Mohon tunggu...
M. Saiful Kalam
M. Saiful Kalam Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Ekonomi

Calon pengamat dan analis handal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kelemahan Sistem PPDB-UMPT di Indonesia

5 April 2022   16:51 Diperbarui: 5 April 2022   17:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PPDB (penerimaan peserta didik baru) dan UMPT (ujian masuk perguruan tinggi) adalah gerbang masuk seorang siswa bila ingin melanjutkan ke sebuah jenjang pendidikan lanjutan.

Jalur zonasi, afirmasi, prestasi, perpindahan tugas orang tua, dan jalur regular adalah beberapa jenis tes yang bisa diikuti murid untuk mengikuti PPDB.

Untuk UMPT, sudah disinggung sedikit pada artikel sebelumnya, yaitu SNMPTN,SBMPTN, dan Mandiri. Kalau SNM itu pakai nilai rapor dan rekomendasi sekolah saja (akreditasi sekolah minimal A, raport rata-rata 80).

Kalau SBM berbayar (ke kampus masing-masing) dan ada UTBK (ujian tes berbasis computer). Kalau mandiri berbayar juga, akan tetapi dengan tes yang lebih khusus disediakan dari kampus yang bersangkutan.

Kelemahan yang pertama, Ada beberapa cuitan yang sangat miris dan sepertinya banyak ceritanya, misal seperti orang tua yang menggunakan 'jalur dalam'.

Artinya, kalau ingin diterima sekolah, maka ia harus membayar berapa peser rupiah kepada panitia seleksi atau pihak sekolah terkait (entah para petingginya atau pihak lain).

Ini jelas hal yang keliru. Sebab, itu juga diartikan bahwa pendidikan itu hanya milik orang yang 'berada', tidak bisa diakses oleh semua kalangan.

Ya berarti, siswa tidak usah bingung belajar berbulan-bulan, cukup orang tua yang memiliki orang dalam (bisa karena orang tua punya jabatan di tingkat negara), sehingga anaknya pun dengan gampang bisa masuk.

Ataupun orang tua yang terkenal kaya raya di sebuah kasta social, maka tinggal memberikan amplop kepada pihak terkait, maka masalah beres.

Ini juga diartikan bahwa korupsi dimulai sejak dini, dan mungkin bisa berujung pada level korupsi kepada negara kalau dibiarkan seperti itu. Sebab, orang dengan mudahnya menghilangkan masalah hanya dengan uang.

Itu justru malah tidak baik dan merugikan untuk anak, sebab pada perkembangannya nanti ia merasa salah tempat. Sudah tahu jika lingkungan sekitar baik teman maupun pelajarannya itu pintar dan berat, ia tidak siap.

Lalu, kelemahan kedua adalah sekolah tidak menerima siswa terpintar, tapi tercocok menurut mereka. Maksudnya, saringan tiap sekolah berbeda-beda. Tapi, yang menjadi kecurigaan penulis (semoga salah), yang dipilih sudah pasti yang orang tuanya mampu membayar SPP.

Sekolah tentu tidak mau rugi dengan adanya siswa yang nunggak SPP. Ya walaupun ada dana DIPA untuk sekolah, seperti dialokasikan ke penggajian guru, tetapi nampaknya SPP tetap saja berjalan. Jadi tidak ada sekolah yang murni gratis. SPP juga untuk seperti pembayaran buku maple, kegiatan siswa, dkk.

Baik kembali ke tadi, bahwa sekolah itu ternyata tidak menerika orang terpintar sekalipun. Itu sebab, tiap sekolah memiliki kriteria masing-masing yang memang tidak ada standarisasi dari kementerian.

Misal, di tempat penulis yang katanya perguruan tinggi keagamaan, tetapi yang aneh teman-teman terkenal pintar di pondok itu justru tidak diterima.

Malah ada teman penulis yang bahkan ia untuk mengaji Al-Qur'an saja masih terbata-bata. Dan itu jumlahnya tidak sedikit.

Tapi setelah diselidiki, ternyata ia diterima memang karena prestasi akademiknya (bisa seperti lomba tingkat nasional dsB), bukan prestasi keagamaan (seperti hafal Al-Quran dsb).

Ya artinya, kampus juga sepertinya menerapkan ideology murid yang diterima dengan kriteria seperti berikut; bisa membayat UKT, mampu menang lomba, dan berperilakuan baik (sekaligus).

Jumlah mahasiswa seperti itu sangatlah sedikit. Yang ada hanay mahasiwa yang dominan pada satu aspek. Dengan membayar UKT, maka pembayaran operasional kampus lancer.

Dengan menang lomba, maka akreditasi kampus naik dan dapat dana DIPA tambahan (mungkin). Dan dengan berperilakuan baik, maka dosen tidak perlu repot memperbaiki sikap.

Kelemahan yang ketiga, adanya dana PPDB jalur beasiswa yang tidak digunakan dengan benar atau tidak tepat sasaran. Kalau ini sudah pasti salahnya si murid, yang sewenang-wenang dalam penggunaaanya.

Ya jumlahnya tidak banyak, tapi ada beberapa cuitan dan cerita yang beredar. Tidak hanya berada di bangku sekolah, namun bangku kampus juga ada.

Ada guyonan jika mahaiswa penerima beasiswa itu hape-nya saja Iphone termahal dan hedonisme. Yang pakai uang sendiri aja hapenya masih Android dan hidup super hemat.

Ini menjadi kacau, sebab mungkin persyaratan beasiswa itu bisa diakali. Entah apanya yang dipalsukan, yang penting si mahasiswa lolos seleksi beasiswa, maka beres.

Perlu diingat, beasiswa itu pada dasarnya ditujukan untuk mahasiswa berprestasi, tetapi tidak mampu. Supaya ia berprestasi lagi di kampusnya, maka dibantulah ia dengan beasiswa.

Tapi pada praktek kenyataan lapangan memang tidaklah mudah dan seperti yang diharapkan diawal. Perlu adanya system seleksi beasiswa yang ketat agar tepat sasaran.

Dan kelemahan keempat, tidak merata perbandingan jumlah siswa (karena tidak ada zonasi). Kalau penulis dulu sempet mengalami perbandingan masuk 1:30 untuk SMA luar kota dan 1:100 untuk PTN luar kota juga. Dan puji syukur masih diberikan kesempatan lolos.

Itu merupakan sebuah kebanggaan pribadi sekaligus fenomena yang miris. Itu artinya, adanya mainset orang tua bahwa tidak semua lembaga pendidikan itu sama bagusnya.

Biasanya, yang bagus itu ada di kota-kota besar. Sehingga, orang tua rela membayar mahal, asal anaknya bisa sekolah dengan fasilitas dan kualitas yang bagus.

Memang itu fakta, jika sekolah di kota-kota kecil itu selain fasilitasnya juga tidak lengkap, gurunya pun kebanyakan tidak berkualitas.

Ya jika membaca novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, memang ada guru yang berkualitas di sekolah terpencil. Tapi saying, mereka rela dibayar sedikit atau bahkan tidak dibayar dan berkorban lebih untuk siswanya.

Dan perlu diingat, jumlah guru yang bertahan seperti itu sangat sedikit. Yang ada guru itu rata-rata, bekerja dengan sesuai gaji.

Terlebih, sekolah tidak menutup jumlah pendaftaran dan terkesan membiarkan pendaftar itu membludak. Entah karena dana pemasukan PPDB sangat diperlukankah atau gimana, yang jelas itu kurang efektif.

Sebab, akhirnya PPDB harus membutuhkan ruangan tambahan diluar sekolah. Atau tidak, sekolah harus membagi menjadi 2-3 shift ujian tesnya. Ya ini memerlukan tenaga ekstra untuk panitia seleksinya, dan rawan resiko terjadinya penyelewengan.

Sebab seperti diatas tadi, panitia seleksi bisa saja tanpa diketahui menerima 'amplop' dari orang tua murid yang ikut tes. Kalau memang mau membuka jumlah banyak, maka harus diperkuat system panitia seleksinya agar tidak terjadi hal yang seperti demikian.

Kembali ke maksud awal, perlu adanya pemerataan fasilitas dan guru tiap sekolah supaya orang tua tidak lagi ada mainset bahwa pendidikan paling bagus itu diluar kota.

Sebab, yang jadi masalah sekolah di kota kecil akhirnya pada tutup dan collapse, atau Bahasa kerennya likuid. Guru terpaksa harus mencari jam mengajar dan sekolah baru.

Tetapi itu juga membutuhkan tekad dan usaha yang kuat dari semua stakeholder sekolah di kota kecil, sebab ia harus membuktikan dengan prestasi besar jika ingin mendapatkan dana DIPA.

Atau seperti pada buku biografi Chairul Tanjung "Si Anak Singkong" karya Tjahya Gunawan Diredja, ketika ia sukses, ia mampu menggalang dana beberapa angkatan dari alumni untuk merenovasi sekolahnya.

Tapi ingat, hanya murid berprestasi dan sukses yang mampu membawa perubahan bagi sekolahnya. Dan murid berprestasi itu tentu berasal dari guru yang tangguh juga.

By: M. Saiful Kalam

Source: Analisis Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun