Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komparasi Penerapan Kebijakan Pemerintah Negara Indonesia dan Filipina terhadap Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen serta Variabel Determinannya

17 Desember 2024   16:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   16:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-undang ini juga memberikan manfaat cuti khusus bagi perempuan, seperti cuti untuk menjalani operasi terkait gangguan ginekologi, serta hak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, termasuk layanan kesehatan maternal dan reproduktif. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan perempuan dapat merasakan manfaat langsung dalam hal kesejahteraan fisik dan mental, serta memiliki kesempatan untuk mengambil peran lebih aktif dalam masyarakat tanpa terbebani oleh masalah kesehatan.

Kebijakan-kebijakan yang tercantum dalam Magna Carta of Women dirancang untuk mengatasi ketidaksetaraan yang bersifat historis dan sistemik yang dihadapi oleh perempuan di Filipina. Tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan berkontribusi secara setara dalam pembangunan nasional, serta memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dilindungi. Dengan demikian, Filipina berharap dapat menciptakan sebuah masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka.

3. Analisis Kebijakan Kedua Negara

Sebagai negara yang sama-sama menganut bentuk pemerintahan Republik dengan sistem demokrasi, Indonesia dan Filipina melangsungkan sistem pemilihan dengan mekanisme demokrasi langsung yang melibatkan rakyat secara langsung untuk memilih pemimpin dan wakil negaranya melalui pemilu. Pemilu di Indonesia diadakan setiap lima tahun sekali dengan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan melalui partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang batas pencalonan (presidential threshold) dan pemilu di Filipina diadakan setiap enam tahun sekali tanpa adanya pemilu ulang atau putaran kedua dengan kandidat terpilih yang berdasarkan pada pluralitas atau suara terbanyak. Ada pula ambang batas parlemen untuk pemilu Indonesia diatur sebesar 4% dari total suara sah nasional dan di Filipina juga mengharuskan sebuah partai setidaknya memperoleh 2% dari total suara untuk memenuhi syarat mendapatkan satu kursi di dewan.

Dalam kebijakan ambang batas, Indonesia dan Filipina juga menerapkan kuota keterwakilan perempuan yang memungkinkan partai politik mencalonkan perempuan sebagai bagian dari strategi representasi. Sebagai negara yang sama-sama memiliki sejarah kepemimpinan presiden perempuan, Indonesia dan Filipina berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Di Indonesia, kebijakan kuota 30% perempuan di legislatif yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Adanya kebijakan tersebut merupakan langkah signifikan menuju peningkatan keterwakilan perempuan di politik.

Di Filipina, kebijakan Magna Carta of Women tahun 2009 bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan memberikan kesempatan yang setara di berbagai sektor, termasuk politik. Filipina memang telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, dengan persentase perempuan yang mendekati 30% di legislatif pada tahun 2022 (Oxford Academic, 2022).

Dalam kerangka teori institusional, sistem politik memainkan peran penting dalam menentukan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Indonesia dan Filipina merupakan dua negara di Asia Tenggara yang telah mengadopsi kebijakan formal, seperti kuota gender, untuk mendorong partisipasi perempuan dalam legislatif. Kebijakan ini menegaskan komitmen negara terhadap inklusi gender, namun implementasi di kedua negara menunjukkan hasil yang beragam. Kebijakan ini selaras dengan teori affirmative action, yang mengedepankan upaya proaktif pemerintah untuk menyediakan ruang dan kesempatan bagi kelompok yang termarjinalkan, dalam hal ini perempuan. Penting untuk tidak hanya berfokus pada angka keterwakilan, tetapi juga pada bagaimana perempuan dapat memiliki pengaruh nyata dalam pengambilan keputusan politik dan pembuatan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.

Indonesia telah menerapkan kebijakan kuota gender sejak 2003, mewajibkan partai politik mencalonkan setidaknya 30% perempuan dalam daftar calon legislatif. Kebijakan ini memberikan peluang besar bagi perempuan untuk memasuki ranah politik, yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Pemilu 2019 berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan menjadi 20,9% di DPR, meningkat dari 17,3% pada Pemilu 2014. Namun, angka ini masih jauh dari target ideal, dan kualitas keterwakilan tetap menjadi tantangan utama.

Budaya patriarki yang mengakar kuat menjadi salah satu hambatan terbesar bagi perempuan untuk berperan secara signifikan dalam parlemen. Meskipun berada di posisi legislatif, perempuan sering kali tidak memiliki otonomi penuh dalam pengambilan keputusan karena struktur politik yang masih dikuasai oleh laki-laki. Misalnya, perempuan sering kali ditempatkan pada posisi simbolis tanpa akses ke ruang diskusi kebijakan strategis. Laporan World Economic Forum (2022) menyoroti bahwa di Indonesia, meskipun perempuan telah hadir secara kuantitatif dalam parlemen, mereka belum mampu mempengaruhi kebijakan secara substansial, terutama dalam isu-isu yang mendukung kesetaraan gender, seperti perlindungan perempuan dari kekerasan, akses terhadap pendidikan, dan layanan kesehatan.

Tantangan lainnya adalah resistensi internal dalam partai politik, di mana perempuan sering menghadapi kendala dari rekan-rekan laki-laki untuk mendapatkan dukungan politik atau mencalonkan diri di daerah pemilihan yang kompetitif. Prediksi Pemilu 2024 yang menunjukkan keterwakilan perempuan hanya mencapai 22,1% mengindikasikan bahwa tanpa perubahan mendalam dalam struktur politik dan budaya, angka keterwakilan sulit mencapai potensi maksimalnya.

Di Filipina, sistem kuota gender telah berhasil meningkatkan jumlah perempuan dalam parlemen. Namun, efektivitas kebijakan ini terganggu oleh dominasi dinasti politik yang menjadi karakteristik utama sistem politik negara tersebut. Dinasti politik menciptakan penghalang struktural yang signifikan bagi perempuan di luar keluarga elite untuk memasuki parlemen. Banyak perempuan yang berhasil masuk ke lembaga legislatif berasal dari keluarga politik yang sudah mapan, sehingga keterwakilan perempuan sering kali hanya mencerminkan reproduksi kekuasaan daripada diversifikasi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun