Sungai mengalirkan air yang banyak, sebelum menemukan muara, diserap tanah-tanah tikai, sawah-sawah petani tua yang anak-anaknya lebih mencintai besi tua di Jakarta.
Sungai pecah seribu, jadi irigasi, lewat samping pondok-pondok kecil yang berubah jadi mercusuar penghalau burung-burung di sawah yang padinya kuning. Air ditabung di sumur-sumur, sebelum dibagi-bagi ke tiap dapur.
Ia pada akhirnya sudah menghidupi orang-orang desa, meskipun gabah selalu murah. Tapi kesedihan dan terbelakang sudah jadi budaya.
Engkau adalah cair, dan kata sifat yang lain.
Umpama sungai, air mata yang banyak,
dihisap lengan baju kiri dan kanan tanpa selesai.
Lengan yang kuat dan hati yang lemah.
Lelaki yang seperti manusia.
Engkau telah jadi kata-kata sifat yang mengalahkan indah,
menghampiri sempurna.
Jadi syair-syair peracau burung gagak, dan burung lain pembawa sial.
Oleh pemuda-pemuda bahkan duda-duda.
Kau, pada akhirnya telah menghidupi imajinasi orang-orang, meski sebentar. Sebelum hilang, dan kita sebagai lelaki harus memulai lagi hitungan, tentang siapa yang kini tersisa, dari semua yang sudah mengulang hilang.
Galis, 2-11-2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H