Mohon tunggu...
Muhammad Sahal
Muhammad Sahal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

calon ilmuwan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Identitas dan Konflik Etnis di Kalimantan Barat

8 November 2024   23:05 Diperbarui: 9 November 2024   01:42 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. PENDAHULUAN 

Di Kalimantan Barat, orang-orang dari berbagai etnis Indonesia, seperti Dayak, Melayu, dan Madura, berkumpul. Namun, keragaman ini juga menghadirkan masalah. Ini lebih jelas terlihat ketika perbedaan identitas digunakan untuk tujuan politik. Politik identitas di daerah ini menyebabkan konflik dan ketidakpercayaan antar kelompok, yang merugikan upaya untuk membangun integrasi sosial yang kuat. 

Artikel ini menyelidiki bagaimana politik identitas memengaruhi dinamika sosial-politik di Kalimantan Barat dan hubungannya dengan politik Indonesia saat ini dengan menggunakan kerangka sosiologi politik.

II. Politik Identitas dan Konflik Etnis Sebuah Telaah Sosiologis Politik identitas didefinisikan sebagai upaya kelompok tertentu untuk memajukan kepentingan mereka dalam proses politik dengan memanfaatkan identitas etnis, budaya, atau agama mereka. Dalam hal Kalimantan Barat, konflik antara suku Dayak dan Madura seringkali bermula dari perebutan sumber daya dan tuntutan hak kepemilikan tanah (Peluso & Harwell, 2001). 

Menurut perspektif sosiologi politik, perbedaan budaya dan etnis di masyarakat multikultural dapat menyebabkan konflik jika pemerintah tidak membuat kebijakan yang inklusif dan adil. Akibatnya, semakin sulit bagi kelompok yang merasa terpinggirkan untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang sangat penting. Sumber daya ini memiliki kapasitas untuk mempromosikan solidaritas etnis sebagai alat untuk memobilisasi politik (Harvey, 2003).  

III. Dinamika Politik Lokal dan Eksploitasi Identitas Etnis Di Kalimantan Barat sering digunakan untuk kepentingan politik lokal. Untuk mendapatkan dukungan dari kelompok etnis tertentu, beberapa politisi menggunakan emosi identitas. Ini seringkali mengakibatkan marginalisasi kelompok lain. 

Misalnya, konflik antara Dayak dan Madura pada akhir 1990-an adalah contoh bagaimana para politisi lokal dapat menggunakan sentimen etnis untuk menyebabkan ketidakstabilan sosial (Riwanto, 2006). Dalam situasi ini, perebutan kekuasaan lokal diwarnai oleh penggunaan identitas etnis sebagai alat politik untuk membangun basis dukungan. Namun, hal ini pada akhirnya menyebabkan segregasi sosial dan politik menjadi lebih parah (Van Klinken, 2007). 

IV. Relevansi dengan Realitas Sosial-Politik Indonesia Saat Ini Politik identitas adalah masalah di Indonesia dan di Kalimantan Barat. Di era media sosial dan keterbukaan informasi saat ini, politik identitas semakin berkembang dan memengaruhi kebijakan publik dan proses pemilu. 

Polarisasi yang muncul selama pemilihan presiden dan pilkada seringkali menunjukkan bagaimana politik identitas digunakan untuk mendapatkan dukungan secara tidak sehat. Akibatnya, identitas agama, etnis, dan budaya sering diperalat untuk menciptakan "kami" dibandingkan dengan "mereka", yang berbahaya bagi persatuan bangsa (Mietzner & Aspinall, 2010). 

Hasil politik identitas yang berlebihan ini dapat dilihat dalam beberapa hal, seperti konflik agama yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Seringkali, identitas keagamaan digunakan untuk mendapatkan dukungan politik, tetapi ini juga menyebabkan konflik antarkelompok yang seharusnya bersatu. "Politik eksklusif" adalah ide yang digunakan dalam sosiologi politik untuk menjelaskan keadaan ini. Dalam situasi ini, proses politik memprioritaskan segregasi daripada inklusi (Harris, 2003) 

V. Pandangan Kritis Terhadap Penanganan Konflik Identitas di Kalimantan Barat Meskipun pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi konflik identitas di Kalimantan Barat, masalah utama tetap berkaitan dengan penanganan ketidakadilan struktural. 

Agar dapat meminimalkan ketegangan sosial yang menyebabkan ketidakpuasan ekonomi dan sosial, pemerintah harus membuat kebijakan yang benar-benar mencerminkan keadilan sosial, yang mencakup akses yang setara terhadap sumber daya (Davidson & Kammen, 2002). Program inklusi sosial yang melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai komunitas etnis dan agama dapat melaksanakan pendekatan ini.

Untuk menyelesaikan konflik berbasis identitas, pemerintah juga harus menggunakan metode rekonsiliasi budaya yang menekankan dialog dan mediasi. Misalnya, partisipasi pemimpin lokal dari berbagai etnis dan budaya dalam program pemberdayaan masyarakat dapat membantu mengurangi keraguan antar kelompok. Masyarakat dapat merasa terlibat dalam proses rekonsiliasi dan pembangunan dengan menerapkan pendekatan partisipatif (Riwanto, 2006).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun