Mohon tunggu...
Muhammad Sevaja Ansas
Muhammad Sevaja Ansas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

facta sunt potentiora verbis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komparasi Penerapan Kebijakan Pemerintah Negara Indonesia dan Filipina terhadap Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen serta Variabel Determinannya

17 Desember 2024   16:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   16:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keberadaan parliamentary threshold bertujuan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan meningkatkan kualitas kerja parlemen. Hal ini juga dianggap mendukung stabilitas pemerintahan dengan mengurangi fragmentasi di DPR. Selain itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 telah menyatakan aturan ini konstitusional, meski menekankan perlunya evaluasi untuk pemilu-pemilu berikutnya guna menyeimbangkan sistem pemilu proporsional dengan prinsip representasi suara rakyat.

D. Kebijakan terkait Gender dan Keterwakilan Perempuan

Di Indonesia, kebijakan gender telah berkembang secara signifikan, terutama dalam konteks representasi perempuan di parlemen. Salah satu kebijakan utama yang diimplementasikan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan adalah kuota 30% bagi perempuan dalam pencalonan legislatif. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam politik, meskipun penerapannya masih menemui hambatan, seperti budaya patriarki, diskriminasi dalam proses pencalonan, dan kurangnya dukungan terhadap perempuan dalam jaringan politik yang lebih luas. Meskipun kuota ini telah meningkatkan jumlah calon perempuan, kontribusi mereka dalam posisi yang benar-benar berpengaruh, seperti nomor urut teratas dalam daftar calon, masih terbatas.

Sejak pemberlakuan kuota, keterwakilan perempuan dalam pemilu menunjukkan tren positif. Pada Pemilu 2009, sekitar 31,8% calon legislatif adalah perempuan, dan pada Pemilu 2019, jumlah ini meningkat menjadi 40%. Ini menunjukkan bahwa kebijakan kuota memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan partisipasi politik perempuan. Namun, meskipun ada peningkatan jumlah perempuan yang mencalonkan diri, tantangan besar tetap ada dalam memastikan perempuan mendapatkan akses yang setara ke posisi kekuasaan. Masalah budaya dan struktural dalam partai politik yang menghambat pencalonan perempuan di posisi strategis masih terus menjadi hambatan utama. Menurut laporan UN Women (2020), kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan, tetapi juga untuk memastikan bahwa perempuan dapat mendorong kebijakan yang lebih responsif terhadap isu-isu gender. Dengan meningkatnya jumlah perempuan di parlemen, diharapkan ada dorongan yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, yang seringkali terabaikan dalam kebijakan yang diputuskan oleh mayoritas laki-laki.

Namun, untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, penting untuk mengikutsertakan mekanisme yang memperkuat kemampuan dan peran perempuan di politik, seperti penguatan posisi mereka dalam struktur partai politik dan sistem pencalonan. Tantangan ini tetap relevan meskipun ada kemajuan dalam keterwakilan, mengingat masih ada ketidaksetaraan dalam pengaruh perempuan di ruang politik yang lebih luas. Di beberapa daerah, misalnya, perempuan sering kali terjebak dalam posisi simbolis yang tidak memiliki kekuatan nyata untuk mempengaruhi keputusan politik yang signifikan. Hal ini menciptakan kesenjangan yang jelas antara jumlah perempuan yang terpilih dan kemampuan mereka untuk membuat perubahan kebijakan yang konkret. Meskipun begitu, kebijakan kuota telah menunjukkan keberhasilan dalam membuka jalan bagi perempuan yang sebelumnya tidak memiliki akses ke dunia politik, dengan memberikan mereka kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam proses legislasi.

Selain itu, kesadaran tentang pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen semakin meningkat, dengan banyak organisasi masyarakat sipil yang terus mendorong reformasi lebih lanjut dalam hal representasi politik perempuan. Keberadaan perempuan dalam posisi legislatif dan eksekutif diharapkan tidak hanya dapat memperjuangkan kepentingan perempuan, tetapi juga untuk mendorong terciptanya kebijakan yang lebih inklusif, yang memperhatikan kebutuhan semua kelompok masyarakat, terutama yang terpinggirkan. Upaya lebih lanjut untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik perlu diiringi dengan pengembangan kapasitas mereka dalam bidang kepemimpinan dan pengambilan keputusan, yang merupakan langkah penting dalam mewujudkan kesetaraan gender yang sejati di Indonesia.

Dalam jangka panjang, untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati di dunia politik, diperlukan usaha kolaboratif antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat luas. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang mendukung perempuan dapat diimplementasikan dengan efektif, sementara partai politik harus lebih membuka ruang bagi perempuan untuk mengambil posisi yang lebih strategis dan berpengaruh dalam struktur internal mereka. Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat terus memperbaiki representasi politik perempuan, dan pada akhirnya, membangun sistem politik yang lebih adil dan setara.

2. Filipina

A. Sistem Pemilihan 

Sistem pemilihan di Filipina menggunakan mekanisme pemilu langsung yang melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk pemilu nasional untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota Kongres, dan pemilu lokal untuk memilih kepala daerah. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung setiap enam tahun tanpa pemilu ulang atau putaran kedua; kandidat dengan suara terbanyak (pluralitas) dinyatakan terpilih, sehingga memungkinkan seorang Presiden memimpin dengan mandat minoritas. Sistem ini memungkinkan pemisahan antara Presiden dan Wakil Presiden yang sering berasal dari partai politik berbeda, menciptakan potensi konflik dalam kebijakan pemerintahan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun