Di Sungai Batanghari inilah, bukti sejarah bahwa Dharmasraya merupakan Jalur Rempah Peradaban Dunia dan juga sebagai pusat Kerajaan Melayu Kuno yang bernama Dharmasraya.
Muhammad Samin - Dharmasraya
"Saya akan membawa Festival Pamalayu dan Sungai Batanghari ke UNESCO, agar dicatat sebagai warisan dunia. Dengan begitu, dunia ikut bertanggung jawab dalam pemberdayaan Batanghari dan juga pelestarian budaya yang berkembang di kabupaten bekas kerajaan Malayu Kuno, Sutan Riska Tuanku Kerajaan Bupati Kabupaten Dharmasraya,"
*****
Dari rangkaian cerita sejarah yang ada, Kabupaten Dharmasraya setiap tahunnya, menjadikan ekspedisi pamalayu di Sungai Batanghari menjadi agenda tahunan untuk mengingatkan kembali pada generasi berikutnya bahwa di Kabupaten Dharmasraya ekspedisi Pamalayu di Sungai Batanghari merupakan jalur rempah untuk peradaban dunia.
Tak hanya sebagai jalur rempah untuk peradaban dunia, ekspedisi pamalayu di Sungai Batanghari juga sebagai pengingat bahwa peradaban masa lalu, dengan banyaknya catatan peninggalan sejarah dan nilai-nilai persatuan dan persahabatan antar dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Melayu Dharmasraya dan Kerajaan Singosari.
Oleh karena itu, Â Pemerintah Kabupaten Dharmasraya meminta dukungan dari pemerintah pusat agar Sungai Batanghari diakui dunia melalui UNESCO sebagai pusat jalur rempah Sumatera yang keberadaannya harus dilindungi sebagai sebuah budaya kemaritiman dunia.Â
Tak hanya itu, rangkaian perjalanan ekspedisi pamalayu dalam festival pamalayu  juga didaftarkan ke badan PBB sebagai warisan kepurbakalaan masa silam dari Kerajaan Malayu Kuno yang sangat kesohor dan berjaya di abad ke 8-12 Masehi.
Bercerita tentang sejarah ekspedisi pamalayu di Sungai Batanghari sebagai jalur rempah peradaban dunia, Raja Siguntur Sutan Hendri, memulai dengan mengatakan di Padang Roco Roco inilah, Bhairawa berdiri gagah sambil memandang Sungai Batanghari.
Arca Bhairawa merupakan perwujudan dari sosok Raja Adityawarman. Untuk melihat seperti apa sosok Bhairawa, anda bisa mengunjungi museum nasional Indonesia, jika melihat satu-satunya patung batu raksasa itulah Bhairawa.
Kata Raja Siguntur, Sutan Hendri yang juga mantan Kepala Dinas Pariwisata Dharmasraya, Bhairawa ditemukan pada tahun 1935 di pinggir Sungai Batanghari di tengah persawahan kompleks Percandian Padang Roco menghadap ke arah timur dan dibawah nya mengalir Sungai Batanghari. Arca raksasa ini berasal dari abad XIV.
"Di sinilah tempat Bhairawa berdiri gagah memandang ke arah Sungai, kalau dulu siapapun yang lewat pasti melihat Bhairawa. Kita juga sudah pernah mengusulkan agar Arca Bhairawa ini diduplikat kemudian kita bawa ke Dharmasraya sebagai salah ikon dari wisata Dharmasraya, " jelasnya.
Dalam catatan sejarah, seperti pemaparan yang disampaikan oleh Raja Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya, Abdul Haris Tuanku Sati, ekspedisi Pamalayu terkait dengan misi Maharaja Kertanegara dari Kerajaan Singasari pada abad ke-13 Masehi.
Ada banyak versi yang muncul terkait persoalan ekspedisi Pamalayu ini, apakah Kertanegara mengirim pasukan besar dari Jawa ke bagian barat Nusantara atau Bumi Melayu alias Sumatera, merupakan penaklukan, pertahanan, atau justru tawaran persahabatan?
Dalam festival Pamalayu, yang telah diadakan dan sudah disepakati akan masuk agenda tahunan Kabupaten Dharmasraya, TK Sati mengatakan bahwa ekspedisi Pamalayu bukanlah misi penaklukan akan tetapi ekpedisi Pamalayu merupakan misi persahabatan atau kekerabatan dari Kerajaan Singasari kepada saudara-saudara serumpun mereka di Bumi Melayu.
"Prasasti Padang Roco yang ditemukan pada 1911 di hulu sungai Batanghari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, salah satu bukti bahwa misi ekspedisi Pamalayu membawa misi damai bukan peperangan yang selama ini muncul kalau ekspedisi Pamalayu merupakan misi Jawa merebut Sumatera. Makanya kita luruskan sejarah ini melalui festival Pamalayu, "bebernya.
Dari beberapa sumber yang penulis baca, dimana prasasti Padang Roco yang berangka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi menjadi alas dari Arca Amoghapa yang pada 4 sisinya terdapat manuskrip.
Di prasasti ini dipahatkan 4 baris tulisan dengan aksara Jawa Kuno dan memakai dua bahasa, yakni bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
Berdasarkan penelitian dari manuskrip yang tergurat di prasasti tersebut, Arca Amoghapasa dimaksudkan sebagai hadiah atau persembahan persahabatan dari Raja Kertanegara kepada penguasa Dharmasraya, Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa
Dharmasraya Jalur Rempah DuniaÂ
Masih dalam cerita yang disampaikan oleh Raja Pulau Punjung, Tuanku Sati, yang memiliki banyak refrensi mengenai persoalan Dharmasraya, dan juga sebagai salah satu tokoh pemekaran Kabupaten Dharmasraya, untuk persoalan Dharmasraya sebagai jalur rempah dunia itu tidak hanya sekedar dongeng.
Ranah cati nan Tigo (Dharmasraya) merupakan pusat perdagangan rempah rempah melalui jalur Sungai Batang hari, mulai dari Solok Selatan sampai ke Muaro Sabak Jambi dan bahkan sampai ke malaysia perdagangan rempah rempah melalui jalur sungai hanya menggunakan perahu dayung dan ini dilakukan setelah Pamalayu..
Setelah Pamalayu barulah berdiri sebuah kerajaan di Dharmasraya yaitu Cati nan tigo seperti yang ditulis diatas, yang mana hasil rempah rempah yang ada di Ranah Cati Nan Tigo.
Untuk membuktikan bahwa Dharmasraya sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia, kata Rajo Pulau Punjung, nenek moyang kita dulu, yang menjabat sebagai Raja Pulau Punjung, yang saat ini, saya sebagai generasi berikutnya yang mendapatkan gelar Raja Pulau Punjung.Â
Dalam cerita turun temurun yang saya ketahui, Raja Pulau Punjung dikala itu wakil Pagaruyung dalam mengawasi kawasan timur Minangkabau yang disebut sebagai "camin taruih" untuk mengutip hasil rempah rempah yang ada di Timur Minangkabau tepatnya di Dharmasraya.
"Jadi Raja Pulau Punjung yang memiliki wewenang untuk mewakili Raja Pagaruyung, mengutip hasil rempah di wilayah Timur, Minangkabau, " bebernya.
Dirinya, Tuanku Sati, berasal dari  Kacapuri, berhak dan berkuasa penuh atas nama rajo Pagaruyung, untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi dikawasan Timur Minangkabau dan pengutipan hasil Rempah yang ada di Cati nan tigo. Bukan itu saja, Tuanku Sati juga punya kuasa dalam penyelesaian persoalan yang timbul dengan
Jambi, setelah ada suatu persetujuan antara Minangkabau dengan Jambi di zaman dulu, yang diperoleh dalam perundingan di Pulai, Sitiung.
Kemudian, kata Tuanku Sati, pada tahun 65 mulailah ada perahu bermesin yaitu perahu tempel, dan perahu tersebut untuk mempermudah proses penjualan rempah rempah pada saat itu..
Hingga saat ini perahu tempel menjadi alat transportasi di Sungai Batanghari guna mengangkut hasil bumi rempah rempah seperti Jahe, kulit manis, dan berbagai jenis hasil kebun lainya.Â
Kenapa Dharmasraya menjadi incaran yang tak hanya dari Kerajaan Majapahit saja, dikarenakan Dharmasraya terletak di daerah strategis yang merupakan tempat bertemunya perdagangan asing di Selat Malaka yang ingin mencari rempah-rempah, lada yang saat itu merupakan komoditi sangat laris untuk diperdagangkan.
Tak hanya rempah-rempah, lada yang menjadi komoditi dalam perdagangan itu. Ada juga lilin lebah, gading, tanduk burung enggang, kayu garu, damar kayu tusam dan tanduk badak juga menjadi komoditi yang sangat laris di pasar.
Tak hanya Raja Pulau Punjung, Tuanku Sati, yang bercerita bahwa Dharmasraya sebagai pusat jalur rempah perdaban dunia, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, ST M Taufik SE MM Â juga mengatakan hal yang sama, bahwa Batanghari aliran sungai yang mulai dari hulu sampai ke muaranya banyak menyimpan catatan sejarah, terutama yang berkaitan dengan peradaban Melayu.
Selain itu, Sungai Batanghari menjadi akses utama, dalam perdagangan rempah-rempah dikala itu, mulai dari hulu Solok Selatan, hingga sampai ke hilir Muarasabak, Provinsi Jambi hingga ke Malaysia.
"Kita akan mengembalikan kejayaan Sungai Batanghari sebagai jalur rempah peradaban dunia, saat ini, kita tengah mengajukan ke UNESCO, agar Sungai Batanghari yang terbentang sepanjang 800 KM menjadi warisan dunia dan sebagai pusat jalur rempah Sumatra yang keberadaanya dilindungi sebagai sebuah budaya kemaritiman dunia,"tegasnya.
Dijelaskan oleh ST Taufik, selain sebagai jalur rempah peradaban dunia, dulu Sungai Batanghari juga dijadikan sebagai jalur perjuangan PDRI.
"Jalur Sungai Batanghari juga punya peran yang besar dalam sejarah perjuangan PDRI pada tahun 1948, Sungai Dareh menjadi tempat perhentian ketua PDRI, Â Mr Syafrudin Prawira Negara dan rombongan,"jelasnya.
Kata St Taufik, para pejuang PDRI pada saat itu memanfaatkan jalur Sungai Batanghari untuk membawa bekal para pejuang menuju Solok Selatan dalam rangka menyusun strategi kedepan.
"Sungai dikala itu menjadi jalur alternatif para terdahulu mulai dari zaman melayu kuno hingga sekarang dan tentu masa kejayaan Sungai Batanghari ini akan kita kembalikan,"tandasnya. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H