Sebab, akhirnya PPDB harus membutuhkan ruangan tambahan diluar sekolah. Atau tidak, sekolah harus membagi menjadi 2-3 shift ujian tesnya. Ya ini memerlukan tenaga ekstra untuk panitia seleksinya, dan rawan resiko terjadinya penyelewengan.
Sebab seperti diatas tadi, panitia seleksi bisa saja tanpa diketahui menerima 'amplop' dari orang tua murid yang ikut tes. Kalau memang mau membuka jumlah banyak, maka harus diperkuat system panitia seleksinya agar tidak terjadi hal yang seperti demikian.
Kembali ke maksud awal, perlu adanya pemerataan fasilitas dan guru tiap sekolah supaya orang tua tidak lagi ada mainset bahwa pendidikan paling bagus itu diluar kota.
Sebab, yang jadi masalah sekolah di kota kecil akhirnya pada tutup dan collapse, atau Bahasa kerennya likuid. Guru terpaksa harus mencari jam mengajar dan sekolah baru.
Tetapi itu juga membutuhkan tekad dan usaha yang kuat dari semua stakeholder sekolah di kota kecil, sebab ia harus membuktikan dengan prestasi besar jika ingin mendapatkan dana DIPA.
Atau seperti pada buku biografi Chairul Tanjung "Si Anak Singkong" karya Tjahya Gunawan Diredja, ketika ia sukses, ia mampu menggalang dana beberapa angkatan dari alumni untuk merenovasi sekolahnya.
Tapi ingat, hanya murid berprestasi dan sukses yang mampu membawa perubahan bagi sekolahnya. Dan murid berprestasi itu tentu berasal dari guru yang tangguh juga.
By: M. Saiful Kalam
Source: Analisis Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H