Menurut laporan UN Women (2020), perempuan di Filipina yang tidak memiliki afiliasi dengan dinasti politik sering kali terpinggirkan, meskipun memenuhi persyaratan undang-undang kuota gender. Hal ini menunjukkan bahwa keterwakilan formal tidak cukup untuk mengatasi hambatan informal yang mengakar dalam sistem politik. Di sisi lain, perempuan yang berasal dari dinasti politik cenderung memiliki sumber daya dan dukungan politik yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk mendominasi ruang legislatif. Namun, dominasi ini sering kali tidak mencerminkan keberagaman atau inklusi gender yang sebenarnya, melainkan penguatan status quo.
Selain itu, kendala lainnya adalah kurangnya partisipasi perempuan dalam proses legislasi yang substansial. Perempuan sering kali terbatas pada isu-isu tertentu yang dianggap "feminin" seperti kesehatan atau pendidikan, sementara pengambilan keputusan dalam isu ekonomi dan keamanan nasional tetap didominasi laki-laki. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun keterwakilan perempuan meningkat secara kuantitatif, perubahan struktural yang lebih mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki pengaruh yang setara dalam semua aspek pengambilan keputusan politik.
Implementasi kuota gender di Indonesia dan Filipina telah memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif. Namun, keberhasilan kebijakan ini masih terhambat oleh struktur politik yang patriarkal di Indonesia dan dominasi dinasti politik di Filipina. Angka keterwakilan perempuan yang meningkat tidak otomatis berarti perempuan memiliki pengaruh substansial dalam politik.
Untuk mencapai perubahan yang lebih berarti, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dalam berbagai aspek. Reformasi partai politik menjadi langkah penting dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme seleksi calon legislatif, sehingga perempuan tidak hanya menjadi pemenuhan kuota tetapi juga memiliki peluang untuk menduduki posisi strategis. Selain itu, peningkatan kapasitas perempuan melalui program pelatihan politik dan kepemimpinan harus diperluas agar mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai untuk mempengaruhi kebijakan secara signifikan. Perubahan budaya juga perlu didorong melalui kampanye kesadaran masyarakat untuk mengurangi stereotip gender dan meningkatkan penerimaan terhadap perempuan dalam politik. Di sisi lain, peninjauan ulang sistem pemilu sangat diperlukan, khususnya untuk mengurangi ketergantungan pada dinasti politik di Filipina dan menciptakan mekanisme yang lebih inklusif bagi perempuan di luar jaringan kekuasaan yang mapan. Dengan langkah-langkah ini, perempuan diharapkan dapat memainkan peran yang lebih substansial dalam politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan tidak hanya angka keterwakilan perempuan yang meningkat, tetapi juga dampak nyata mereka dalam menciptakan kebijakan yang inklusif dan progresif. Indonesia dan Filipina dapat menjadi contoh penting bagi negara-negara lain di Asia Tenggara dalam mewujudkan kesetaraan gender di ranah politik
REFERENSI
Asian Development Bank. (2019). Gender equality and the sustainable development goals in  the Philippines. Asian Development Bank. https://www.adb.org/publications/gender-   equality-sustainable-development-goals-philippines
Inter-Parliamentary Union. (2022). Women in National Parliaments. Retrieved from        https://www.ipu.org
Oxford Academic. (2022). Women's political representation in Southeast Asia: Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â An analysis of trends and challenges. Public Administration, 76(3), 532--545. Â Retrieved from https://academic.oup.com
Pitkin, H. F. (1967). The concept of representation. University of California Press.
Republic Act No. 9710. (2009). Magna Carta of Women. Official Gazette of the Republic of the Philippines. https://www.officialgazette.gov.ph/2009/08/14/republic-act-no-9710/