan gender yang ada. Salah satu aspek terpenting dari undang-undang ini adalah fokus pada pemberian perlindungan dan layanan bagi perempuan, terutama yang menghadapi kekerasan berbasis gender. Beberapa ketentuan yang tercantum dalam undang-undang ini antara lain adalah penyediaan tempat perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender, serta layanan rehabilitasi bagi mereka yang mengalami trauma psikologis akibat kekerasan. Selain itu, undang-undang ini memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama dalam hal pendidikan dan pekerjaan, yang juga termasuk peluang karier yang setara dengan laki-laki.

Magna Carta of Women mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar dalam bidang-bidang yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki, seperti olahraga, militer, dan penegakan hukum. Undang-undang ini memastikan bahwa perempuan mendapatkan perlakuan yang setara dalam hal upah, kesempatan karier, dan keselamatan di tempat kerja. Hal ini sangat penting untuk mendorong perubahan sosial dan budaya yang mendukung pemberdayaan perempuan di berbagai sektor kehidupan, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam sektor ekonomi dan sosial.

Lebih lanjut, negara Filipina juga fokus pada penyediaan layanan pendukung bagi perempuan dalam pendidikan. Misalnya, terdapat program konseling yang ditujukan bagi pelajar perempuan yang hamil, serta perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban diskriminasi dalam lingkungan pendidikan. Hal ini mencerminkan keseriusan pemerintah Filipina dalam menjamin bahwa perempuan tidak hanya memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, tetapi juga mendapat dukungan penuh untuk berkembang di sektor ini.

Undang-undang ini juga memberikan manfaat cuti khusus bagi perempuan, seperti cuti untuk menjalani operasi terkait gangguan ginekologi, serta hak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, termasuk layanan kesehatan maternal dan reproduktif. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan perempuan dapat merasakan manfaat langsung dalam hal kesejahteraan fisik dan mental, serta memiliki kesempatan untuk mengambil peran lebih aktif dalam masyarakat tanpa terbebani oleh masalah kesehatan.

Kebijakan-kebijakan yang tercantum dalam Magna Carta of Women dirancang untuk mengatasi ketidaksetaraan yang bersifat historis dan sistemik yang dihadapi oleh perempuan di Filipina. Tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan berkontribusi secara setara dalam pembangunan nasional, serta memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dilindungi. Dengan demikian, Filipina berharap dapat menciptakan sebuah masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka.

3. Analisis Kebijakan Kedua Negara

Sebagai negara yang sama-sama menganut bentuk pemerintahan Republik dengan sistem demokrasi, Indonesia dan Filipina melangsungkan sistem pemilihan dengan mekanisme demokrasi langsung yang melibatkan rakyat secara langsung untuk memilih pemimpin dan wakil negaranya melalui pemilu. Pemilu di Indonesia diadakan setiap lima tahun sekali dengan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan melalui partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang batas pencalonan (presidential threshold) dan pemilu di Filipina diadakan setiap enam tahun sekali tanpa adanya pemilu ulang atau putaran kedua dengan kandidat terpilih yang berdasarkan pada pluralitas atau suara terbanyak. Ada pula ambang batas parlemen untuk pemilu Indonesia diatur sebesar 4% dari total suara sah nasional dan di Filipina juga mengharuskan sebuah partai setidaknya memperoleh 2% dari total suara untuk memenuhi syarat mendapatkan satu kursi di dewan.

Dalam kebijakan ambang batas, Indonesia dan Filipina juga menerapkan kuota keterwakilan perempuan yang memungkinkan partai politik mencalonkan perempuan sebagai bagian dari strategi representasi. Sebagai negara yang sama-sama memiliki sejarah kepemimpinan presiden perempuan, Indonesia dan Filipina berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Di Indonesia, kebijakan kuota 30% perempuan di legislatif yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Adanya kebijakan tersebut merupakan langkah signifikan menuju peningkatan keterwakilan perempuan di politik.

Di Filipina, kebijakan Magna Carta of Women tahun 2009 bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan memberikan kesempatan yang setara di berbagai sektor, termasuk politik. Filipina memang telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, dengan persentase perempuan yang mendekati 30% di legislatif pada tahun 2022 (Oxford Academic, 2022).

Dalam kerangka teori institusional, sistem politik memainkan peran penting dalam menentukan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Indonesia dan Filipina merupakan dua negara di Asia Tenggara yang telah mengadopsi kebijakan formal, seperti kuota gender, untuk mendorong partisipasi perempuan dalam legislatif. Kebijakan ini menegaskan komitmen negara terhadap inklusi gender, namun implementasi di kedua negara menunjukkan hasil yang beragam. Kebijakan ini selaras dengan teori affirmative action, yang mengedepankan upaya proaktif pemerintah untuk menyediakan ruang dan kesempatan bagi kelompok yang termarjinalkan, dalam hal ini perempuan. Penting untuk tidak hanya berfokus pada angka keterwakilan, tetapi juga pada bagaimana perempuan dapat memiliki pengaruh nyata dalam pengambilan keputusan politik dan pembuatan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.

Indonesia telah menerapkan kebijakan kuota gender sejak 2003, mewajibkan partai politik mencalonkan setidaknya 30% perempuan dalam daftar calon legislatif. Kebijakan ini memberikan peluang besar bagi perempuan untuk memasuki ranah politik, yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Pemilu 2019 berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan menjadi 20,9% di DPR, meningkat dari 17,3% pada Pemilu 2014. Namun, angka ini masih jauh dari target ideal, dan kualitas keterwakilan tetap menjadi tantangan utama.

Budaya patriarki yang mengakar kuat menjadi salah satu hambatan terbesar bagi perempuan untuk berperan secara signifikan dalam parlemen. Meskipun berada di posisi legislatif, perempuan sering kali tidak memiliki otonomi penuh dalam pengambilan keputusan karena struktur politik yang masih dikuasai oleh laki-laki. Misalnya, perempuan sering kali ditempatkan pada posisi simbolis tanpa akses ke ruang diskusi kebijakan strategis. Laporan World Economic Forum (2022) menyoroti bahwa di Indonesia, meskipun perempuan telah hadir secara kuantitatif dalam parlemen, mereka belum mampu mempengaruhi kebijakan secara substansial, terutama dalam isu-isu yang mendukung kesetaraan gender, seperti perlindungan perempuan dari kekerasan, akses terhadap pendidikan, dan layanan kesehatan.

Tantangan lainnya adalah resistensi internal dalam partai politik, di mana perempuan sering menghadapi kendala dari rekan-rekan laki-laki untuk mendapatkan dukungan politik atau mencalonkan diri di daerah pemilihan yang kompetitif. Prediksi Pemilu 2024 yang menunjukkan keterwakilan perempuan hanya mencapai 22,1% mengindikasikan bahwa tanpa perubahan mendalam dalam struktur politik dan budaya, angka keterwakilan sulit mencapai potensi maksimalnya.

Di Filipina, sistem kuota gender telah berhasil meningkatkan jumlah perempuan dalam parlemen. Namun, efektivitas kebijakan ini terganggu oleh dominasi dinasti politik yang menjadi karakteristik utama sistem politik negara tersebut. Dinasti politik menciptakan penghalang struktural yang signifikan bagi perempuan di luar keluarga elite untuk memasuki parlemen. Banyak perempuan yang berhasil masuk ke lembaga legislatif berasal dari keluarga politik yang sudah mapan, sehingga keterwakilan perempuan sering kali hanya mencerminkan reproduksi kekuasaan daripada diversifikasi politik.

Menurut laporan UN Women (2020), perempuan di Filipina yang tidak memiliki afiliasi dengan dinasti politik sering kali terpinggirkan, meskipun memenuhi persyaratan undang-undang kuota gender. Hal ini menunjukkan bahwa keterwakilan formal tidak cukup untuk mengatasi hambatan informal yang mengakar dalam sistem politik. Di sisi lain, perempuan yang berasal dari dinasti politik cenderung memiliki sumber daya dan dukungan politik yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk mendominasi ruang legislatif. Namun, dominasi ini sering kali tidak mencerminkan keberagaman atau inklusi gender yang sebenarnya, melainkan penguatan status quo.

Selain itu, kendala lainnya adalah kurangnya partisipasi perempuan dalam proses legislasi yang substansial. Perempuan sering kali terbatas pada isu-isu tertentu yang dianggap "feminin" seperti kesehatan atau pendidikan, sementara pengambilan keputusan dalam isu ekonomi dan keamanan nasional tetap didominasi laki-laki. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun keterwakilan perempuan meningkat secara kuantitatif, perubahan struktural yang lebih mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki pengaruh yang setara dalam semua aspek pengambilan keputusan politik.

Implementasi kuota gender di Indonesia dan Filipina telah memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif. Namun, keberhasilan kebijakan ini masih terhambat oleh struktur politik yang patriarkal di Indonesia dan dominasi dinasti politik di Filipina. Angka keterwakilan perempuan yang meningkat tidak otomatis berarti perempuan memiliki pengaruh substansial dalam politik.

Untuk mencapai perubahan yang lebih berarti, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dalam berbagai aspek. Reformasi partai politik menjadi langkah penting dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme seleksi calon legislatif, sehingga perempuan tidak hanya menjadi pemenuhan kuota tetapi juga memiliki peluang untuk menduduki posisi strategis. Selain itu, peningkatan kapasitas perempuan melalui program pelatihan politik dan kepemimpinan harus diperluas agar mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai untuk mempengaruhi kebijakan secara signifikan. Perubahan budaya juga perlu didorong melalui kampanye kesadaran masyarakat untuk mengurangi stereotip gender dan meningkatkan penerimaan terhadap perempuan dalam politik. Di sisi lain, peninjauan ulang sistem pemilu sangat diperlukan, khususnya untuk mengurangi ketergantungan pada dinasti politik di Filipina dan menciptakan mekanisme yang lebih inklusif bagi perempuan di luar jaringan kekuasaan yang mapan. Dengan langkah-langkah ini, perempuan diharapkan dapat memainkan peran yang lebih substansial dalam politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan tidak hanya angka keterwakilan perempuan yang meningkat, tetapi juga dampak nyata mereka dalam menciptakan kebijakan yang inklusif dan progresif. Indonesia dan Filipina dapat menjadi contoh penting bagi negara-negara lain di Asia Tenggara dalam mewujudkan kesetaraan gender di ranah politik

REFERENSI

Asian Development Bank. (2019). Gender equality and the sustainable development goals in  the Philippines. Asian Development Bank. https://www.adb.org/publications/gender-     equality-sustainable-development-goals-philippines

Inter-Parliamentary Union. (2022). Women in National Parliaments. Retrieved from              https://www.ipu.org

Oxford Academic. (2022). Women's political representation in Southeast Asia:                        An analysis of trends and challenges. Public Administration, 76(3), 532--545.  Retrieved from https://academic.oup.com

Pitkin, H. F. (1967). The concept of representation. University of California Press.

Republic Act No. 9710. (2009). Magna Carta of Women. Official Gazette of the Republic of the Philippines. https://www.officialgazette.gov.ph/2009/08/14/republic-act-no-9710/

Rusta, A. (2013). Affirmative action: Hukum dan kebijakan yang memberikan kompensasi dan keistimewaan kepada kelompok tertentu untuk mencapai keadilan dan kesetaraan. Dalam Jurnal Perempuan, No. 63, hlm. 12. Yayasan Jurnal Perempuan.  https://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/lexcerta/article/download/1588/1095

Tias, R. N., Nisrina, A. D., Destriputra, N., Al Putra, F. A., & Prakoso, S. G. (2023). Tantangan Kebijakan Affirmative Action Sebagai Upaya Penguatan Keterwakilan Perempuan di Legislatif. Politica: Jurnal Ilmu Politik, 14(2), 169-182. https://dprexternal3.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/4151

UN Women. (2020). Philippines: Gender equality and women’s empowerment. United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. https://www.unwomen.org/en/news/in-focus/25-years-of-the-beijing-declaration/philippines

World Economic Forum. (2022). Global Gender Gap Report 2022. Retrieved from https://www.weforum.org/reports

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun