Mohon tunggu...
M. Saiful Kalam
M. Saiful Kalam Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Ekonomi

Calon pengamat dan analis handal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kelemahan Sistem Raport-Ijazah di Indonesia

4 April 2022   17:03 Diperbarui: 4 April 2022   18:31 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Raport dan ijazah adalah 'kartu sakti' yang wajib diperoleh oleh murid ketika ia sudah menyelesaikan jenjang pendidikannya. Fungsinya? Untuk melanjutkan studi lebih tinggi, melamar kerja, dan kegiatan lainnya yang bersifat administrative.

Penulis yang lulusan SMA pada tahun 2019, masih mengalami yag namanya ujian nasional berbasis computer (UNBK) itu ada 4 mapel (ujian ini ada pada tahun 2017 keatas dan, dihapus pada tahun 2021, diganti dengan AKM).

Mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan 1 mapel jurusan.

Dan dari 4 maple inilah yang sering dijadikan penilaian sebuah sekolah itu bagus atau tidak. Dan itu dinamai dengan SKHUN atau surat keterangan hasil ujian nasional.

Kalau fungsi maple yang jumlahnya 17/24 itu akan diujikan ke ke USBN. Dari USBN ini, yang lulus akan mendapatkan ijazah dan bukti kalau ia sudah menempuh pendidikan dan dinyatakan lulus.

Jika anak SMA mau lanjut ke jenjang berikutnya, maka ia harus menempuh beberapa jalur, ada SNMPTN (sekolah)/SPAN-PTKIN (madrasah), SBMPTN, dan jalur mandiri.

Kalau SNMPTN, maka pasti nilai maple seperti maple UN, harus tinggi (seingat penulis minim 80) dan rata-rata raport harus 80 juga. Kalau salah satu saja tidak terpenuhi, maka jalur SNMPTN atau biasa disebut jalur undangan tidak bisa diambil.

Sama dengan SPAN-PTKIN, yang mana minimal maple keagamaan (Al-Qur'an Hadist, FIkih, Akidah Akhlak, Bahasa Arab, dan Sejarah Kebudayaan Islam) itu juga harus 80, disamping maple lain juga 80.

Sedangkan, SBMPTN itu siswa disuruh untuk tes lagi yang standarnya ditentukan oleh Kementerian Ristekdikti (tahun 2021 sudah berganti menjadi Mendikbudristek).

Ini masuk ke kelemahan pertama, yaitu murid harus belajar diluar maple agar bisa diterima PTN yang dituju. Raport dan ijazah sama sekali nampak sia-sia dan hanya sekedar formalitas secara adminstrasi semata.

Oh iya, ada juga sekolah kedinasan yang sistemnya satu portal melalui masing-masing instansi (misal STAN, IPDN, STIS, dkk). Ujiannya dinamai SKD atau seleksi kompetisi dasar.

Satu portal berarti si murid dalam 1 tahun hanya bisa mendaftar 1 jenis sekolah kedinasan. Sebab, jam ujian tiap instansi itu sama. Dan sistemnya menggunakan CAT BKN (computer assisted test), yang berate menggunakan computer.

Eits, tapi jangan senang dulu, ada ambang batas jika ingin lolos SKD, yaitu meliputi TWK (minim 65), TIU (minim 80), TKP (minim 166). Itupun jika lolos, masih ada tes kedua (bisa juga tes terakhir), yaitu tes kesehatan.

Tesnya tergantung instansi, kalau di STAN itu tes lari selama 12 menit. Akan diambil peserta dengan tingkat lari yang terbaik untuk lolos. Minim lari 12 menit yang dapet 2,4 km, kalau mau pasti lolos ya harus diatasnya.

Nah, masih menyangkunt kelemahan pertama, ini berarti ada ketidak sinkronan pelajaran di sekolah dengan ujian-ujian yang diselenggarakan baik PTN/PTS maupun sekolah kedinasan.

Nah, disini peran guru dituntut agak extra, yaitu mengetahui mana sub-bab mapel yang akan diujikan pada saat mengikuti ujian diatas. Ya artinya, agar belajar tidak terkesan sia-sia, guru juga diberi beban harus bisa menyingkronkan antara sub-bab maple dengan ujian tadi. Dan ini yang jarang dilakukan.

Akhirnya yang terjadi apa, murid harus mengikuti les berbulan-bulan untuk memahami tes yang beraneka ragam tersebut.

Belum lagi, ada paradigm jika dunia pekerjaan dan kehidupan itu sangat berbeda jauh dengan ruang kelas. Itu benar adanya. Dan lagi-lagi, guru-lah yang seharusnya disela mengajar, ada sesi cerita tentang dunia kerja.

Dan ini masuk kelemahan kedua, yaitu murid tidak memiliki pemahaman mendasar mengenai dunia kerja dan kehidupan. Dan paham tentang dua hal tersebut itu tidak ada nilainya di raport dan ijazah.

Padahal, memahami dunia pekerjaan itu salah satu mendewasakan mental murid yang efektif. Dan nasihat kehidupan itu juga demikian.

