Mohon tunggu...
M. Saiful Kalam
M. Saiful Kalam Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Ekonomi

Calon pengamat dan analis handal

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketakutan Seorang Sarjana Ketika Bermasyarakat

11 Maret 2022   09:58 Diperbarui: 11 Maret 2022   10:09 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Bermasyarakat jika dibahasakan secara sederhana, yaitu interaksi seorang individu dalam keluarga terhadap sekelompok keluarga lain di satu daerah yang sama.

Bermasyarakat itu sederhana, cukup ikuti aturan yang ada dan mengalir saja di dalam aturan yang diberlakukan dalam masyarakat.

Contoh, ketika penulis ada kegiatan KKM (kuliah kerja mahasiswa) di salah sebuah desa di Kabupaten Malang, penulis mengamati bahwa masyarakat di sana itu terlihat guyup dan rukun.

Bahkan, desa tersebut bagi penulis merupakan desa percontohan bagi penulis pribadi bila suatu saat ingin memutuskan untuk bermasyarakat ke depan.

Rutinitas yang sering dilakukan lebih tepatnya pada sore dan malam hari. Jadi kalau pada malam jumat, seringkali ada tahlilan dan itu tempatnya bergantian, itu acaranya bapak-bapak. Kalau ibu-ibu rutinan tahlilan pada sore hari.

Pernah penulis berkeliling, ada sekitar 4 rumah di saat yang bersamaan melakukan tahlilan pada malam jumat tersebut.

Juga desa tersebut kalau tiap kali ada acara besar, seluruh karang taruna dan bapak-bapak ikut turun tangan membantu acara tersebut, tanpa diperintah dan embel-embel apapun. Sangat kompak dan ini adalah sesuatu hal yang langka menurut penulis dan perlu dicontoh.

Kembali lagi ke permasalahan, jadi pada dasarnya bermasyarakat itu bukanlah sesuatu hal yang sulit seperti cerita orang tua kepada anaknya yang sudah mendapatkan gelar sarjana.

Kadang ada nasehat dari orang tuanya kepada anaknya yang sarjana bahwa bermasyarakat itu sulit dan ilmu yang selama ini dipelajari di kampus nampak tidak semua digunakan di asal kampungnya.

Bahkan ada istilah dengan kalimat, "saya sarjana tetapi desa tidak mengenali saya dan saya pun tidak mengenali desa."

Hal itu disebabkan karena sarjana itu setidaknya harus menempuh pendidikan selama 4 tahun dan merantau di luar kampungnya. Anak perantauan digambarkan sebagai orang yang kos di tempat sederhana, perbekalan minim, dan serba menghemat.

4 tahun tidak berada di desa sudah pasti ada beberapa perubahan yang terjadi di dalamnya, entah itu dari segi fasilitas maupun masyarakat pendatang yang hadir.

Yang miris adalah fenomena mahasiswa yang kesulitan untuk menerapkan semua ilmu yang mereka pelajari di kampus.

Kesulitannya sebenarnya ada dua hal, antara satu si mahasiswa memang hanya "kejar IPK" saja tanpa memahami esensi gelar yang ia dapat, dua memang dari desa yang tidak membutuhkan ilmu yang ia pelajari. Ya jika dianalogikan "produk sedang tidak dibutuhkan oleh masyarakat."

Yang terjadi, akibatnya banyak sarjana yang lebih memilih bekerja di perantauan dibandingkan untuk kembali lagi kampong halamannya. Akibatnya, desa ibaratnya sudah kehabisan para pemuda sarjananya yang seharusnya mereka mengabdikan diri untuk membangun desa, tetapi karena satu dua alasan mereka memutuskan untuk tidak melakukannya.

Jika ingin memperhatikan alasan lain dan ini juga merupakan bentuk saran, sebenarnya ada kesulitan seorang sarjana ketika bermasyarakat adalah ketika memposisikan dirinya sejajar dengan masyarakat.

Sejajar artinya seorang sarja seharusnya memaklumi gaya bicara masyarakat yang kebanyakan mungkin hanya lulusan SD-SMP. Ya jika dalam bicara kadang nyinyir atau ceplas-ceplos, ya mungkin bisa dimaklumi.

Sebab, pada dasarnya semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi rasa menghargai satu sama lain.

Jadi, istilahnya seorang sarjana itu harus bisa melepaskan ego-sentris-nya jika ingin berhasil menyatukan diri dengan masyarakat.

Nah, yang sering terjadi adalah sarjana itu selalu menghadapi omongan-omongan yang menyakitkan hati. Akan tetapi, jika memang ingin seorang sarjana ingin berhasil mengabdikan diri untuk kampungnya, maka sesuatu pengorbanan yang dilakukan.

Dan sarjana itu sebaiknya memang jangan ada sekat pembatas dengan masyarakat. Entah itu suatu saat kelak hidup di kampong orang lain, yang terpenting adalah sarjana harus bisa menyatu dan memposisikan diri dengan masyarakatnya.

Sebab, bagaimanapun juga masyarakat itu secara pengalaman menjalani pahit-getir kehidupan itu sangat lebih dibandingkan seoarng seorang sarjana.

Dan jika sudah berada di lingkungan masyarakat, seorang sarjana harus mengenali apa yang bisa ia perbuat dan berikan kepada masyarakat.

Jangan pernah bertanya apa saja yang sudah diberikan masyarakat kepada Anda. Akan tetapi bertanyalah kepada diri Anda, apa saja yang telah Anda perbuat dan berikan kepada masyarakat.

By: M. Saiful Kalam

Reference: Pengalaman Pribadi dan Teman

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun