Misal dalam 1 semester ada 6 bulan, 20 kali pertemuan efektif, dan 800 jam tatap muka, tiap 1 mapel. Ya 1 semester ini murid setidaknya tahu kalau dalam belajar 1 semester, pengetahuan atau keterampilan apa yang sudah dicapainya.
Nah, berhubung memang rata-rata manusia itu pelupa, maka disitulah peran raport yang juga sebagai memori untuk mengingat kembali 'prestasi dan evaluasi maple' yang dulu ia raih.
Jadi, ketika murid membuka raport dan membaca tiap mata maple, ia tahu kalau dulu maple yang ia kuasai ini, yang ia kurang ini. Sehingga, ketika jadi alumni ia tahu mana yang harus diperbaiki dan harus diperbaiki.
Kalau rapor hanya berisi nilai, murid tentu tidak akan mengingat apa saja yang dulu pernah ia lalui. Jadi, raport berfungsi sebagai buku berisi nostalgia dan memori singkat sekolah.
Dan ini membawa kepada kelemahan keempat, nilai raport dan ijazah itu bukan penanda keahlian atau kepintaran seseorang, atau bisa disebut tidak representatif. Seperti pada artikel sebelumnya, jika ingin mendapatkan nilai bagus tinggal disiplin mengumpulkan tugas dan mengerjakan dengan baik.
Coba Anda tes kepada teman atau siapalah, misal maple Matematika dapat nilai 95. Coba Anda ajuka beberapa pertanyaan di tingkat tersebut dan lihat bagaimana kualitas jawabannya? Apakah sebanding dengan nilainya kah?
Seharusnya, raport dan ijazah itu tingkatannya lebih tinggi dibandingkan sertifikat keahlian/seminar internasional sekalipun. Sebab, yang dipelajari banyak masak kok kalah dengan yang dipelajari sedikit.
Mungkin ada  yang berkilah jika sertifikat keahlian itu lebih berharga ketimbang raport sebab ada focus. Penulis tidak tahu jawabannya, yang jelas sudah seharusnya penilaian raport itu sebaiknya representative dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
By: M. Saiful Kalam
Source: Analisis Pribadi