Jika murid paham tentang dunia kerja dan kehidupan, maka ia nampak lebih siap dan terkesan tidak panic jika suatu saat tidak melanjutkan pendidikan lagi.

Kita tahu, jumlah perguruan tinggi dengan calon mahasiswa itu berbanding terbalik. Kalau dikampus, sudah sering ada istilah bahwa perbandingan 1:100 sekian.

Artinya, tiap 1 siswa yang lolos, ada 100 siswa yang terpaksa gap year alias menganggur. Dan ini diperparah siswa yang gap year, tidak tahu harus ngapain?

Padahal, bukan berarti jika tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah kegagalan mutlak, dan kemudian berpaku tangan begitu saja. Ada kegiatan lain yang masih bisa dilakukan, bekerja misalnya.

Guru juga nampak serakah, yang mana selalu menginginkan muridnya itu masuk PTN dan menanamkan label kalau itulah 'kesuksesan' yang dibanggakan guru. Guru semacam apa seperti itu?

Anda bisa cek dilapangan, betapa guru itu nampak lebih menyukai murid sukses seperti kategori diatas ketimbang yang gagal. Padahal, guru itu harus bijak, kalau murid sukses diapresiasi, murid gagal di motivasi.  Dan itu sekali lagi tidak ada diraport dan ijazah.

Kita harus bersyukur dengan adanya kurikulum merdeka pada era Menteri Nadiem, sebab ada program Kampus Merdeka, yang mana mahasiswa dibekali pengalaman magang di dunia kerja, dan itu menjadi pengganti SKS semester tersebut.

Kelemahan ketiga, ini sebenarnya masih berkaitan dengan kelemahan pertama, raport dan ijazah tidak mencantumkan nama guru pengampu per mapel dan capaian per mapel.

Ini nampak sepele tapi sebenarnya sangat dalam makna. Artinya apa? Bahwa tiap nilai dari 1 mapel itu adalah tanggung jawab dari 1 guru maple yang berkaitan.

Dan ini juga memudahkan murid untuk mengingat siapa gurunya dulu yang pernah mengajar. Jadi, adab seorang murid itu salah satunya mengingat jasa guru-guru yang telah mengajarnya. Jadi, kejadian kalau murid melupakan gurunya itu sebenarnya miris dan kacau sekali.

Kemudian, dari 1 mapel itu harus ada capaian yang jelas yang telah dicapai oleh murid, bukan hanya sekedar beberapa kalimat dengan awal "mampu memahami bla, bla, bla".

Raport itu seharusnya tebal dan berlembar-lembar seperit buku, disamping lembar nilai rigid sebanyak 1-2 halaman. Kalau lembar 1-2 halaman itu tidak usah diperpanjang. Sebab, nanti kacau administrasi untuk mendaftar ke pendidikan selanjutnya.

Yang penulis maksud adalah, adanya lembar tersendiri yang membahas apa saja yang telah dicapai oleh siswa tersebut dalam 1 mapel.

Misal dalam 1 semester ada 6 bulan, 20 kali pertemuan efektif, dan 800 jam tatap muka, tiap 1 mapel. Ya 1 semester ini murid setidaknya tahu kalau dalam belajar 1 semester, pengetahuan atau keterampilan apa yang sudah dicapainya.

Nah, berhubung memang rata-rata manusia itu pelupa, maka disitulah peran raport yang juga sebagai memori untuk mengingat kembali 'prestasi dan evaluasi maple' yang dulu ia raih.

Jadi, ketika murid membuka raport dan membaca tiap mata maple, ia tahu kalau dulu maple yang ia kuasai ini, yang ia kurang ini. Sehingga, ketika jadi alumni ia tahu mana yang harus diperbaiki dan harus diperbaiki.

Kalau rapor hanya berisi nilai, murid tentu tidak akan mengingat apa saja yang dulu pernah ia lalui. Jadi, raport berfungsi sebagai buku berisi nostalgia dan memori singkat sekolah.

Dan ini membawa kepada kelemahan keempat, nilai raport dan ijazah itu bukan penanda keahlian atau kepintaran seseorang, atau bisa disebut tidak representatif. Seperti pada artikel sebelumnya, jika ingin mendapatkan nilai bagus tinggal disiplin mengumpulkan tugas dan mengerjakan dengan baik.

Coba Anda tes kepada teman atau siapalah, misal maple Matematika dapat nilai 95. Coba Anda ajuka beberapa pertanyaan di tingkat tersebut dan lihat bagaimana kualitas jawabannya? Apakah sebanding dengan nilainya kah?

Seharusnya, raport dan ijazah itu tingkatannya lebih tinggi dibandingkan sertifikat keahlian/seminar internasional sekalipun. Sebab, yang dipelajari banyak masak kok kalah dengan yang dipelajari sedikit.

Mungkin ada  yang berkilah jika sertifikat keahlian itu lebih berharga ketimbang raport sebab ada focus. Penulis tidak tahu jawabannya, yang jelas sudah seharusnya penilaian raport itu sebaiknya representative dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

By: M. Saiful Kalam

Source: Analisis Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun